Woko Utoro
Saya pernah bertanya bagaimana cara seseorang bangkit dari keterpurukan. Atau bagaimana cara orang menyikapi kehilangan. Karena kadang kehilangan mendalam justru mengambil alih peran logika dan dikuasai perasaan. Memang jika berkaitan dengan perasaan selalu lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Terlebih jika mengenai pikiran, aspek psikis sulit untuk dipulihkan.
Bicara soal bangkit dari keterpurukan atau kehilangan kita mengenal istilah move on atau bahasa psikologi resiliensi. Resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002) ialah kemampuan seseorang dalam mengatasi, melalui, dan kembali kepada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan. Resiliensi berasal dari bahasa Latin re-silere yang bermakna bangkit kembali (Connor & Davidson, 2003).
Lantas bagaimana perempuan dan laki-laki jika menghadapi peristiwa kelam atau kehilangan. Saya menerka beberapa perbedaan antara perempuan dan laki-laki ketika mereka ditimpa kehilangan. Saya menemukan pola bahwa perempuan cenderung bisa bertahan jika ditinggal mati suaminya. Tapi perempuan tidak bisa tahan jika ditinggal mati anaknya.
Begitu juga dengan laki-laki, mereka bisa bertahan jika ditinggal mati anaknya. Tapi laki-laki sulit bertahan jika ditinggal mati istrinya. Laki-laki menganggap bahwa anak memiliki garis takdirNya sendiri. Sehingga ada atau tidaknya anak, seorang laki-laki bisa bersikap logis. Tapi jika sudah ditinggal istri, seorang laki-laki cenderung ingin mencari pengganti. Sedangkan perempuan pantang mencari sebelum masa iddah usah bahkan lebih bertahan dalam kesendirian.
Kekuasaan perempuan dalam bertahan memang lebih kuat dari laki-laki. Padahal secara fisik hormon perempuan sangat berbeda dari laki-laki. Laki-laki yang dianggap berotot dan fisik justru tidak lebih mampu mengontrol diri. Berbeda dari perempuan walaupun logikanya didominasi oleh perasaan akan tetapi mereka lebih dominan bertahan. Perempuan bisa lebih kuat terlebih ketika mereka membesarkan anak-anaknya. Bahkan kekuatan perempuan bisa berkali lipat ketika misalnya suaminya tiada.
Untuk menggambarkan hal tersebut ada ilustrasi menarik. Bahwa perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anak. Sedangkan lelaki adalah kepala madrasahnya. Jika madrasah tanpa kepala itu lucu dan lebih lucu lagi madrasah tanpa murid. Jika madrasah tanpa kepala masih bisa berjalan. Tapi apa bisa kepala tanpa madrasah lebih lagi tanpa murid. Maka dari itu sebenarnya komponen ketiganya saling melengkapi. Cuma jika diamati bahwa baik perempuan maupun laki-laki akan berjuang demi anak. Jadi anak adalah segalanya bagi orang tua. Anak adalah sumber kekuatan terkhusus bagi orang tua bernama ibu.
Demikianlah sekilas mengenai resiliensi perempuan dan laki-laki dalam menghadapi masalah. Yang jelas dalam berbagai hal baik perempuan maupun laki-laki memiliki cara tersendiri untuk memecah kebuntuan. Perempuan bisa jadi mengikuti kaidah alamiah yaitu menangis sedangkan laki-laki memiliki katarsis dalam mengelola emosi diri.[]
the woks institute l rumah peradaban 24/10/23
Komentar
Posting Komentar