Langsung ke konten utama

Mengantar Lamaran




Woko Utoro

Malam itu barangkali salah satu momen bersejarah dalam hidup. Kendati hal itu bukan berkaitan dengan saya yang jelas malam itu pengalaman mengesankan. Saya menghantar teman ke daerah Mangunan Udanawu Blitar untuk lamaran.

Kami berangkat magrib dan sampai di tempat tujuan sekitar jam 20:00. Walaupun terdapat kendala macet karena ada pengajian Gus Iqdam alhamdulillah acara kami berjalan lncar. Singkat kisah sesampainya di sana kami langsung di sambut pihak keluarga perempuan. Ternyata kami termasuk terlambat dan memang sudah ditunggu sejak sore.

Benar saja ketika sampai, salaman lalu bincang sekedarnya. Lalu acarapun di mulai. Saya sangat kaget karena ditodong untuk menjadi pembawa acara. Akhirnya mau tidak mau saya pun memberanikan dini. Saya tampil dengan bahasa Indonesia campur Jawa krama. Walaupun sempat salah menyebutkan seharusnya keluarga Pak Ali, bukan Pak Anwar. Akan tetapi acara berjalan dengan baik.

Setelah pembukaan, Pak Dede selaku perwakilan pihak laki-laki memberikan sambutan. Beliau mengucapkan terimakasih dan tentunya bertujuan silaturahmi. Selain itu beliau juga meneruskan itikad baik antara kedua belah pihak. Dan pihak laki-laki sendiri berniat untuk ke jenjang lebih serius. Lalu setelah itu Pak Anwar mewakili keluarga Pak Ali dan Mba Maulida Amalia Nastiti (Mba Yaya) menerima segala itikad baik kami. Termasuk menerima pinangan dari pihak Mas Amir Fatah.

Alhamdulillah acara berlangsung sederhana dan begitu hangat. Setelah itu Mbah Dullah selaku sesepuh memimpin doa penutup. Setelah doa usai barulah kami santap malam. Tak lupa pula setelahnya kopi dan rokok terhidang dengan istimewa. Singkat kisah acarapun usai dan diakhiri foto bersama. Walaupun agak gugup nyatanya saya mendapat pelajaran berharga. Ternyata prosesi lamaran demikian adanya.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde