Langsung ke konten utama

Lailatus Sholawat Yang Penuh Nikmat




Woks

Saya bersyukur masih mendapati perhelatan Lailatus Sholawat (LS) yang tiap tahun digelar di pondok. Walaupun acara LS kali ini nampak begitu berbeda terkhusus pada diri saya sendiri. Sayang sungguh sayang acara LS kali ini tidak bisa disaksikan secara langsung karena saya terbaring lemah di kamar. Setelah beberapa hari diporsir aktivitas yang begitu padat akhirnya badan ini tumbang.

Walaupun begitu saya mendapatkan motivasi dari Abah untuk rehat saja. Termasuk juga mendapat asupan jamu dari Ibu KS tempat saya berkhidmat. Tapi mendengar acara yang lancar dan sukses juga menambah kebahagiaan tersendiri. Sebab sejak awal disusunnya kepanitiaan saya juga tidak berkontribusi banyak. Yang jelas kami mengapresiasi kepada segenap panitia dan koleganya.

Walaupun dalam keadaan sakit tentu saya tidak alpa dari mencatat. Saya pastinya mendengar petuah Abah Sholeh yang isinya : bahwa memperingati hari kelahiran Nabi tak lain demi mengoyak syafaatnya. Karena wasilah syafaat beliau lah kita bisa selamat. Sebab tidak ada amal kita yang dapat diandalkan di akhirat kelak kecuali syafaat dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Untuk kesekian kalinya Abah mengingatkan agar kita para santri mencari ilmu yang serius. Terlebih dalam hal memilih guru jangan sembarang. Beliau menukil sebuah maqola yang diibaratkan seperti mengira kayu ternyata ular. Bahwa kayu tersebut adalah sanad keilmuan seorang guru. Guru adalah sosok yang menuntun kecintaan santri kepada Kanjeng Nabi. Terakhir beliau berpesan jika cinta terhadap ulama ikutilah jalanya. Jika kita tak mampu baca Al Qur'an maka shodaqohlah pada ahli Qur'an hal itu sama besar pahalanya.

Singkat kisah di tengah rasa sakit, badan panas, kepala pening serta batuk saya menikmati lantunan sholawat dari para santri Al Husna, Al Hidayah dan Subulussalam. Hingga tiba saatnya mahalul qiyam yaitu puncak kerinduan saya bersama Pepy berdiri hormat Kanjeng Nabi. Di acara ini pula saya dikabari bahwa dzuriyah Mbah Kaji Slamet ternyata hadir semua dalam formasi lengkap. Tentu hal tersebut menambah rasa semangat kita dalam peringatan maulid nabi Muhammad SAW. Bahkan saya sedikit tertawa ketika Saudara Asrofi (Ketupel) dan Saudara Idris (Lurah Pondok) menyampaikan sambutan. Karena teks sambutan mereka satu pintu yang membuatnya haha.

Terakhir di saat Mbah Kaji Thoha menyampaikan doa. Saya selalu ingat jika dalam acara LS teringat Laila dan Qais pada kisah Laila & Si Majnun. Tapi sayang kali ini Laila tidak merasakan sakit yang dirasakan Qais misalnya saya yang terbaring lemah. Apakah Laila sudah tidak mencintai Qais? Alih-alih dalam imajinasi Laila malah yang datang si Zulfikar alias Pepy. Justru dia yang menjadi orang ketiga mengapa rasa sakit Qais tidak terbagi pada Laila.

Tapi apapun itu sungguh acara LS kali ini begitu penuh nikmat. Bukankah sehat atau sakit adalah sama saja. Sama sebagai ujian dari Allah. Masihkah kita bersyukur di antara keadaan tersebut.[]

the woks institute l rumah peradaban 16/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde