Langsung ke konten utama

Review Buku Belajar Kehidupan dari Sosok Manusia Inspiratif




Woko Utoro


Setiap orang terlahir dengan istimewa. Keistimewaan tersebut berupa bakat dan potensi sejak lahir. Ketika keistimewaan tersebut muncul dan disadari maka lahirlah inspirasi. Begitulah manusia sejatinya akan menginspirasi sesamanya tak terkecuali dalam catatan ini.


Buku ini terdiri dari 38 tulisan yang terbagi atas kisah inspiratif ibu, bapak, guru dan tokoh penebar manfaat. Tentu jika kita ditanya apakah memiliki sosok inspiratif pastinya akan dijawab punya. Sosok-sosok tersebut tentu telah memberi pencerahan terhadap setiap perubahan dalam hidup. Sosok tersebut tidak harus orang tua akan tetapi bisa siapa saja.


Sosok tersebut telah memberikan keteladanan yang terwariskan hingga kini. Dari keteladanan itulah akhirnya menjadi pelajaran hidup dan karakter. Sungguh keteladanan memang lebih awet daripada sekadar kata-kata. Karena keteladanan adalah contoh nyata di mana anak-anak akan merekamnya. Salah satu rekaman itulah tentang membaca, heroisme, semangat belajar, kedermawanan, hingga religius.


Dalam buku ini tentu terdapat banyak keteladanan yang bisa kita petik. Maka jika boleh saya tulis ada beberapa yang menarik di antaranya kisah Pak Hernowo di mana suka membaca tak lain karena keteladanan ibunya. hlm 5. Atau kisah setia dan luar biasanya ibu Mas Syahrul di tengah ujian yang berat beliau tetap tegar. Padahal pada saat itu sering berpindah-pindah rumah dengan membawa banyak anak. Atau misalnya kisah keteguhan Buya Hamka yang rela melepas jabatan MUI daripada menarik kata-katanya terhadap suatu hukum. hlm 229.


Keteladanan itulah yang menjadi inspirasi bagi kita pembaca. Jika keteladanan tidak ditemukan di rumah maka kita bisa mencarinya lewat buku bacaan. Utamanya sosok guru yang telah mengantarkan murid ke alam yang penuh inspirasi. Selamat menyelami setiap tokoh yang penuh ilmu dalam buku ini.[]


the woks institute l rumah peradaban 21/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde