Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

Jalan-jalan ke Blitar

Woks Pukul 7 pagi jalanan masih berkabut, suasana malam pun masih terasa pekat gelapnya. Ku kira jalanan akan terasa sepi sebab mentari akan bangun kesiangan. Ternyata dugaan itu salah, kini hampir sepanjang jalan sudah selalu ramai oleh pengendara sepeda goes. Maklum bersepeda menjadi trend di saat Covid-19 ini masih berlangsung. Saat itu juga aku turut melaju menuju Kota Blitar dengan motor Honda 700 tua milik seorang teman. Seperti biasa sesampainya di sana aku disambut hangat oleh siempunya rumah. Hal itu memang seperti mensyaratkan bahwa sowan harus dilakukan walau tidak sesering mungkin. Karena selama ini kita meyakini bahwa tradisi silaturahim terbukti ampuh menambah rezeki. Kemudian setelah itu aku diajak keliling kota melihat suasana gedung merah putih dengan spanduk kecil berisi pesan-pesan besar Soekarno mengihiasi sepanjang jalan. Hingga akhirnya berhenti di Stasiun Blitar tempat di mana aku mengambil uang tiket yang telah ku batalkan sekitar satu bulan lalu. Ua

SAMA GRAHA

Woks Seiring canggihnya teknologi saat gerhana matahari berlangsung orang-orang bisa menyaksikanya dengan mudah. Biasanya mereka akan mendekat kepada instansi yang memiliki alat seperti teropong bintang demi menyaksikan fenomena alam itu. Begitulah kiranya sains dan perangkatnya yang melahirkan sebuah kebudayaan penunjang demi perkembangan ilmu secara ilmiah. Akan tetap sains lemah dalam hal kearifan. Ia hanya menjadi sarana pertunjukan tanpa sarat makna. Lebih jauh saat ada gerhana matahari biasanya di daerah kami menyebutnya dengan "sama graha". Sebagai manusia berdimensi kosmologi, orang Jawa atau tepatnya di daerah kami sering sekali mengaitkan fenomena alam ini dengan sesuatu yang di luar nalar. Baik gerhana matahari atau bulan bagi masyarakat ialah bukan fenomena alam semata. Mereka pasti akan menyangkutpautkan kejadian itu dengan Bathara Kala. Anak Dewa Syiwa itu dianggap akan memakan matahari/bulan sehingga keadaan jagat akan gelap gulita. Maka dari itu be

Obituari: Buya Prof Dr Muhammad Nursamad Kamba, MA

              (Sumber gambar HMJ TP) Woks Langit mendung sedang menyelimuti jurusan kami, Tasawuf & Psikoterapi. Kami tengah berkabung hari ini karena salah satu pendiri jurusan ini pulang terlebih dahulu menghadap sang maha cinta (20/6/20). Saya secara pribadi pun merasakan denting hati begitu rapuh mendengar kabar kepergian beliau. Betapa tidak saya menjadi teringat pada April 2019 lalu yaitu menjadi momen pertama dan terakhir saya bersua beliau. Pada 12 April 2019 sebelum Covid-19 melanda saya berkesempatan bertemu beliau di ruang CSRT dengan begitu lapang dan bahagia. Kami berkumpul dalam rangka FGD guna membahas dunia TP antara peluang dan tantangan. Tentu pada saat itu Buya Kamba sangat paham apa yang akan dihadapi jurusan yang didirikanya itu. Beliau juga banyak berpesan kepada kami bahwa kita tidak boleh pesimis dengan jurusan ini, asal mau terus usaha, belajar, riset, dan menerapkan praktikum pasti semua akan dituai buahnya. Jika kita minder dengan banyak hal t

Merumahkan Pesantren

Woks Sudah tiga bulan lebih kita rasakan betapa jenuhnya dunia tanpa hidup normal seperti biasanya. Semua hal yang dikerjakan terasa terbatas dan kerjaan seperti kehilangan maknanya. Akan tetapi bagi mereka yang haus akan keilmuan agama tidak usah khawatir sebab selama ramadhan lalu media kita bertebaran kajian keagamaan online. Bahkan saat ini ngaji pasan ala pesantren sudah bisa dinikmati di rumah sambil menunggu berbuka. Itu pun harus berbanding dengan akses internet yang memadai jika tidak memiliki akses internet yang baik, lebih baik anda dengarkan radio saja. Lebih praktis, ekonomis dan tak perlu khawatir ganti channel. Bagi alumnus pesantren mungkin untuk sekedar bernostalgia selama nyantri bisa dicoba untuk menciptakan suasana pesantren di rumah. Kegiatan yang dilakukan bersama keluarga seperti halnya saat kehidupan di pesantren dilakukan agar menjadi sebuah habituasi bagi seluruh anggota keluarga sebut saja anak, istri atau suami. Misalnya mulai dari hal-hal yang s

Cerita dari Kalender Lebaran

Woks Tahun 2020 akan dikenang sebagai momen lebaran paling sunyi dalam sejarah. Apalagi saya sebagai orang perantau begitu merasakan dampak keadaan ini. Mulai dari tak bisa mudik ke kampung halaman, pekerjaan di rumahkan, krisisnya ekonomi, update an Covid-19 yang terus meningkat, menahan rindu sampai menikmati hari nan fitri seorang diri.  Bisa dibayangkan jika hari-hari normal gema takbir berkumandang dengan merdu, mengalun di setiap surau. Tapi kini gema takbir begitu lirih bahkan sesekali hanya meninggalkan kaset mp3. Selain itu setelah shalat idul fitri keadaan sepanjang jalan begitu sepi. Beberapa rumah warga memilih menutup pintunya, jika pun di buka tradisi memohonkan maaf dilakukan dengan berjarak. Sepanjang jalan saya hanya melihat sepanduk-sepanduk bertuliskan ,"maaf warga kami tidak menerima tamu dari luar" darisana hati saya langsung ambyar. Di mana-mana memang tidak ada open house seperti biasanya. Sehingga kue-kue khas lebaran hanya menjadi hiasan y

Hipnosis di Tengah Pandemi

Woks Indonesia bahkan dunia sedang dilanda musibah yang sama yaitu pandemi Covid-19. Musibah ini benar-benar memukul siapa saja mulai dari orang kecil, pengusaha, hingga pejabat negara. Semua merasakan dampak yang sama sebab penularan virus Covid-19 begitu cepat dan memakan korban tanpa pandang bulu. Siapa saja bisa sangat mungkin terkena virus ini. Dari kejadian yang kini telah memakan ribuan korban itulah upaya dilakukan oleh pemerintah dengan mengikuti petunjuk medis untuk menginstruksikan kepada semua warga agar mematuhi berbagaimacam aturan berlaku. Aturan yang sudah diberlakukan di antaranya ialah: penerapan lockdown di berbagai negara, penerapan pembatasan berskala besar (PSBB) di berbagai wilayah, dilarang mengadakan kerumunan dengan jumlah besar, menyemprotkan disinfektan di berbagai sudut bangunan, rajin mencuci tangan dengan sabun, jaga jarak, dan menggunakan masker saat bepergian. Demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19 itu banyak dari masyarakat kita pu

Mak Uthy

Woks Dulu saat saya masih bocah saya sempat berjumpa dengan Mak Uthy. Awalnya saya tidak tahu siapa beliau dan kini apa menariknya untuk saya tuliskan dalam catatan sederhana ini. Entah bagaimana, tetiba saja saya ingin menuliskan tentang beliau. Mungkin pertemuan itu adalah akhir dari perjumpaan saya dengan beliau sebelum akhirnya beliau pulang keharibaanNya. Saya kenal secara singkat tentang Mak Uthy dari Ibu saya. Kata beliau Mak Uthy adalah nenek dari teman saya yaitu Didi dan Teh Nani. Dua orang cucu Mak Uthy inilah yang pernah kenal saat ngaji di mushola. Biasanya kami mengaji iqra bergantian sorogan kepada bapak saya. Setelah itu kami langsung bermain sarung-sarungan dan darat air, buaya-buayaan.  Sebenarnya Mak Uthy masih memiliki beberapa cucu yang saya sendiri tidak hafal semua namanya. Yang jelas kedua cucunya itu mengaji lantaran diperintah Mak Uthy. Karena sejak awal cucu-cucunya itu yatim maka Mak Uthy lah yang merawat mereka. Seperti pada umumnya seorang nene

Menyiapkan Pesantren Berdamai dengan Covid-19

                (sumber gambar canva.com) Woks Beberapa waktu lalu saya mengikuti seminar yang membahas tentang masa depan pesantren di tengah pandemi. Pembahasan tersebut begitu menarik terutama dibahas oleh beberapa kalangan termasuk ulama dan kalangan medis. Perwakilan dunia medis menghadirkan Dr Kasil Rokhmad, MMRS, beliau merupakan wakil direktur RS dr Iskak Tulungagung dan dari kalangan ulama diwakili oleh KH Imam Mawardi Ridwan, beliau adalah Direktur LPI Al Azhaar Tulungagung. Perbincangan kali ini masih seputar Covid-19 dan bagaimana penanggulanganya. Sebab semakin hari orang yang dinyatakan positif semakin banyak. Dari sanalah kekhawatiran semakin masif dirasakan semua pihak salah satunya dunia pesantren. Sebelum wacana instansi pendidikan akan masuk di era new normal pada tanggal 15 Juni mendatang dunia pesantren pun berbenah. Menurut RMI (rabithah mahadz islami) bahwa diperkirakan akan ada sekitar ribuan santri akan kembali ke pondok. Dengan jumlah yang banyak i

Menu Nasi hingga Warung Bu Addah

Woks Kehidupan memang seperti yang Freud katakan bahwa seseorang akan mudah mengulang atau mengingat masa lalunya. Dalam tradisi psikologis masa lalu tersebut diingat sebagai sebuah pelajaran hidup atau pelampiasan. Sering sekali saya mengingat saat-saat masih kanak-kanak dan kini saatnya mengingat masa-masa di SMA. Kata alm Chrisye masa-masa di SMA itu adalah waktu yang paling indah, istilahnya kisah dan kasih. Tapi maaf saya tidak sama dengan Chrisye, saya hanya mengingat saat di mana lidah bergoyang dengan salah satu menu makanan yang pada saat itu menjadi idola saya. Entah sejak kapan saya seperti seorang ahli dalam menilai masakan. Saya sendiri tidak mengklaim bahwa saya seorang pakar kuliner yang ke mana-mana disorot kamera lalu singgah di suatu warung, lalu mengekspos sajian menunya dan terakhir berkata "maknyuss". Anda tidak perlu bayar dan pastinya makan sepuasnya, itulah namanya presenter kuliner. Saat di SMA saya menikmati masakan di warung bu Addah. Wa