Langsung ke konten utama

Jalan-jalan ke Blitar


Woks

Pukul 7 pagi jalanan masih berkabut, suasana malam pun masih terasa pekat gelapnya. Ku kira jalanan akan terasa sepi sebab mentari akan bangun kesiangan. Ternyata dugaan itu salah, kini hampir sepanjang jalan sudah selalu ramai oleh pengendara sepeda goes. Maklum bersepeda menjadi trend di saat Covid-19 ini masih berlangsung. Saat itu juga aku turut melaju menuju Kota Blitar dengan motor Honda 700 tua milik seorang teman.

Seperti biasa sesampainya di sana aku disambut hangat oleh siempunya rumah. Hal itu memang seperti mensyaratkan bahwa sowan harus dilakukan walau tidak sesering mungkin. Karena selama ini kita meyakini bahwa tradisi silaturahim terbukti ampuh menambah rezeki.

Kemudian setelah itu aku diajak keliling kota melihat suasana gedung merah putih dengan spanduk kecil berisi pesan-pesan besar Soekarno mengihiasi sepanjang jalan. Hingga akhirnya berhenti di Stasiun Blitar tempat di mana aku mengambil uang tiket yang telah ku batalkan sekitar satu bulan lalu. Uang itu adalah pinjaman sekaligus saksi gagal mudik tahun ini. Tapi apalah daya hidup harus menerima realita yang ada sekalipun terasa pahit.

Setelah itu aku diajak lewat di sekitaran Makan Bung Karno, sambil membawa sebuah es Caon segar dan menyantapnya dikediaman rumah dinas milik Pak Be. Beliau adalah abdi nagari di Pendopo Agung Ronggo Hadinegoro. Perjumpaan sekilas dengan beliau seperti biasanya orang yang mengerti soal spiritualitas membuat siapa saja menjadi bisu membisu, termasuk aku sendiri. Seolah-olah diawal banyak sekali kata tanya tapi saat berhadapan dengan orang seperti beliau, kata tersebut mendadak hilang. Salah satu hal mungkin karena belum beradaptasinya dengan lingkungan yang baru. Maklum saja aku sedikit gemetar saat di sudut rumah tercium wewangian dupa, berpadu dengan musik gamelan dan campur sari, ditambah lagi foto-foto seperti Eyang Semar, Bung Karno, Nyai Ratu Kidul, Sunan Kalijaga dan wayang Hanuman terpampang di dinding rumah. Tapi selebihnya perjumpaan dengan beliau begitu asyik. Terutama persoalan babad tanah Jawa yang penuh dengan tatanan. Ia akan menuntun kita menuju kesejaten (jatidiri). Maka pesan beliau sederhana jika kita orang Jawa "ojo nganti ilang jowone".

Setelah berbincang hangat dari rumah dinas kami lantas bertolak menuju Kaweron kecamatan Talun tepatnya rumah teman bernama Mas Haris atau kami biasa memanggilnya Kentang. Saat kami sampai di sana beberapa orang teman ternyata menyusul untuk ikut bergabung di sana. Kami sedikit kaget, ku kira rumah biasa yang kita tuju ternyata di sana malah sebuah pondok. Pondok Mambaul Hisan namanya, bangunan hijau dengan gaya lawas masih menghiasi setiap sudut. Suasana pedesaan yang asri membawa kami ke dalam lantas berbincang. Ditemani kopi hitam dengan jajanan khas seperti gethuk, kelepon dan cenil tersaji dengan nikmatnya. Tak lupa pula guyonan khas santri membuat geer-geeran setiap perbincanganya. Aku sejak awal sudah menduga bahwa kita akan menuju pondok bukan rumah biasa.

Waktu beranjak sore sedangkan aku sendiri sudah lupa karena saking banyaknya pelajaran kala itu hingga akhirnya kami pulang. Selepas magrib perjalanan ku diakhiri, lantas aku kembali ke Tulungagung dan menemui teman di kontrakan Indramayu yang ada di Wonorejo Sumbergempol. Di sana kita bincang hangat lagi sampai larut malam. Sekedar melepas lelah mendengar cerita ngalor ngidul tentang sebuah pertemanan, saudara dan cita-cita luhur yang ingin dibangun. Intinya di antara kami ternyata masih memiliki sebongkah harapan kelak semoga dapat terwujud yaitu hidup dan memberdayakan sebuah masyarakat literat yang saling memahami, menghormati dan menghargai sesama. Tentunya dengan ilmu, dengan adab dan dengan tuntutan agama. Hidup di alam yang serba saling mendukung bukan saling menjegal satu sama lain. Karena sesungguhnya kita adalah zoon politicon yang sudah selayaknya sama-sama belajar. Karena orang lain adalah buku bacaan sedangkan diri kita adalah buku kosong tempat menulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde