Woks
Seiring canggihnya teknologi saat gerhana matahari berlangsung orang-orang bisa menyaksikanya dengan mudah. Biasanya mereka akan mendekat kepada instansi yang memiliki alat seperti teropong bintang demi menyaksikan fenomena alam itu. Begitulah kiranya sains dan perangkatnya yang melahirkan sebuah kebudayaan penunjang demi perkembangan ilmu secara ilmiah. Akan tetap sains lemah dalam hal kearifan. Ia hanya menjadi sarana pertunjukan tanpa sarat makna.
Lebih jauh saat ada gerhana matahari biasanya di daerah kami menyebutnya dengan "sama graha". Sebagai manusia berdimensi kosmologi, orang Jawa atau tepatnya di daerah kami sering sekali mengaitkan fenomena alam ini dengan sesuatu yang di luar nalar. Baik gerhana matahari atau bulan bagi masyarakat ialah bukan fenomena alam semata. Mereka pasti akan menyangkutpautkan kejadian itu dengan Bathara Kala. Anak Dewa Syiwa itu dianggap akan memakan matahari/bulan sehingga keadaan jagat akan gelap gulita. Maka dari itu beberapa masyarakat percaya untuk segera menggelar ritual "oprak-oprak".
Ritual itu dianggap sebagai perlawanan terhadap sama graha, yaitu membangunkan setiap pohon dan ternak dengan sampu lidi, kayu, lesung, atau bambu agar mereka tidak mati. Orang menyangka jika hewan ternak dan pohon tidak dioprak-oprak maka akibatnya tidak akan berbuah dan tak lama akan mati. Begitu juga dengan ibu yang sedang hamil, mereka diminta untuk bersembunyi tujuanya agar tidak terkena murka Bethara Kala tersebut. Biasanya mereka bersembunyi di bawah longan amben atau kamar tidur. Sebab jika tidak bersembunyi dikhawatirkan akan membawa musibah kepada janin dan ibunya. Setelah itu mereka diminta untuk tawur beras kuning atau dalam bahasa kita bersedekah kepada tetangga terdekat karena terhindar dari sama graha.
Bagi sebagian warga memang masih memegang erat tradisi nenek moyangnya itu sehingga saat terjadi sama graha mereka akan melakukan ritual tersebut. Kalangan akar rumput memang cenderung panik saat ada sama graha karena mereka tidak tau bagaimana menyikapi fenomena alam tersebut. Yang jelas mereka hanya mengikuti warisan leluhur. Padahal jika kita tahu dalam sejarah raja-raja dulu mereka cenderung kalem dalam menyikapi gerhana tersebut. Sebut saja Mpu Sindok (Raja Medang, Mataram Kuno), Wishnu Wardhana (Raja Singhasari), termasuk Mpu Prapanca menyelesaikan Kitab Negarakertagama saat terjadi gerhana.
Sebenarnya dengan adanya gerhana tersebut kita hanya diingatkan dengan sebuah pepatah "sapa sing lena bakale kena". Artinya kita diperintah untuk tetap waspada agar tidak terjadi marabahaya. Dalam Islam tentu kita dituntun untuk melakukan shalat kusuf (matahari) atau khusuf (bulan). Sesuai anjuran Nabi SAW bahwa gerhana tersebut merupakan fenomena alam dari Allah swt maka jika kita menjumpai fenomena tersebut disunahkan untuk berdoa, bertakbir, shalat dan sedekah.
Sekarang kita tahu bahwa fenomena alam apapun sesungguhnya Allah swt telah memberi tuntunan melalui Nabinya. Ia tengah memberi kabar lewat alam bahwa manusia harus lebih peka, perbanyak taubat atas segala kesalahan dan jangan lupa berbaiklah kepada sesama. Sehingga konsep memayu hayuning bawono yang dikenal orang Jawa tidak jadi sebuah ajaran kosong belaka. Melainkan menjadi pepeling untuk kita semua agar terus memperbaiki hubungan habluminallah, nass, wa alam.
Komentar
Posting Komentar