Langsung ke konten utama

Cerita dari Kalender Lebaran


Woks

Tahun 2020 akan dikenang sebagai momen lebaran paling sunyi dalam sejarah. Apalagi saya sebagai orang perantau begitu merasakan dampak keadaan ini. Mulai dari tak bisa mudik ke kampung halaman, pekerjaan di rumahkan, krisisnya ekonomi, update an Covid-19 yang terus meningkat, menahan rindu sampai menikmati hari nan fitri seorang diri. 

Bisa dibayangkan jika hari-hari normal gema takbir berkumandang dengan merdu, mengalun di setiap surau. Tapi kini gema takbir begitu lirih bahkan sesekali hanya meninggalkan kaset mp3. Selain itu setelah shalat idul fitri keadaan sepanjang jalan begitu sepi. Beberapa rumah warga memilih menutup pintunya, jika pun di buka tradisi memohonkan maaf dilakukan dengan berjarak. Sepanjang jalan saya hanya melihat sepanduk-sepanduk bertuliskan ,"maaf warga kami tidak menerima tamu dari luar" darisana hati saya langsung ambyar. Di mana-mana memang tidak ada open house seperti biasanya. Sehingga kue-kue khas lebaran hanya menjadi hiasan yang sesekali di makan kucing saat si empunya rumah pergi.

Setelah itu bagi perantau seperti saya sungkem online pun begitu terasa menyayat. Momen tahunan di mana sang anak bersimpuh di kaki orang tua untuk memintakan maaf kini harus rela menerima takdir dengan berjarak. Tangan tak mampu berjabat sedangkan wajah tak mampu membendung tangis. Tapi semua itu tak mengurangi niatan untuk sama-sama mengikhlaskan kepergian salah dan dosa.

Satu kisah lagi yang selalu saya pikirkan adalah janji untuk membawa kalender saat pulang ke rumah. Seperti tahun sebelumnya saat mudik ke kampung halaman saya selalu membawa kalender pesanan ibu. Beliau pasti tak lupa mengingatkan saya agar membawa kalender dari tanah rantau. Sebab biasanya penanggalan di rumah adalah kalender lawas neptu Jawa plus gambar Sultan Hamengku Buwono dari masa ke masa. Kalender itu di beli saat dulu bapak dan ibu melewati sepanjang jalan pasar Bringharjo Jogjakarta.

Saat saya di Jawa Timur sering sekali kalender yang saya bawa selalu berlatar pesantren. Hal itu tak lain dari kecintaan ibu pada ulama, padahal ibu sendiri tidak mengerti apa itu pesantren dan ulama. Yang beliau tau hanya kiai kampung yang pernah mengajari anak-anak di surau tempat kami tinggal. Saat saya mudik yang saya bawakan adalah kalender hasil safari ke berbagai pesantren dalam acara majelis haul. Atau jika tak sempat membelinya kadang saya nitip kepada teman untuk membeli kalender tersebut. Diantaranya kalender yang sudah saya bawa pulang ke rumah ialah, kalender Pondok Panggung, Lirboyo, Ploso, Pondok PETA, Pondok Assalafi al Fitrah, dan foto-foto ulama serta kali ini edisi Pondok PPHM Ngunut Tulungagung.

Kalender yang terakhir itulah saya dapatkan dari seorang teman. Saya membelinya dari beliau langsung sebagai salah seorang lay-outer nya. Padahal kalender tersebut sudah saya idam-idamkan sejak 4 tahun yang lalu. Akan tetapi mungkin itulah waktu yang belum berpihak kepada saya, di mana untuk menghadiri majelis Haul KH Ali Shadiq Umman ke XXI perlu waktu lama untuk bisa menghadirinya. Padahal jarak pondok saya dengan PPHM sangat dekat sekitar 2,4 KM untuk tidak disebut jauh. Saya ke majelis haul tersebut seorang diri dengan bersepeda onthel pinjaman dari seorang teman. Sejak pagi buta saya berangkat ke majelis haul tersebut menerobos pekatnya kabut pagi dan berpacu dengan mobil peti kemas yang klaksonya begitu pongah. Akhirnya saya sampai juga di sana dan mendapatkan kalender tersebut.

Tapi sungguh sayang, kalender tersebut tidak sampai ke rumah. Padahal zaman sekarang sudah ada jasa pengiriman paket. Akan tetapi saya masih meyakini bahwa untuk memberikan sesuatu kepada orang tua harus diantar langsung oleh anaknya. Kecuali kepada orang lain boleh melalui perantara, jika tidak demikian rasanya kurang afdhol. Walau begitu saya masih menyimpan niatan bahwa suatu saat kalender dan beberapa foto ulama ini bisa sampai ke tangan ibu tanpa tergores sedikit pun.

Saya masih meyakini bahwa kalender yang disertai foto ulama nilainya berbeda dengan kalender biasa. Apalagi keluarga saya yang tidak menyukai gambar seperti dalam catatan hadits bahwa “Sesungguhnya Malaikat tidak masuk pada rumah yang terdapat gambar di dalamnya” (HR. Baihaqi), terutama gambar anjing. Darisanalah saya bersiasat untuk membawa kalender dengan gambar ulama dan ternyata orang tua menerima hal itu. Saya juga meyakini bahwa foto ulama dalam kalender memiliki tuahnya sendiri. Bahkan menyimpannya pun harus hati-hati. Ia ibarat benda hidup yang memiliki ruh dan jangan sampai tergeletak di bawah. Meminjam istilah Max Webber bahwa ketokohan seseorang memang memiliki "charisma" sehingga sekalipun hanya gambar orang bisa saja dibuat terkesan karenanya. Percis seperti cerita preman yang sedang pesta minuman keras di sebuah rumah. Kebetulan rumah tersebut terdapat foto Waliyullah Mbah Hamid Pasuruan, al kisah salah satu pemuda menyuruh agar pergi minum ke tempat lain karena malu foto Mbah Hamid memandangi mereka. Salah satu dari pemuda tersebut berkata, "itu kan hanya gambar", lantas pemuda satunya marah karena ucapatan itu sehingga dari masalah itulah mereka berkelahi.

Kini waktu telah melewati lebaran sedangkan kalender itu pun dinamis berjalan membuka bulan baru dengan semangat baru. Walau dunia masih terluka dan kita sedang melawan corona dalam new normal setidaknya hati tetap terbuka untuk memohonkan maafnya. Semoga segala khilaf, alfa dan dosa kita lebur masih di suasana lebaran ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde