Langsung ke konten utama

Menu Nasi hingga Warung Bu Addah


Woks

Kehidupan memang seperti yang Freud katakan bahwa seseorang akan mudah mengulang atau mengingat masa lalunya. Dalam tradisi psikologis masa lalu tersebut diingat sebagai sebuah pelajaran hidup atau pelampiasan. Sering sekali saya mengingat saat-saat masih kanak-kanak dan kini saatnya mengingat masa-masa di SMA.

Kata alm Chrisye masa-masa di SMA itu adalah waktu yang paling indah, istilahnya kisah dan kasih. Tapi maaf saya tidak sama dengan Chrisye, saya hanya mengingat saat di mana lidah bergoyang dengan salah satu menu makanan yang pada saat itu menjadi idola saya. Entah sejak kapan saya seperti seorang ahli dalam menilai masakan. Saya sendiri tidak mengklaim bahwa saya seorang pakar kuliner yang ke mana-mana disorot kamera lalu singgah di suatu warung, lalu mengekspos sajian menunya dan terakhir berkata "maknyuss". Anda tidak perlu bayar dan pastinya makan sepuasnya, itulah namanya presenter kuliner.

Saat di SMA saya menikmati masakan di warung bu Addah. Warung tersebut terletak tidak jauh dari sekolah kami MA Nurul Hikmah Haurgeulis paling sekitar 100 m ke arah timur. Di warung tersebut termasuk menyediakan menu yang lengkap, mulai dari makanan ringan ala anak-anak hingga makanan berat seperti opor ayam dan sebagainya. Harganya terbilang terjangkau bagi kantong saya yang sering menganga. Bagi anda yang suka wisata makanan ala restoran juga perlu mencicipi masakan di warung tersebut, secara subjektif tidak kalah dengan menu restoran dengan menu masakan yang sulit dimengerti, japanese chicken steak, salad origano, morning fritatta, beef curry udon, kabocha panggang mustard, garden blue dll.

Saya masih mengingat saat menikmati satu menu namanya nasi lengko. Taburan bumbu kacang yang menutupi potongan tempe tahu goreng, berbalut bawang goreng, potongan timun, kecambah dan kerupuk benar-benar ngangenin. Kadang saat rindu akan masakan tersebut kami membuatnya sendiri di sini, anggap saja sedang nostalgia di mana lidah mudah bergoyang.

Selain nasi lengko ada juga menu nasi lain yaitu nasi rames, orang Jawa Timur menyebutnya nasi campur. Tentu sangat berbeda dengan nasi lengko di mana tidak terdapat bumbu kacang sedangkan lauk utamanya yaitu sayur lodeh. Sesuai namanya nasi rames atau campur tersebut lebih kaya akan lauk seperti tempe tahu, gorengan, potongan rempeyek, dan tak lupa sayur yang disiram ke seluruh permukaannya. Sayurnya sendiri bisa bermacam-macam sesuai selera seperti lodeh, opor ayam, sayur telur hingga sayur bening.

Dari menu sederhana itu kadang saya bertugas menjelaskan jika orang bertanya ada masakan khas apa di rumahmu. Tentu dengan bangga saya mengatakan ada nasi lengko dan nasi rames. Bahkan sesekali saya sok pinter bahwa menu nasi di daerah kami disesuaikan dengan waktu orang beraktivitas, artinya bervariatif dan kaya. 

Mulai pagi sekitar pukul 06:00-09:30 misalnya ada menu sarapan nasi kuning. Menu ini tentunya sangat familiar di tengah-tengah kita para penikmat kuliner. Biasanya banyak diburu oleh anak sekolah, orang yang akan ngantor ke sawah, pekerja yang tak sempat sarapan hingga orang yang malas masak. Setelah itu pukul 09:30-15:00 ada menu nasi lengko dan nasi rames. Menu ini dianggap sebagai perwakilan saat orang-orang istirahat dari aktivitas ngantor dan sebagainya. Setelah itu sejak pukul 15:00 sore hingga 02:00 dinihari ada menu nasi uduk. Menu ini sangat berbeda dari nasi lainnya sebab rasa dari nasi gurihnya sangat khas. Maklum nasi uduk diproses dengan ditanak dengan perasan air kelapa sehingga cita rasa gurihnya sangat kuat. Nasi uduk banyak diburu oleh mereka para petualang malam. Biasanya anak-anak yang tidak tinggal di rumah dan sering keroncongan karena belum ada yang masakin. 

Ada sejarah sedikit tentang salah satu nasi tersebut yaitu nasi uduk. Nasi uduk sendiri diperkirakan sudah ada sejak tahun 1910 dalam catatan Belanda disebut Jaloerse rijst. Dari semua menu nasi tersebut saya sendiri tidak tau banyak hal. Yang jelas menu nasi tersebut berkembang di wilayah pantura. Ada yang menyebut nasi uduk berasal dari wudhuk (wudhu) artinya bersuci. Sesuai dengan namanya nasi putih tersebut secara filosofis mengajak penikmatnya untuk terus menyucikan hati dan perilaku agar seputih nasi tersebut. Untuk nasi-nasi lainya saya tidak banyak tahu, termasuk sejak kapan bu Addah berjualan. Mungkin beliau jualan sejak saya masih SD, umbelan ingusan hingga akhirnya saya sampai besar saat ini.

Sekarang saya cuma bisa membayangkan jika menu nasi tersebut ada di hadapan, ditambah gorengan hangat berpacu dengan sambal asam serta tak lupa es kelapa pati yang menyegarkan tersaji lengkap. Dan saya sesuka hati akan menikmatinya sampai kenyang lalu tak sadar bahwa saya sudah lelap tertidur. Pada saat bangun saya sedikit amnesia tapi mendengar dengan jelas bahwa Teh Iis mengatakan sabdanya, "gara-gara wis unboxing warung e kita, nggo Woko mah gratis lah". Lalu saya pun tersenyum dan mengatakan "matursuwun ya Teh, aja klalen dibungkus". 

Mari tertawa :) wkwkw

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde