Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

Belajar Kepada yang Telah Mati

Woks Sebagai mahluk pembelajar manusia memang punya tingkah unik. Mereka ternyata belajar kepada siapa saja dan apa saja. Maka jelas hasil produk berpikir manusia adalah kebudayaan. Manusia selalu memiliki ide kreatif untuk menyelesaikan segala macam perkara. Terlepas bagaimana cara mereka menempuh penyelesaian itu.  Kadang saat tertimpa masalah orang hidup mudah berpikir mati saja lebih baik, sebab dengan mati mereka akan melupakan segala masalah. Padahal tidak demikian. Justru baik hidup atau mati semua menghadapi masalah yang baru. Maka dari itu lebih baik kita belajar kepada siapa saja tentang banyak hal termasuk kepada mereka yang sudah mati. Dalam sebuah catatan Prof Nasaruddin Umar menulis bahwa Ibnu Arabi' pernah berkata bahwa "sungguh miskin orang yang hanya belajar kepada yang hidup saja". Dari fenomena itulah kita juga tahu bahwa Imam Ghazali sering mengkonfirmasi hadits-hadits kepada Rasulullah saw padahal beliau telah wafat lama, termasuk Ibnu Sin

Ngaji ATI: Di Balik Pintu Langit

Woks Malam di Puncak ATI begitu syahdu. Sajian kopi hitam berkepul bersama gorengan tersaji di antara para jamaah. Tak lupa jamaah pun disambut senyum manis para tetamu saji. Tak kalah terenyuhnya saat sandal jamaah ditata dengan rapi ala pesantren oleh tetamu saji itu. Sungguh acara yang menggugah jiwa. Pendopo Sakjroning Manah menjadi saksi kita semua sebagai kawula yang haus akan ilmu dan tentunya adab. Acara yang bertajuk Discovery Islam Indonesia itu menghadirkan tiga narasumber yaitu, KH. Zainal Hafidz, Ridho al Qadri, Ja'far Shadiq yang ketiganya pakar sesuai dengan perspektif keilmuan masing-masing. Acara yang mengupas tema "Pintu Langit" tersebut tentu menggugah selera jamaah untuk datang dan melayangkan pertanyaan. Sebelumnya pun jamaah dipandu lewat selebaran yang berisikan ulasan tema dalam satu artikel. Saya akui bahwa diskusi malam tersebut sangat sulit dipahami sehingga hanya beberapa poin yang bisa saya catat. Faktor kesulitannya yaitu karena t

Petani Harapan Ku

Woks Sebagai anak petani aku merasa bangga. Ibu bapak ku selalu memberiku semangat tentang arti kesederhanaan dan optimisme akan masa depan. Petani adalah penghuni pertama di muka bumi. Sehingga tanpa perlu minder bahwa petani telah berjasa besar dalam menanam baik padi, holtikultura, tebu, sagu dan banyak lagi. Kehidupan tanpa pertanian sepertinya tidak mungkin, karena hidup untuk menanam dan memanen. Sehingga seberapa besar kita menghargai petani atas jerih payahnya, tentu kita tak akan bisa membalasnya. Sejak sekolah dasar (SD) hingga kuliah bapak mengajariku bahwa suatu saat sawah memang akan hilang. Tapi saat itu pula pertanian akan ramai bahkan anak-anak muda kembali turun ke sawah. Usaha pertanian akan digandrungi lagi dengan berbagaimacam bantuan teknologi. Sehingga kita tak usah khawatir jika pertanian akan punah. Saat ini kita hanya perlu menjaga konsistensi seberapa sabarnya menjadi petani? Kita tentu tahu suka dukanya petani selalu tak berujung manis. Mulai dari

Ngaji Ngopi: Edisi Konsep Dakwah di Era Milenial

               (Ngaji Ngopi: doc penulis) Woks Ngaji Ngopi kali ini begitu istimewa sebab acara tersebut kedatangan narasumber yang keren bahkan hingga dipenuhi sesak jamaah. Narasumber tersebut tak lain merupakan founder dari masing-masing orang yang telah memiliki jamaahnya tersendiri dan sesuai bidang kajian yang diampunya. Mereka yaitu Pak Nurwakhidun founder Ngaji Gayeng, Gus Abdillah Subhikin founder Kampung Sufi dan Gus Muhammad Balyahu founder A.T.I (Anak Thariqoh Indonesia). Ngaji Ngopi edisi kali ini tentu membicarakan konsep dakwah dari masing-masing founder tersebut guna mengajak kepada semua orang terutama generasi milenial agar terus membumikan hal-hal baik di kehidupan. Tentu dari masing-masing halaqoh yang mereka nahkodai memiliki ciri khasnya tersendiri sehingga bisa menjadi pilihan anak muda untuk menggali ilmu. Maka dengan adanya mereka dan kelompok binaanya setidaknya menjadi alasan kuat untuk kita terus mencari jatidiri, ngangsu kawruh melalui ka

Senjakala Lagu Anak

Woks Kita mungkin sering mendengar jika anak-anak masa kini tidak seperti masa lalu. Hal itu merupakan suatu keniscayaan bahwa setiap anak akan mewakili zamannya. Anak adalah manifestasi atau cerminan zaman yang sedang berkembang. Jika kita membandingkan anak di masa lalu tentu akan sangat terlihat perbedaanya. Kadang kala kita memang terlalu sering membandingkan anak (yang saat ini menjadi orang tua) dengan anak zaman now. Maka perlulah kita merenung pesan Sayyidina Ali untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya. Zaman dulu anak-anak mungkin begitu akrab dengan alam. Alam mendidik mereka menjadi manusia yang kreatif dan bahagia termasuk gembira bersama lagu dan dolanan. Persoalan lagu misalnya, anak-anak dulu saat kita kecil era 90an hingga tahun 2000 mendengar lagu-lagu anak merupakan sajian keseharian. Lagu anak menjadi menu pelengkap saat memulai permainan atau sekadar menjadi hukuman saat anak kalah dalam permainan. Akan tetapi saat era milenium datang semua lagu dan p

Membangun Jalan Sunyi Lewat menulis: Potret Suprawoto

               (Foto: Koran Jawa Pos) Woks Orang mungkin belum terlalu mengenal siapa Dr. Drs. Suprawoto, SH, M. Si. Beliau adalah seorang bupati yang masih memimpin di Kabupaten Magetan Jawa Timur hingga saat ini. Kiprah pria kelahiran 3 Februari 1956 itu perlu saya tuliskan sebagai jalan semangat untuk kita terus menulis. Lantas orang bertanya sebagai seorang politikus, bupati dan pejabat beliau pasti sibuk. Apa mungkin seorang bupati bisa menulis? jawabanya akan kita ulas bersama. Suprawoto seperti yang dimuat di Jawa Pos adalah Bupati Magetan. Kecintaan beliau pada dunia menulis ternyata sudah lama sehingga saat jadi bupati pun beliau masih aktif menulis. Bahkan saat ini beliau aktif mengisi kolom di Jawa Pos Radar Madiun, termasuk Majalah berbahasa Jawa Panjedar Semangat hingga 11 tahun lamannya. Salah satu kolomnya yang menarik kita baca adalah berjudul " Pemilu 2019 (jalan dipersimpangan) ", tulisan tersebut adalah komentar atas pemilu 2019 yang begitu caru

Tentang Sebuah Kehilangan

Woks Sepanjang hidup kita pasti akan menemui momen kehilangan. Entah kehilangan seseorang, benda atau ingatan bisa saja terjadi. Kehilangan apapun pada akhirnya akan melahirkan luka. Sedikit saja luka menganga ia tetap terasa sakit. Maka dari itu kehilangan memang tidak mengenakan terlepas karena diri sendiri atau karena orang lain. Saya sendiri tentu pernah merasakan kehilangan mulai dari cash hp, radio, uang, sepeda dan bahkan seseorang yang sudah saya anggap guru. Saya tidak bisa membayangkan betapa air mata menyambut kehilangan sosok peneduh itu. Sosok yang selalu memberi motivasi dan ilmu baru agar saya terus melangkah. Sosok tersebutlah sangat istimewa hingga semua petuah beliau saya simpan dalam hati. Jangankan kehilangan seseorang untuk sekedar benda seperti cash hp atau jam saja kadang kita begitu kecewa. Jika karena diri sendiri yang teledor mungkin wajar, karena sebagai bayaran atas sikap kita. Tapi lain lagi karena dicuri atau disembunyikan. Pastinya alasan kedu

Membangun Jalan Sunyi Lewat menulis: Potret Indari Mastuti

                (Foto: Koran Jawa Pos) Woks " Ketika Corona ini sudah pergi kita tetap pakai masker, agar mulut tidak berkata yang tak bermanfaat". - Habib Umar Muthohar Pesan Habib Umar tersebut menjadi menarik ketika tradisi rasan-rasan selalu diidentikan kepada perempuan. Padahal rasan-rasan pada laki-laki pun tak jauh berbeda. Pesan tersebut sebenarnya menjadi isyarat bahwa kita harus memprioritaskan hal-hal yang baik. Seperti halnya lebih baik diam dari pada sok tau. Semua usaha kebaikan itu tidak dibatasi oleh jenis kelamin, semua sama harus berusaha. Termasuk yang dilakukan oleh Indari Mastuti. Siapakah beliau? Indari Mastuti adalah seorang ibu rumah tangga (IRT) yang juga founder komunitas "Ibu-ibu Doyan Nulis", Indscript, dan pendiri Penerbit Pustaka Malka dan BUKUIN AJA. Nama lengkapnya adalah Indari Mastuti Rezki Resmiyati Soleh Addy. Ia memang gemar menulis sejak kecil. Saking senangnya dengan menulis bahkan masa pandemi ini tak menghalanginy

Belajar dari Sandal dan Puntung Rokok

Woks Jika kita berkunjung ke pesantren tak aneh jika banyak sandal yang tertata rapi. Akan tetapi, ada juga sandal yang mudah hilang dan tertukar. Istilahnya ghasab , yaitu meminjam tanpa sepengetahuan si pemiliknya. Jika berkunjung ke warkop tentu bukan sandal yang kita temui, tapi puntung rokok. Orang-orang yang ngopi pasti tak terlepas dari merokok sedangkan puntung rokoknya (utis) sangat mudah kita jumpai di asbak atau bahkan berserakan di tanah. Jika sandal tertata rapi tentu kita amat senang yang melihatnya. Sama halnya dengan puntung rokok, jika ia berada pada tempatnya nyamanlah kita. Tapi selama ini ajaran kerapihan itu tidak terjadi, faktanya tempat umum selalu menjadi tempat formalitas yang jauh dari kesadaran. Alih-alih kebersihan pada diri sendiri, sesungguhnya malah membebani tukang sapu kebersihan. Seharusnya tanpa mempertimbangkan ada atau tidaknya tugas kebersihan seharusnya kita sadar bahwa hal itu merupakan tugas bersama. Mari kita belajar pada bangsa Jep

Semua Tinggal Kekecewaan

Woks Melihat dua kasus yang sedang hangat di jagat maya jiwa ini kembali terbuka bahwa dari setiap peristiwa akan melahirkan kecewa. Kekecewaan akan selalu hadir diakhir selepas peristiwa usai. Ia hadir bagaikan cambuk pengingat tentang sebuah rasa mengapa hal itu terjadi. Apakah ini bagian dari suratan takdir. Atau kita memang sedang khilaf dan tak sadar melakukan semua itu. Atau kita memang sengaja dengan sadar tentang kekuatan nafsu yang lebih besar menguasai diri. Entahlah nasi memang sudah terlanjur menjadi bubur. Semua memang meninggalkan penyesalan. Luka sekalipun diobati masih akan tetap tampak bekasnya. Kita melihat dua kasus pertama penyanyi Reza Artamevia tersandung penggunaan sabu-sabu dan seorang ARMY di Turki (julukan fans BTS) mengakhiri hidupnya di ujung pistol. Kasus penyanyi Reza sebenarnya tidak kali ini saja, ia pernah diamankan polisi Mataram NTB pada 2016 karena kasus penyalahgunaan narkoba oleh Gatot Brajamusti. Kali ini di 2020 Reza kembali dengan ka

Kita Hanya Bisa Kagum

                     (Foto : doc Penulis) Woks Ada sebuah falsafah Jawa berbunyi "aja gumunan" yang berarti jangan mudah takjub. Makna lain terselip bahwa kita tidak diperkenankan untuk mudah aneh atau penasaran secara total. Dalam hal ini memandang sesuatu itu dengan sederhana alias biasa saja. Sebab semua pandangan itu bersifat relatif bahkan sering sekali kita jumpai pandangan yang berbeda. Termasuk kekaguman pada sesuatu hal adalah bersifat manusiawi, namun tetap pada koridor bahwa sesuatu tersebut juga mengandung kelemahan. Membaca tulisan Mas Antok Agusta tentang seorang akademisi, ilmuan yang kepakaranya tentang studi Islam tak diragukan lagi ia adalah Annemarie Schimmel. Seperti yang diceritakan Mas Antok bahwa orang yang tak beragama itu telah membuat kagum Habib Quraisy Baharun muda (25) atau bahkan semua orang yang mengenalnya. Bahkan saat meninggal pada tahun 2003 di Bonn, Schimmel berpesan, agar dibacakan Surah Al-Fatihah ketika dia dimakamkan. Dan ya

Ngaji Ngopi: Mencari Celah di Tengah Wabah

     (Doc: Ngaji Ngopi, Distrik Kepatihan) Woks Kepatihan (10/9/20), malam itu udara terasa dingin tapi sepedaku melaju begitu cepat hingga sampailah disebuah acara rutin Ngaji Ngopi. Acara ini hadir lagi di edisi "Golek Celah nek Tengah Wabah". Menghadirkan narasumber Yowan Faradina (singer), Justo (MC) dan Sujarwo (Pekerja Terop). Mereka berbincang atas nama satu rasa yaitu mewakili seniman atau orang yang sama-sama merasakan dampak Covid-19 dan kebijakan pemerintah. Awal diskusi di buka sebenarnya aku hanya berpikir saat ini Karl Marx, Engels, Lenin dan Comte sedang tertawa lepas. Mereka sedang melihat betapa payung satu rasa atas nama manusia tanpa kelas benar-benar hampir terjadi. Di mana-mana orang sedang merasakan hal yang sama. Bahkan sebuah anekdot berseloroh "pie kabare? penak zamanku toh". Nyatanya setiap zaman telah memiliki rasa perih tersendiri. Sekarang hanya tinggal siapa yang mampu bertahan. Saat diskusi mulai berjalan aku pun melihat ma

Obituari: Jacob Oetama Manusia Rendah Hati Berwawasan Luas

 (Foto: Jacob Oetama, Syukur Tiada Batas) Woks Indonesia kembali berduka, kali ini datang dari jurnalis senior sekaligus pendiri Kompas Gramedia yaitu Jacob Oetama. Pria kelahiran 27 September 1931 di Borobudur Magelang Jawa tengah itu menghembuskan nafas terakhir di usianya yang ke 88 tahun. Jacob Oetama atau orang biasa memanggilnya Pak J-O meninggal karena penyakit multiorgan yang telah lama ia derita. Pak J-O pergi dengan segudang peninggalan berharga bagi negeri ini. Ia bahkan dijuluki Bapak Jurnalisme Modern karena dedikasinya yang besar bagi perkembangan pers di Indonesia. Kita tahu pers di zaman lalu sangat sulit berkembang. Pers selalu disumpal dan diawasi gerak-geriknya. Pers juga tidak sebebas hari ini. Maka atas perkembangan tersebut tentu Pak J-O telah melewati masa getir itu. Hingga saat ini ia telah menanam pondasi dasar bagi pers Indonesia yang kokoh. Jika flashback sejarah tentu kita tahu pada 17 Agustus 1963 bersama sahabatnya PK Ojong, beliau mendirikan

Jurnalistik Madrasah Sebagai Kanal Kreativitas Siswa

Woks Apa kabar Mading alias majalah dinding? mungkin telah lama kita tidak menjamahmu. Untuk sekedar menghilangkan debu pada kaca, atau mengganti beberapa brosur dan beberapa gambar pada kertas yang semakin usang pun kami tak sempat. Mungkin itulah sekelumit coletahan salah satu siswa saat melihat keadaan Madingnya yang kian hari semakin tak terurus. Bicara Mading tentu kita akan tertuju pada salah satu dari produk jurnalistik tersebut. Bahkan saat mendengar kata Mading kita akan diingatkan sejarah tentang Acta Diurna di era kekaisaran Julius Caesar sekitar 100-44 SM. Acta Diurna merupakan papan informasi sejenis majalah dinding, pusat di mana orang-orang Romawi pada saat itu mengakses informasi. Dalam sejarah Acta Diurna tersebut dianggap sebagai produk jurnalistik pertama karena menyampaikan kabar kerajaan kepada masyarakat. Sebelum mengenal istilah jurnalis atau profesi kewartawanan sebenarnya sejak di madrasah kita pernah dikenalkan dengan sebuah skill bernama jurnalis

Menghidupkan Perpustakaan Menyalakan Peradaban

Woks Pernahkah kita temui saat orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah lantas mereka bertanya, "bagaimana keadaan perpustakaannya?". Rasanya amat jarang kita temui pertanyaan semacam itu. Selama ini perpustakaan memang hampir tidak pernah terjamah baik oleh masyarakat sekolah maupun masyarakat dari lapisan luar. Perpustakaan memang bukan trend utama dari pada fasilitas lain yang lebih menggiurkan dicari seperti bangunan, komputer, mesin, dan lainya. Keadaan perpustakaan baik secara umum maupun di sekolah selalu memprihatinkan. Faktornya bukan karena kurangnya koleksi buku akan tetapi terlalu rendahnya minat baca. Permasalah minat baca itulah kini menjadi problem akut yang belum juga terpecahkan. Seperti penyakit kronis yang sampai saat ini tak kunjung sembuh, padahal obatnya telah banyak ditemukan salah satunya dengan gerakan membaca dan menulis. Literasi perpustakaan tentu diharapkan dapat menunjang suksesnya gerakan literasi nasional (GLN). Perpustakaan harus

Gerakan Guru Menulis

Woks Guru adalah yang digugu dan ditiru begitu kata orang. Mereka adalah role model sekaligus orang tua di sekolah bagi para siswanya. Sehingga apa yang diajarkan oleh guru cenderung akan dicontoh oleh siswa-siswanya. Maka tidak aneh jika ada penghargaan bagi guru telandan tak lain sebagai contoh agar siswa dapat terinspirasi untuk mengikuti jejak langkahnya. Gerakan Guru Menulis (GGM) merupakan satu kesatuan dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan ini merupakan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kinerja guru sebagai seorang pendidik. Karena guru adalah seorang pendidik maka mereka tidak hanya bertugas mengajar, melainkan menempa, membimbing sekaligus mencontohkan kepada siswanya berbagai contoh riil yang telah dipelajarinya. Gerakan tersebut juga sebagai sarana untuk memompa laju literasi Indonesia agar dapat terus ditingkatkan sebagai modal daya saing dengan negara lain. Keberhasilan seorang siswa beberapa persennya karena campur tangan guru. Selebihnya adala

Gerakan Literasi Sekolah

Woks Sejak tahun 2015 Pemerintah melalui Kemendikbud telah meluncurkan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) sebagai upaya menciptakan iklim yang literat di wilayah satuan pendidikan. Gerakan tersebut tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang ada di instansi pendidikan melainkan kepada orang tua, para tokoh masyarakat, penerbitan, media masa dan pemangku kebijakan juga turut serta terlibat. Karena gerakan ini bersifat partisipatif-kolaboratif yang tentu menginginkan sebuah habitat pembelajar sepanjang hayat dapat terbentuk. Gerakan ini berupaya untuk membiasakan peserta didik dan umumnya kepada masyarakat agar gemar membaca. Saat habituasi membaca telah menjadi kegemaran maka gerak selanjutnya akan diarahkan ke pengembangan dan pembelajaran. Gerakan ini juga bertujuan untuk memberi pemahaman kepada semua pihak akan pentingnya belajar sepanjang hayat. Dalam modul desain induk GLS yang diluncurkan oleh Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah dijelaskan bahwa setidaknya ada 6 komponen

Membangun Sekolah Berbasis Literasi

Woks Bicara pendidikan tidak terlepas dari dunia literasi sebagai salah satu jalan mengentaskan problematika dasar seperti belum mampunya membaca dan menulis. Sejak di sekolah dasar tanpa disadari kegiatan literasi telah berjalan. Akan tetapi sejak digulirkanya sistematika pendidikan sampai hari ini kita masih berkutat dalam ranah baca tulis bahkan lebih jauh tertinggal dari pendidikan di negara lain. Seperti yang telah diulas dalam beberapa artikel sebelumnya, kita memang masih terjebak dalam lingkaran literasi dasar seperti kemampuan baca tulis. Walaupun kabar bahagianya kini sudah sangat sulit ditemukan ada orang yang masih buta aksara. Hampir mayoritas dari jumlah penduduk Indonesia terbukti angka buta aksara telah ditekan jauh. Menurut United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2014 mencatat bahwa tingkat buta aksara masyarakat Indonesia dapat ditekan hingga 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Hal itu karena upaya akses pendidikan

Tentang Sebuah Tulisan

Woks Beberapa kawan bertanya mengapa saya tidak menulis tentang agama dan keagamaan atau topik permasalahannya. Saya langsung menjawab dengan sederhana bahwa menulis atau bekerja harus sesuai dengan bidangnya. Saya merasa bahwa agama dan problematikanya belum sepenuhnya saya kuasai sehingga saya sedikit sungkan untuk menulis tema-tema agama. Saya merasa bukan ahli agama sehingga yang saya tulis adalah yang saya yakini bisa dan hal itu sudah saya takar sesuai kemampuan. Saya ingat dalam sabda Nabi saw kepada Abdurrahman ibn Samurah bahwa jangan meminta jabatan dan jangan menyerahkan jabatan kepada yang bukan ahlinya. Hemat saya bahwa jabatan itu akan dimintai pertanggungjawaban. Artinya jika seseorang memberikan pada ahlinya-ahli maka akan menghasilkan intinya-inti begitu juga sebaliknya. Saya khawatirkan orang yang cacat dalam beragama ini menuliskan agama yang sempurna nanti hasilnya bisa kacau. Maka saya lebih baik mundur selangkah. Tujuanya sederhana yaitu pergi jauh unt