Langsung ke konten utama

Sambang: Ekpresi Kerinduan Kepada Nabi SAW

                    (Foto: doc pribadi)

Woks

Di Jawa tradisi sambang tidak terlalu sulit kita temukan bahkan dalam dunia santri tradisi ini begitu lekat. Sambang atau menyambangi dalam makna bebas berarti mengunjungi atau melihat keadaan dengan tujuan sekedar memberi sangu atau melepas rindu karena lama tak bersua dengan anak. Tradisi sambang sebenarnya tidak hanya ada di pondok melainkan di luar itu pun ada seperti anak sedang kuliah, menjenguk orang sakit, mendatangi saudara yang melahirkan (jagong bayi), hingga nyambangi mahasiswa yang sedang KKN.

Dulu saat saya kecil sering sekali melihat orang tua yang menyambangi anaknya di saat gelaran perkemahan. Mereka dengan gegap gempita membawakan jajanan dan makanan untuk anak-anak agar terus semangat dalam acara tersebut. Pada momentum itulah kita bisa merasakan jalinan kuat tali emosional antara orang tua dan anak. Karena saking sayangnya orang tua kepada anak bahkan orang lain sering menganggap semua itu adalah memanjakan belaka. Pandangan miring tersebut memang lebih sering keluar dari mulut mereka yang tidak memperlakukan anak sama dengan yang lain. Sehingga ada rasa iri baik dari orang tua maupun anak itu sendiri.

Memiliki anak adalah tanda rasa bangganya orang tua. Keberhasilan bahwa mereka telah menjadi ibu dan bapak bagi anak-anaknya. Bagaimanapun keadaannya anak adalah harapan di mana orang tua selalu memberikan hal-hal baik buat mereka. Para orang tua akan menyuguhkan kerja maksimal hanya demi anak. Bahkan pemandangan ironi masih sering kita jumpai saat anak melakukan kesalahan di sana orang tua membela mati-matian. Padahal dulu kita pernah tau konon saat Sayyidina Umar bin Khattab pernah mendera anaknya Abu Syahmah karena ia terbukti berzina dengan salah seorang perempuan. Bagi Umar hukum harus ditegakkan walau terhadap anak sendiri. Termasuk sabda Nabi saw jikalau Siti Fatimah kedapatan mencuri maka akan dipotong tangannya seperti berlaku kepada orang lain.

Kembali soal sambang. Dari tradisi lokal ini kita belajar bahwa sambang adalah bentuk heroisme orang tua yang memberi support system agat anak termotivasi semakin giat belajar. Cara itulah yang sangat efektif agar anak terus semangat dalam hal belajarnya. Tentu kita tahu tantangan orang belajar itu berliku salah satunya dihadapkan dengan keputusasaan. Maka dengan kehadiran orang tua saat sambang selalu dinanti oleh anaknya. Bahkan teman satu asrama bisa ikut mendapat berkahnya dengan ditandai rebutan jajan dari orang tua tersebut.

Makna lain sambang adalah ziarah, visit, berkunjung. Jika dikontekstualkan dalam tradisi ziarah siapa orangnya yang tidak ingin berkunjung ke makam manusia mulia di muka bumi, Kanjeng Nabi Muhammad saw? mayoritas pasti akan menjawab "saya". Terutama warga NU mengekspresikan cinta Nabi SAW beragam cara dilakukan salah satunya dengan sambang atau ziarah. Belum lagi tradisi lainya yang berkembang di Jawa tidak lepas dari proses memuji Rasulullah Saw, seperti Sekatenan, Pitonan, Tedak Siten, Kenduren dan lainya. Ekspresi cinta adalah bentuk kerinduan manusia Nusantara tidak hanya di Jawa yang tentu memiliki caranya masing-masing. Soal ziarah ke makam Rasulullah adalah dambaan tersendiri bagi setiap orang padahal kita adalah umat muslim kalangan mutaakhirin. Akan tetapi rasa cinta kepada beliau tidak diragukan lagi. Cinta itu tak pernah luntur sebab kita selalu mengecatnya dengan siraman shalawat setiap hari.

Dulu sempat kontroversi pernyataan dr Soetomo bahwa lebih baik uang untuk haji didonasikan ke Baven Digoel yang jelas-jelas kepentingannya bukan untuk pribadi. Nampaknya pernyataan itu banyak orang yang tak sepakat. Sebab dr Soetomo tidak mengerti bagaimana rasa rindu yang menggebu, bagaimana rasa cinta yang menggema. Coba kita cek kisah Uwais al Qarni saking rindunya kepada Nabi saw ia rela berjalan dari Yaman ke Mekah demi bersua beliau, bahkan Uwais berjalan dengan menggendong ibunya yang renta. Inilah bukti bahwa cinta kadang-kadang tak ada logika. Cinta memang membuat individu menjadi mabuk maka tak heran jika tembok setebal apapun bisa runtuh oleh pecinta.

Baik sambang dalam konteks mengunjungi anak di pondok atau berkunjung ke makam Rasulullah toh tentu sama-sama memberi kesan istimewa bahwa kita sedang rindu. Sebuah rasa yang jika dipendam akan membuat penyakit di dada. Maka dari itu tak ayal jika para perindu akan memberikan kado istimewa terhadap apa yang ia rindukan. Hal itulah yang melahirkan berbagai kebudayaan dan tradisi yang berdimensi esoteris. Maka jika orang merindu masih menggunakan otak berarti ia ibarat air tanpa rasa, hambar. Rindu memang tak tampak tapi ekspresi dan rasanya bisa dirasakan. Jangankan sewindu menahan rindu satu haripun kita tak mampu. Semoga kelak kita bersua dengan yang dirindukan.

Komentar

  1. Tulisan rindu yang menyuburkan kerinduan. Semoga kita diakui sebagai umat Beliau. Tentang kisah waliyullah Uwais al Qarni, saya pengagum Beliau. Sering saya jadikan kisah teladan ketika menemani anak-anak. Biasanya, saya ambil fokus di kisah bakti beliau kepada Sang Ibu. Sedikit masukan, mungkin bisa kita cek ulang tentang proses penggendongan Ibu Beliau. Sepertinya ada versi cerita yang sedikit berbeda. Secara keseluruhan, sungguh keren Mas Woko. I like it.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh siiiap. Masukan seperti ini yg saya tunggu. matursuwun

      Hapus

  2. Tradisi sambang memang acap kali kita jumpai, tapi sambang bukan berarti kita harus datang menemui terlebih sambang kepada baginda Nabi karena telah memendam perasaan rindu yang dalam, karena obat kerinduan itu bisa kita ekspresikan melalui bershalawat kepada Nabi setiap 5 waktu kita selalu bershalawat pada Nabi dan itu menjadi salah satu pengobat rindu kita pada beliau

    Tulisan bang woko jempol, saya harus banyak belajar dari sampean ini. Mohon bantuannya Suhu 🙂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahh siiap ustadzah Fahma, saya juga masih belajar. Kita memang perlu menulis dengan kekurangan agar ada yg ngoreksi wkwkw

      Hapus
  3. Korek mas wok, uwais tidak pernah sambang kepada nabi karena orang tuanya (yang sudah renta tak bisa berbuat apa-apa) melarangnya. Setelah kedua orang yang dicintai meninggal (ibuk dan nabi), Uwais pergi ke sana (entah untuk ziarah qubur atau apa) lalu hanya bisa ketemu dengan umar r.a.🙏🙏

    Namun, ada banyak sumber yang menceritakan uwais, dan bisa jadi sumber yang kita baca berbeda. 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke kak siiap. Cuma sepemahamanku Uwais itu sezaman dgn sahabat, tapi kalangan penafsir memasukan beliau pada golongan tabiin. Dulu beliau Uwais memang dilarang namun akhirnya ibunya membolehkan dan ibunya juga turut serta. Nah singkatnya Uwais tidak bersua nabi. Ia bertemu Fatimah, karena Nabi dan sahabatnya sdg berada di luar, ada yg ngomong sih perang.

      Hapus
    2. Versi yang saya baca. Waliyullah Uwais al Qarni sangat cinta kepada Baginda Nabi dan Ibunda. Beliau ingin sekali berkunjung ke rumah Nabi akan tetapi tetap menanti ridla dari Sang Ibunda. Sementara Sang Ibunda sudah renta dan sedang sakit. Sehingga Uwais menahan cinta dan rindu Beliau kepada Nabi.

      Suatu ketika Sang Ibunda meridlai Uwais berkunjung ke rumah Nabi asalkan tidak lama-lama dan segera kembali. Uwais sangat senang sebab segera ingin bertemu Baginda yang telah lama dirindu. Sesampainya di rumah Nabi, ternyata Nabi sedang tidak di rumah. Kalau tidak salah sedang berperang. Mengingat pesan Ibunda agar tidak lama-lama, Uwais pamit pulang. Tidak menunggu Nabi.

      Hingga Baginda Nabi wafat, Uwais belum sempat bertemu Nabi. Akan tetapi Nabi tahu bahwa Uwais telah sampai ke rumah Beliau, bahkan sebelum Beliau diberi kabar akan kedatangan Uwais. Beliau pun berpesan kepada sahabat agar kelak ketika bertemu dengan Uwais dengan memberikan beberapa ciri kalau tidak salah ada bulatan putih di tengkuk kalu tidak di telapak tangan. Maka, memohonlah doa darinya.

      Adapun tentang penggendongan Ibu. Itu pada saat Sang Ibunda menginginkan berhaji. Sebab Sang Ibunda sakit, maka Uwais menggendong Sang Ibunda berjalan kaki sampai Makkah. Dan, sebelumnya, Beliau melakukan pelatihan fisik dengan cara menggendong -mulai dari- pedet (anak sapi) setiap hari hingga menjadi sapi.

      Demikian, versi yang saya baca. Hehe. Maaf panjang.

      Hapus
    3. Mantaaap... jadi bisa menambah kisah uwais...

      Hapus
  4. Wahh ini masih terus memperkaya wawasan hehe, suwun

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde