Langsung ke konten utama

Semua Tinggal Kekecewaan


Woks

Melihat dua kasus yang sedang hangat di jagat maya jiwa ini kembali terbuka bahwa dari setiap peristiwa akan melahirkan kecewa. Kekecewaan akan selalu hadir diakhir selepas peristiwa usai. Ia hadir bagaikan cambuk pengingat tentang sebuah rasa mengapa hal itu terjadi. Apakah ini bagian dari suratan takdir. Atau kita memang sedang khilaf dan tak sadar melakukan semua itu. Atau kita memang sengaja dengan sadar tentang kekuatan nafsu yang lebih besar menguasai diri. Entahlah nasi memang sudah terlanjur menjadi bubur. Semua memang meninggalkan penyesalan. Luka sekalipun diobati masih akan tetap tampak bekasnya.

Kita melihat dua kasus pertama penyanyi Reza Artamevia tersandung penggunaan sabu-sabu dan seorang ARMY di Turki (julukan fans BTS) mengakhiri hidupnya di ujung pistol. Kasus penyanyi Reza sebenarnya tidak kali ini saja, ia pernah diamankan polisi Mataram NTB pada 2016 karena kasus penyalahgunaan narkoba oleh Gatot Brajamusti. Kali ini di 2020 Reza kembali dengan kasus yang sama yaitu memiliki Amfetamin atau sabu seberat 0,78 gr. Ia mengaku telah menggunakan sabu sejak 4 bulan yang lalu.

Kasus Reza tentu akan menimbulkan luka dan kecewa. Terutama kalangan fans karena ia sebagai publik figur termasuk kedua anaknya ketika tahu kasus ibunya. Perasaan bersalah pada diri sendiri dan perasaan tak percaya pada orang lain tentu tidak menjadikan waktu berulang. Kecuali hanya proses pertobatan dan berubah insaf adalah jalan keluarnya.

Beda lagi kasus Melissa (15) yang bunuh diri karena ia tidak kuat dengan perlakuan ayahnya yang merundungnya. Ia merasa tertindas dan terdesak sebab ayahnya begitu keras padanya. Bahkan tak jarang kata-kata sarkas "aku akan membunuhmu" sering terlontar. Hingga akhirnya Melissa mengakhiri jalan hidupnya di depan pistol milik ayahnya sendiri. Dari kasus ini lagi-lagi siapa yang harus disalahkan? tentu banyak faktor untuk menjawabnya. Yang jelas dapat dipastikan banyak orang yang kecewa dengan tindakan itu. Termasuk sang ayah merasa menyesal dan berdosa atas sikapnya selama ini terhadap anaknya. Mengapa ia terlalu keras kepada anaknya cuma masalah mengoleksi poster K-Pop kenamaan itu. Tapi apa mau dikata semua telah terjadi. Sehingga semua hal itu akan kita ingat sebagai pengalaman dan pembelajaran hidup sepanjang masa.

Dari dua kasus itu kita belajar tentang kekecewaan seorang anak dan fans saat tau idolanya, orang tuanya terlibat kasus. Entah sekalipun ia telah memohon maaf yang jelas semua telah jadi contoh yang buruk bagi khalayak ramai. Kasus kedua pun demikian, mengapa bunuh diri menjadi pilihan mengakhiri hidup. Tidakkah sesuatu bisa diselesaikan dengan baik-baik. Apakah tidak ada solusi sehingga kita mengambil sikap yang bodoh itu. Akhirnya kita paham bahwa sesuatu hal pasti akan didasari hal lain yang melatarbelakanginya. Termasuk sikap keras sang ayah yang merundung anaknya sendiri.

Saat ini kecewa tinggal kecewa, termasuk berbuah penyesalan. Manusia memang bukan mahluk sempurna, akan tetapi perlulah berkaca diri bagaimana menjadi bijaksana. Sampai kapanpun manusia tidak akan selesai dalam mendefinisikan dirinya. Ia akan selalu berbenturan dengan hal lain dalam diri dan pikirannya. Maka dari itu perlunya orang lain sebagai lawan bicara. Perlunya membaca sebagai bahan wawasan dan perlunya menjauhi hal-hal yang buruk. Kita punya pikiran untuk menentukan pilihan, menjadi baik atau tidak sama sekali.

the woks institute l 13.9.20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde