Woks
Sejak tahun 2015 Pemerintah melalui Kemendikbud telah meluncurkan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) sebagai upaya menciptakan iklim yang literat di wilayah satuan pendidikan. Gerakan tersebut tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang ada di instansi pendidikan melainkan kepada orang tua, para tokoh masyarakat, penerbitan, media masa dan pemangku kebijakan juga turut serta terlibat. Karena gerakan ini bersifat partisipatif-kolaboratif yang tentu menginginkan sebuah habitat pembelajar sepanjang hayat dapat terbentuk.
Gerakan ini berupaya untuk membiasakan peserta didik dan umumnya kepada masyarakat agar gemar membaca. Saat habituasi membaca telah menjadi kegemaran maka gerak selanjutnya akan diarahkan ke pengembangan dan pembelajaran. Gerakan ini juga bertujuan untuk memberi pemahaman kepada semua pihak akan pentingnya belajar sepanjang hayat.
Dalam modul desain induk GLS yang diluncurkan oleh Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah dijelaskan bahwa setidaknya ada 6 komponen literasi yang harus diterapkan guna mengaplikasikan GLS tersebut yaitu; pertama, literasi dini ialah kemampuan menyimak, memahami, komunikasi sehari-hari di masyarakat sesuai dengan pengalaman yang pernah dialami dalam makna lain mampu memahami bahasa ibu sejak dini. Kedua, literasi permulaan ialah kemampuan mendengar, bicara, membaca, menghitung dan menulis hasil dari sebuah persepsi serta kesimpulan yang dipahami. Ketiga, literasi perpustakaan ialah sebuah pemahaman untuk dapat membedakan bacaan, memanfaatkan katalog, peindeksan, serta memahami arti penting literatur untuk pedoman dan penelitian. Keempat, literasi media ialah kemampuan untuk membedakan media cetak, visual, digital, internet serta apa maksud dan tujuannya. Kelima, literasi teknologi ialah kemampuan untuk memahami, mengolah, mengelola, menggunakan perangkat teknologi baik hardware maupun software sesuai etika dan etiket yang berlaku. Terakhir keenam, literasi visual ialah kemampuan memahami dan mengelola literasi lanjutan antara audio, audio-visual, digital atau ketiganya disebut multimodal dengan baik karena semakin banjirnya informasi dari sumber tersebut. Kemampuan dari 6 komponen penunjang keberlangsungan GLS tersebut tentu dapat dilakukan dengan cara bertahap. Tidak serta merta langsung dapat diaplikasikan semua. Kita juga perlu menunggu momentum kerjasama yang baik antar semua pihak. Jika kerjasama tidak mampu dikomunikasikan maka GLS tersebut hanya berakhir di meja formalitas.
Pada prinsipnya GLS ini perlu adanya pembiasaan sejak dini. Selain itu program-program literasi diharapkan tidak bertabrakan dengan aspek lainya, justru malah memiliki porsi yang berimbang dan terintegrasi dengan kurikulum. Salah satu bentuk program riil dari GLS ini adalah kegiatan membaca buku 15 menit sebelum kegiatan belajar-mengajar (KBM) dimulai. Tentu kegiatan membaca tersebut bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Akan tetapi karena ini sebuah gerakan maka harapan besarnya semua pihak bisa turut serta mengaplikasikannya. Tujuanya sederhana yaitu agar peserta didik terampil dalam membaca, berpengetahuan luas, mampu mengutarakan pendapat, mengembangkan budaya lisan seperti berdiskusi dan memahami arti keberagaman. Bagi guru dan komponen lainya diharapkan tidak sekedar berfungsi sebagai mentoring, justru bisa terlibat langsung.
Mengapa GLS begitu penting atau siapa yang harus menyukseskan gerakan tersebut. Pertanyaan itu tentu sudah terjawab di bagian atas bahwa semua pihak dalam satuan pendidikan berkewajiban untuk mensukseskan program tersebut. Salah satunya siswa sebagai subjek dan guru sebagai fasilitator. Selebihnya peran-peran lain juga harus turut serta tidak hanya sebagai support system tapi juga aktor yang ambil bagian dalam GLS tersebut.
Secara universal GLS akan berdampak kepada masyarakat. Dampak tersebut telah kita rasakan terutama saat listrik masuk desa dan saat ini internet juga turut mewarnai perubahan. Jika kemampuan literasi seperti yang telah dijabarkan dalam komponen penunjang tersebut diabaikan, maka jangan salahkan jika banyak kasus penyalahgunaan masih sering terjadi. Bahkan kesalahpahaman karena terlalu sempitnya berfikir bisa sangat mungkin karena kurangnya bacaan. Baik membaca buku, keadaan, perbedaan dan arti saling memahami. Lebih jauh tentu masyarakat masih berharap lebih kepada sekolah sebagai tempat menempa peserta didik untuk dicetak sebagai generasi literat yang mencintai ilmu dan berkeadaban.
*Tulisan ini diterbitkan juga di blog MA Nurul Hikmah Haurgeulis Indramayu
Mantap mas.
BalasHapusSemoga bisa semakin dan lebih membudaya.
Kadang untuk mendampingi dan coba sedikit mengarahkan keponakan agar lebih gemar membaca, membuat tulisan (sederhana), masih cari" cara yg sekiranya tepat seperti apa dan bagaimana.
Hehe, nggeh Mas Alfin kadang kita perlu mengajaknya ke alam. Sebab alam adalah buku tempat kita belajar membaca banyak hal secara gratis hehe.
Hapus