Langsung ke konten utama

Menghidupkan Perpustakaan Menyalakan Peradaban


Woks

Pernahkah kita temui saat orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah lantas mereka bertanya, "bagaimana keadaan perpustakaannya?". Rasanya amat jarang kita temui pertanyaan semacam itu. Selama ini perpustakaan memang hampir tidak pernah terjamah baik oleh masyarakat sekolah maupun masyarakat dari lapisan luar. Perpustakaan memang bukan trend utama dari pada fasilitas lain yang lebih menggiurkan dicari seperti bangunan, komputer, mesin, dan lainya.

Keadaan perpustakaan baik secara umum maupun di sekolah selalu memprihatinkan. Faktornya bukan karena kurangnya koleksi buku akan tetapi terlalu rendahnya minat baca. Permasalah minat baca itulah kini menjadi problem akut yang belum juga terpecahkan. Seperti penyakit kronis yang sampai saat ini tak kunjung sembuh, padahal obatnya telah banyak ditemukan salah satunya dengan gerakan membaca dan menulis. Literasi perpustakaan tentu diharapkan dapat menunjang suksesnya gerakan literasi nasional (GLN).

Perpustakaan harus kembali dihidupkan sehingga peran pustakawan dapat terlihat untuk ikut membimbing masyarakat agar menjadi pembaca yang proaktif bukan hanya saja reaktif yaitu hanya membaca saat butuhnya saja. Selama ini perpustakaan hanya sebagai simbol atau tempat pelengkap di sekolah. Termasuk peran pustakawan pun belum begitu terlihat. Padahal buku dan perpustakaan tidak bisa dipisahkan sebagai otak pembawa perubahan. Ia adalah tempat yang praktis untuk ditimba pengetahuannya.

Saat masuk perpus rasanya kita tak pernah bangga. Padahal dulu era kekhalifahan Abbasiyah perpustakaan "Baitul Hikmah" atau House of wisdom merupakan tempat paling populer sebelum akhirnya dihancurkan oleh pasukan Hulagu Khan. Perpustakaan tidak hanya menjadi tempat bersemayamnya buku-buku, melainkan tempat diskusi, konservatorium, penelitian, pusat kajian dan banyak lagi. Maka tidak heran jika dulu Islam pernah mengalami masa kejayaan di mana perpustakaan, buku, keilmuan digali dengan begitu dalamnya. Sehingga ilmuan seperti Sahl bin Harun, Hunain bin Ishaq, al Khawarizmi, al Jahiz, al Jazari dan lainya pernah lahir dari tempat tersebut.

Saat ini tentu kita tidak hanya puas dan terbuai dengan kejayaan masa lalu sedang kekayaan masa kini tidak dipersiapkan untuk masa depan. Maka dari itu perpustakaan harus diberi pengertian bahwa ia adalah gudangnya ilmu, jantung informasi, dan tempat peninggalan pengetahuan. Sebenarnya tidak muluk-muluk memiliki harapan besar pada perpustakaan umum. Kita juga bisa memaksimalkan fungsi perpustakaan sekolah sebagai salah satu penunjang pendidikan. Di sana siswa bisa diajari bagaimana cara memilih buku, belajar jadi pustakawan, membedakan genre tulisan, dan memiliki pengetahuan dalam memilih informasi.

Perpustakaan hadir tidak hanya sebagai tempat orang-orang duduk dan membaca, akan tetapi sebagai sarana orang gemar membaca. Jika kecintaan akan membaca sudah tumbuh maka kabar ini menjadi hal yang istimewa. Sebab gemar membaca tidak hanya sekedar melek huruf, melainkan mampu mengolahnya secara lebih lanjut. Perpustakaan sendiri diharapkan menyajikan program-program dalam rangka menghidupkan buku, meningkatkan minat baca dan meminimalisir budaya nonton, mendengar serta lisan. Salah satu program literasi perpustakaan yang dapat dikembangkan dalam rangka menyukseskan program literasi dunia melalui PBB yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 adalah kelas menulis anak unggulan (Kemilau Perpus), temu penulis, roadshow motivasi menulis, lomba menulis, seminar jurnalistik, aksi anti hoax, bina perpus daerah, dan kelas ketrampilan.

Selain program pendukung adanya perpustakaan tentu harus terus berbenah. Untuk turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa perpustakaan perlu dimaksimalkan sehingga upaya strategi dalam rangka mencapai target-target harus digalakan sejak dini. Kita tentu berharap masih ada beberapa masyarakat atau kelompok yang meyakini bahwa dengan literasi kita dapat mencapai masa pencerahan di mana orang-orang gandrung akan ilmu pengetahuan. Perpustakaan tidak hanya sekedar tempat statis penghias sarana prasara sekolah atau tempat umum lainya, melainkan sebuah kawan yang akan menuntun pembacannya ke masa depan yang lebih cerah.

*Tulisan ini diterbitkan juga di blog MA Nurul Hikmah Haurgeulis Indramayu




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde