Langsung ke konten utama

Belajar dari Sandal dan Puntung Rokok


Woks

Jika kita berkunjung ke pesantren tak aneh jika banyak sandal yang tertata rapi. Akan tetapi, ada juga sandal yang mudah hilang dan tertukar. Istilahnya ghasab, yaitu meminjam tanpa sepengetahuan si pemiliknya.

Jika berkunjung ke warkop tentu bukan sandal yang kita temui, tapi puntung rokok. Orang-orang yang ngopi pasti tak terlepas dari merokok sedangkan puntung rokoknya (utis) sangat mudah kita jumpai di asbak atau bahkan berserakan di tanah.

Jika sandal tertata rapi tentu kita amat senang yang melihatnya. Sama halnya dengan puntung rokok, jika ia berada pada tempatnya nyamanlah kita. Tapi selama ini ajaran kerapihan itu tidak terjadi, faktanya tempat umum selalu menjadi tempat formalitas yang jauh dari kesadaran. Alih-alih kebersihan pada diri sendiri, sesungguhnya malah membebani tukang sapu kebersihan. Seharusnya tanpa mempertimbangkan ada atau tidaknya tugas kebersihan seharusnya kita sadar bahwa hal itu merupakan tugas bersama.

Mari kita belajar pada bangsa Jepang. Di negeri samurai itu ada istilah unik tentang kesadaran yang dibangun kolektif namun berawal dari individunya. Ajaran itu disebut Kyakka Shoko. Kyakka Shoko adalah ajaran seni beladiri Jepang yang berarti menata alas kaki. Secara harfiah Kyakka Shoko berarti "periksalah keadaan di sekitar kaki mu". Ajaran untuk mengatur sesuatu mulai dari hal-hal terkecil (terbawah). Dari hal itulah salah satu yang menyebabkan bangsa Jepang memiliki disiplin yang tinggi.

Ia juga merupakan bentuk penghormatan terhadap lingkungan sekitarnya. Karena bagi bangsa Jepang kebersihan adalah hal yang utama. Termasuk bangsa Cina. Saat ajaran Budha masuk ke Cina lalu berkembang melalui kuil-kuil Shaolin, di sana diajarkan beberapa teknik dasar sebelum kedatangan Bodhiddarma. Salah satu teknik dasar agar murid-murid Shaolin melatih kesabaran dan peduli lingkungan, mereka diharuskan untuk memperhatikan sesuatu yang sering diremehkan orang salah satunya menata alas kaki dan memungut sampah. Mereka diajari memungut ranting kayu kecil dan puntung rokok dengan sumpit. Hal itulah yang harus mereka lewati sebelum menjadi Biksu.

Sekarang kita telah sadar bahwa dari hal-hal kecil itulah yang sesungguhnya menciptakan sikap mental. Mentalitas suatu bangsa memang sangat kentara dari manusianya. Dari sanalah kita dapat menakar dan menilai seberapa baik suatu bangsa tersebut dilihat seberapa sadar dan tanggapnya terhadap sesuatu. Jika negeri ini dijuluki negeri yang ramah, maka boleh saja tapi kebersihan pun jangan dilupakan. Sumber daya manusia memang menentukan seberapa tingginya nilai hidup suatu bangsa.

the woks institute l 14.9.20

Komentar

  1. Belajar disiplin dari Sandal. Menarik.

    BalasHapus
  2. Bahkan KH Ihya Ulumuddin Pujon malang, nate dawuh bahwa menata sendal sama dgn menata hati. hehe

    BalasHapus
  3. Jadi ingat anak saya yang lebih taat pada guru TK nya agar meletakkan sepatu di tempatnya daripada permintaan emaknya, hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klo guru kan digugu dan ditiru, klo emak kan dimintai uang jajan wkwk

      Hapus
  4. Mantab. Pembiasaan yg bagus. Menata sandal dg rapi

    BalasHapus
  5. Jadi teringat sebuah iklan, "Namanya sampah ya sampah. Kecil buat kamu besar untuk orang lain."
    Kurang lebih demikian.

    Kadang saya pribadi kalau di rumah pas bersih", kog ya masih ada saja sampah yg bertebaran. Lebih-lebih sampah plastik. Plastik, plastik, dan plastik.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde