Woks
Kita mungkin sering mendengar jika anak-anak masa kini tidak seperti masa lalu. Hal itu merupakan suatu keniscayaan bahwa setiap anak akan mewakili zamannya. Anak adalah manifestasi atau cerminan zaman yang sedang berkembang. Jika kita membandingkan anak di masa lalu tentu akan sangat terlihat perbedaanya. Kadang kala kita memang terlalu sering membandingkan anak (yang saat ini menjadi orang tua) dengan anak zaman now. Maka perlulah kita merenung pesan Sayyidina Ali untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya.
Zaman dulu anak-anak mungkin begitu akrab dengan alam. Alam mendidik mereka menjadi manusia yang kreatif dan bahagia termasuk gembira bersama lagu dan dolanan. Persoalan lagu misalnya, anak-anak dulu saat kita kecil era 90an hingga tahun 2000 mendengar lagu-lagu anak merupakan sajian keseharian. Lagu anak menjadi menu pelengkap saat memulai permainan atau sekadar menjadi hukuman saat anak kalah dalam permainan. Akan tetapi saat era milenium datang semua lagu dan permainan masa kecil seolah-olah redup, pudar dan menghilang. Dulu kita begitu familiar dengan nama maestro lagu anak seperti AT Mahmud (Abdullah Totong), Pak Kasur (Soerjono), Ibu Kasur (Sandiah), Ibu Sud (Saridjah Niung), dan Papa T Bob. Termasuk pelantun lagu anak seperti Tina Toon, Chikita Meidy, Sherina Munaf, Tasya Kamila, Joshua Suherman, Eno Lerian, Dea Ananda, Leony, dan Bondan Prakoso. Tapi saat ini jangankan lagunya nama mereka pun sudah terlupakan.
Nama-nama pencipta lagu Nasional pun tak jauh berbeda sangat mudah terlupakan seperti Wage Rudolf Supratman, Kusbini, Ismail Marzuki, Liberty Manik, Cornel Simanjuntak, Husein Mutahar, Alfred Simanjuntak, Sudharnoto, Ibu Soed, Truno Prawit, Gombloh dan lainya. Nama-nama para pencipta lagu Nasional tersebut paling sesekali dikenal saat upacara hari kemerdekaan itu pun tidak banyak. Padahal syair dalam lagu-lagu mereka mengalir semangat juang dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Di sinilah kita sering berpikir ada pergeseran di manakah sehingga pemuda lebih gandrung dengan K-pop atau lagu-lagu Barat?
Beberapa kali saya terlibat percakapan dengan anak. Terutama menyoal pertanyaan apa lagu kesukaanmu dan lagu apa yang sering kamu nyanyikan? Mayoritas dari mereka menjawab hampir sama yaitu lagu yang sedang hits saat ini. Jawaban anak SD rentang kelas 2-4 mayoritas sama yaitu lagu koplo seperti Los Dol (Deni Caknan), Pamer Bojo (Didi Kempot), Apakah Itu Cinta (Happy Asmara) dan lainya. Termasuk mereka menyukai lagu-lagu dari Black Pink, Oh My Girl, Girl Generation, SNSD, BTS dan lainnya. Lalu apakah demikian salah? Tidak juga. Akan tetapi hal itu perlu diperhatikan lebih jauh sebab sebuah lagu tidak hanya dinikmati harmoninya saja melainkan nilai filosofis di dalamnya.
Lebih jauh ada pernyataan bahwa mencintai lagu luar hanya akan melunturkan semangat Nasionalisme. Tapi faktanya tidak demikian, pernyataan tersebut cuma dilebih-lebihkan. Persoalan lagu hanya tentang selera. Namun harapan besar kita boleh mengkonsumsi lagu luar hanya sebagai penikmat tidak lebih. Maka dari itu mencintai lagu sendiri terutama lagu anak dan lagu Nasional merupakan hal yang patut ditonjolkan lagi. Sebab lagu tersebut mendidik kita melewati zamannya. Di sana terselip makna mencintai negeri dengan sepenuh hati. Sebelum semua sirna ayo kita bangkitkan lagi karya lagu anak dan Nasional agar kita bangga dalam menghargai kekayaan negeri sendiri.
Di sinilah tugas dan peranan orang tua, guru dan relawan, aktivis serta para pendidik untuk mengenalkan lagi lagu-lagu kita yang penuh makna itu. Sehingga saat sekolah di taman kanak-kanak (TK) dulu kita tidak mudah nyinyir karena hampir semua pelajarannya adalah menyanyi. Sekarang kita baru sadar bahwa nyanyian itu semua telah diambang pilu. Apakah mungkin warisan besar para pejuang itu hilang karena budaya pop? rasanya tidak. Jangan sampai itu terjadi, maka dari itulah teruslah lestari. Minimal kita mau belajar dan tidak gengsi. Lagu tersebut bukan sekadar nyanyian biasa sehingga bagi kalangan tau akan sejarah saat mendengar lagu itu tak terasa air mata tumpah ruah. Rasa haru dan syukur menjadi satu, bahkan hati kecil sering bicara "kita belum bisa apa-apa".
the woks institute l 20.9.20
Mantab
BalasHapusLagu anak anak memang bagus tapi sekarang langka. Mantab
BalasHapusAnaknya sudah zaman now sih wkwkw
BalasHapusIroni. Tak hanya sebatas lagu anak-anak yg mulai ditinggalkan dan tidak digemari lagi. Ragam permainan tradisional sepertinya perlahan juga semakin tergerus oleh pesatnya perkembangan zaman dan teknologi.
BalasHapus