Langsung ke konten utama

Spirit Literasi Sekolah Sebuah Ikhtiyar Menghidupkan Akal Budi


Woks

Berdirinya sekolah dan sistem pendidikan di Indonesia tidak terlahir secara gratisan, akan tetapi melewati proses yang panjang dan berliku. Sejak masa kolonial mengenyam pendidikan bagi masyarakat kecil sangat mahal bahkan tidak diperkenankan sama sekali kecuali kalangan tertentu seperti bangsawan. Maklum penduduk pribumi hanya menjadi manusia kelas dua yang selalu ditindas oleh mereka para penjajah. Sehingga selama beratus-ratus tahun lamannya bangsa kita selalu terbelakang.

Sampai hari ini bahkan sebagian orang mengeluhkan bahwa sistem pendidikan kita masih warisan dari bangsa Belanda. Jika fakta berkata demikian apa mau dikata? selain perlu berkaca diri kepada setiap individu apa yang kita harapkan jika pendidikan negeri ini benar-benar murni berasal dari pribumi. Lantas apa pula peran kita saat mengetahui permasalahan yang ada pada tubuh sistem pendidikan kita? Jika kita tahu masalahnya tanpa pernah memikirkan solusinya, kita tak ubahnya para pembual?

Mengaca kembali secara historis bangsa ini perlu berterima kasih kepada Suwardi Suryaningrat atau biasa kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Beliau tak lain merupakan tokoh sentral pada masa itu sebagai pelopor pendidikan pertama di sekolah rakyat yang diberi nama "Perguruan Taman Siswa". Melalui perguruan inilah Ki Hadjar berjuang demi tujuan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan beliau tentu berliku bahkan sempat diasingkan ke Negeri Belanda dan sempat ditahan di penjara.

Walau perjuangan beliau berliku setidaknya tekad yang membaja itu telah melahirkan banyak sekali inspirasi bahwa berjuang tidak hanya lewat senjata, akan tetapi melalui jalan hidup pendidikan. Akhirnya kini kita sudah merasakan salah satu buah dari perjuangan itu selain hidup merdeka dari penjajah, kita juga tercerahkan oleh ilmu dan mulai menjauh dari kebodohan. Bagi Ki Hadjar keberadaan penjajah di Negeri kita merupakan bentuk penghinaan bagi bangsa sendiri. Maka dari itu tak ada kata lain selain melawanya. Hal itu terbukti saat Ki Hadjar dan beberapa rekannya mengkritik keras saat Belanda ingin merayakan kemerdekaanya dari Prancis yang perayaannya akan diselenggarakan di Indonesia. Sikap keras Ki Hadjar itulah yang membuat geram Belanda hingga akhirnya beliau dibuang ke negeri Belanda.

Tapi sepulangnya dari Belanda justru beliau membawa semangat baru untuk berjuang membebaskan negerinya dari cengkraman kesewenang-wenangan penjajah. Akhirnya seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa Ki Hadjar lalu mendirikan Taman Siswa sebagai upaya mendidik dan perjuangan. Beliau memilih berjuang dengan akal budi. Sebab dengan pemikiran yang telah dicerahkan oleh pengetahuan orang akan terdorong untuk lebih semangat melihat ketimpangan. Pengetahuan bagi Ki Hadjar adalah pelita yang menerangi disaat gelap. Sekarang perjuangan Ki Hadjar tidak boleh berhenti, maka sepantasnya kitalah para generasi muda yang meneruskanya.

Literasi sekolah sebagai upaya menghidupkan akal budi merupakan langkah konkret yang dulu pernah dilakukan Ki Hadjar. Untuk itu kini saatnya kita menghidupkan kembali tentu dengan semangat baru di zaman baru. Sekolah sebagai pondasi kedua pendidikan sangat perlu optimalisasi terutama dalam penguatan sumberdaya manusia melalui literasi dan akal budi. Literasi begitu penting di sekolah sebagai cara mengolah informasi sederhananya melalui kegiatan baca tulis. Lagi-lagi permasalahan kita masih di level awal baca tulis. Betapa tidak tingkat membaca masyarakat kita masih amat rendah lebih jauh lagi menulisnya. Termasuk belum tersedianya bacaan yang memadai. Salah satu mengapa Ki Hadjar masih dikenang hingga hari ini yaitu karena beliau menulis. Selain membaca Ki Hadjar juga rajin menulis salah satu tujuanya untuk mencerahkan semua orang dan mobilisasi perjuangan kemerdekaan. Selain itu beliau juga harus meyakinkan banyak orang bahwa bangsa sendiri memiliki jatidiri yang berbeda dengan bangsa lain. Akal budi sebagai warisan dari Tuhan harus digunakan dengan arif dan yang terpenting adalah berikan keteladanan. Bagi Ki Hadjar tanpa keteladanan pendidikan hanya omong kosong. Maka sepantasnya keteladanan menjadi ujung tombak pendidikan karakter. Bagi Ki Hadjar pendidikan adalah menghamba kepada anak. Jika pendidik mengerti akan esensi akal budi itu niscaya mereka akan mendidik dengan sepenuh hati.

Kembali ke topik awal tentang literasi. Kini zaman telah berubah literasi pun telah berkembang pesat. Perkembangan itu tidak hanya pada literasi dasar seperti baca tulis melainkan telah melangkah jauh ke literasi media, teknologi, digital, bisual dan masyarakat. Jika di sekolah literasi cakupannya kepada pemanfaatan media, teknologi, perpustakaan, ruang bahasa dan praktek ilmuah seperti kimia fisika. Selama ini seperti perpustakaan yang ada di sekolah masih belum dimanfaatkan dengan maksimal termasuk juga laboratorium baik bahasa, komputer atau praktikum kimia fisika. Jika semua media literasi itu sudah dimanfaatkan dengan baik tidak mustahil pengembangan pengetahuan akan subur tanpa perlu menunggu ke jenjang pendidikan tinggi.

Mengapa kegiatan literasi begitu penting di sekolah? karena sekolah adalah basis orang menimba pengetahuan. Sedangkan pengetahun mendidik seseorang dari ketidaktahuan menjadi tahu. Selain itu tujuan literasi adalah menuntun orang agar berpengetahuan luas, memiliki ketrampilan kreatif, memiliki pemahaman, mengembangkan budaya, meningkatkan kualitas diri dan terpenting adalah berbudi pekerti. Tanpa akal budi seperti yang dijelaskan Ki Hadjar pengetahuan hanya akan menjadi alat bukan menjadikan manusia berbudaya. Percis seperti kata Michael Focault bahwa pengetahuan hanya akan menjadi kekuatan untuk melegitimasi kepentingan.

Dari penjelasan tentang literasi tersebut kita telah sampai pada intisari bahwa pengembangan literasi tidak mandeg di sekolah, akan tetapi bisa dikembangkan di mana saja. Justru berliterasi berarti tidak hanya mampu baca dan tulis, melainkan berupaya mensinergikan seluruh aspek kehidupan meliputi tradisi lisan, tulisan, aspek kognitif, psikologis, pengetahuan dan lainya. Kita cukup puas dengan tradisi lisan, kini saatnya beralih ke tradisi tulisan. Tradisi di mana dulu Baghdad maju karena Baitul Hikmah sebagai penyedia pengetahuan baik dari buku atau diskusi berkembang pesat. Kota itu menjadi kiblat bagi pengetahuan Islam sebelum akhirnya hancur oleh kekaisaran Mongol. Darisanalah kita belajar bahwa pengetahuan sangat penting untuk terus dikembangkan.

Harapan besar pengembangan pengetahuan dan tradisi literasi sudah terbangun sejak dini melalui sekolah-sekolah. Kita masih punya api semangat untuk terus dinyalakan dan punya segudang sumber daya untuk dikembangkan. Maka dari itu jika sekolah sebagai tumpuan pengetahuan loyo akan hal ini (literasi) lalu kemana lagi masyarakat akan berharap? Inilah tantangan bagi siapa saja yang ingin terus berkemajuan di masa kini dan akan datang.

*Tulisan ini disampaikan dalam acara Ngabuburit bareng MANHIK, 17/5/20 16:30.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde