Woks
Pada masa pandemi seperti saat ini hampir semua sektor kehidupan terkena dampaknya tak terkecuali pendidikan. Sektor ini mengalami cobaan yang tak kalah beratnya seperti halnya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pemerintah didesak melalui Kementerian Pendidikan & Kebudayaan untuk menyiapkan kurikulum tanggap darurat selama masa pandemi berlangsung. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan keterbatasan ruang tatap muka karena kekhawatiran adanya klaster baru.
Selama ini pemerintah masih belum membolehkan lembaga pendidikan beraktivitas setelah sebelumnya ada wacana akan memulai pembelajaran baru pada pertengahan Juli. Akan tetapi hingga hari ini kita malah mendengar keputusan tentang mundurnya jadwal tersebut karena beberapa alasan seperti, siswa cenderung bergerombol, dikhawatirkan ada klaster baru, mahalnya pengadaan alat protokol kesehatan, dan jika satu anak terkena maka satu sekolah tutup semua. Lalu salah satu alasan lainya karena siswa masih belum dapat berpikir matang. Akan tetapi bagaimana dengan mahasiswa yang sudah dapat berpikir, toh nyatanya sama saja kekhawatiran karena asal mereka dari berbagai daerah masih menghantui padahal santri pondok pesantren lebih dahulu diperbolehkan masuk. Bukankah karantina mandiri bisa menghalau penyebaran tersebut. Jika alasan karena kerumunan tentu di tempat umum seperti pasar, mall, warung kopi, terminal, stasiun, masjid dan lainya juga memiliki potensi yang sama. Jika demikian maka alasan tersebut seperti tidak logis, karena di luaran sana juga masih banyak orang yang berkerumun.
Mengapa pendidikan yang terkena imbasnya padahal pendidikan adalah jantung yang mencetak generasi mendatang dalam percaturan sosial masyarakat. Pendidikan masih menjadi sektor yang sangat diperhatikan, salah satunya dengan dialokasikannya dana sekitar 20% dari APBN. Dana tersebut tergolong besar sehingga tidak ada alasan untuk masyarakat tidak mengenyam pendidikan. Tapi saat ini pendidikan kita sedang lesu sebab pemerintah belum tegas mengambil sikap kapan dimulainya pembelajaran, padahal di beberapa daerah sudah dinyatakan zona hijau.
Saat ini kita masih bertahan bahkan terus diperpanjang terkait pembelajaran daring. Banyak kendalan dalam sistem pembelajaran di era new normal ini terutama permasalahan sarana, sinyal dan ketersediaan kuota internet. Selain itu pembelajaran dengan metode ini seperti telah menghilangkan makna emosional dalam tatap muka. Kita tidak bisa merasakan petuah sejuk dari guru serta tidak mampu menangkap transferan ilmu dari guru. Pekerjaan guru dalam menyampaikan pun terasa terbatas. Ruang dan waktu seperti terpangkas karena harus berlama-lama di depan layar monitor. Bisa sangat mungkin juga kita tidak bisa melihat dengan jujur saat anak mengerjakan tugas.
Pembelajaran daring yang terus-menerus justru membuat anak semakin jenuh. Tidak ada partisipasi dan interaksi dengan temanya. Selain itu pembelajaran inipun dirasa banyak mengandung paradoks, di sisi yang lain perlu diterapkan selama masih ada Covid-19, tapi di sisi yang lain mayoritas orang tua mengeluhkanya karena kurang maksimalnya pembelajaran tersebut. Pada akhirnya kita memang tidak bisa memaksakan dengan keadaan. Sekalipun output pendidikan adalah menunjukan jalan bagi pembelajar untuk mencari solusi namun faktanya akan terkalahkan oleh keadaan yang kita sendiri belum pernah berpengalaman sebelumnya. Maka dari itu tunggu saja hingga keadaan kembali pulih atau kita bisa memanfaatkan peluang sekalipun di waktu yang tidak bersahabat.
the woks institute, 7/9/20
Komentar
Posting Komentar