Langsung ke konten utama

Kita Hanya Bisa Kagum

                     (Foto : doc Penulis)

Woks

Ada sebuah falsafah Jawa berbunyi "aja gumunan" yang berarti jangan mudah takjub. Makna lain terselip bahwa kita tidak diperkenankan untuk mudah aneh atau penasaran secara total. Dalam hal ini memandang sesuatu itu dengan sederhana alias biasa saja. Sebab semua pandangan itu bersifat relatif bahkan sering sekali kita jumpai pandangan yang berbeda. Termasuk kekaguman pada sesuatu hal adalah bersifat manusiawi, namun tetap pada koridor bahwa sesuatu tersebut juga mengandung kelemahan.

Membaca tulisan Mas Antok Agusta tentang seorang akademisi, ilmuan yang kepakaranya tentang studi Islam tak diragukan lagi ia adalah Annemarie Schimmel. Seperti yang diceritakan Mas Antok bahwa orang yang tak beragama itu telah membuat kagum Habib Quraisy Baharun muda (25) atau bahkan semua orang yang mengenalnya. Bahkan saat meninggal pada tahun 2003 di Bonn, Schimmel berpesan, agar dibacakan Surah Al-Fatihah ketika dia dimakamkan. Dan yang sangat menarik, di atas batu nisan Annemarie Schimmel tertulis kalimat Ali bin Abi Thalib (kakek Zainal Abidin) dengan khat Nasta’liq yang sangat indah:

الناس نيام فإذا ماتوا انتبهوا

“Seluruh manusia tertidur pulas. Ketika ajal tiba, mereka baru sadar”.
Dalam tulisan Mas Antok tersebut sungguh sayang orang besar dan sangat mengagumi Islam dengan banyak menghafal seperti al Qur'an, kitab Riyadus Shalihin, Ihya Ulumuddin, Divan Syamsi Tabriz, mampu banyak bahasa pada akhir hidupnya belum sempat mengucap dua kalimah syahadat. Mungkin inilah yang disebut sebagai hidayah hak prerogatif Allah swt.

Kadang saya juga berfikir tidak hanya Schimmel tapi lainya seperti William Brown, Albert Einstein, RA Nicholson, Cristian Snouck Hurgronje, Goldziher, Watt Smith, Robert W Hafner, Mark Woodward, Clifford Geertz, Karen Armstrong serta banyak lagi ilmuan yang mempelajari Islam, bahkan dalam sebuah catatan Frederick Nietzsche pun pengagum sosok Nabi Muhammad saw.
Akan tetapi mereka tidak sempat menjadi muslim. Padahal secara riil kontribusi mereka begitu besar bagi perkembangan pengetahuan dalam Islam.

Saat ini kita hanya bisa mengagumi mereka karena sumbangsihnya yang besar. Para oksidental dan orientalis seperti mereka memang sulit untuk dilupakan jasanya. Lantas kita hanya menjadi ironi sebab umat muslim sendiri belum bisa mengenal jati dirinya. Kita masih terbuai dengan romantisme kejayaan masa lalu, lalu puas. Saat ini kita malah justru saling membanggakan para nenek moyang sedangkan generasi penerus tidak berupaya lebih atau minimal menyamai. Hal itulah yang seharusnya menjadikanya sebagai kritik agar kita lebih berpacu lagi dalam berjuang, belajar dan terus berproses.

Kekaguman pada karya ilmuan muslim seperti al Kindi, al Khawarizmi, Ibn Hazen, Ibnu Sina, al Farabi, al Razi, al Biruni, al Haitam, al Jabbar, Jabir ibn Hayyan, Ibnu Rusyd, Imam Ghazali dan lainya justru menjadi inspirasi besar bagi umat muslim untuk mengembangkanya. Rasa kagum kita harus ada batasnya sebab kagum saja tanpa ada aksi nyata hanya jadi angin lalu. Kita bisa melihat mengapa kini kiblat segala kecanggihan dan kesuksesan ilmu pengetahuan seolah berada di Barat, padahal Timur dulu gudangnya. Apakah memang cahaya Timur itu telah redup, atau gaungnya telah pudar.

Tentu kita sedang berproses menggalinya kembali. Mencari khazanah peradaban yang begitu besar warisan para nenek moyang. Sebelum rasa kagum ini tak karuan lebih baik kita hayati pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib "Laisal fata man ya kulu kana abi, wala kinnal fata man ya kulu haa ana dza" bukanlah pemuda seseorang yang selalu bilang ini-itu bapakku, seorang pemuda adalah yang bisa berkata, inilah aku. Konteks pesan dari Sayyidina Ali tersebut sangan relevan bagi kita untuk tidak mengekor dan saat ini perlunya pembuktian diri sendiri bahwa kita mampu.

the woks institute l 13.9.20

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde