Langsung ke konten utama

Membangun Jalan Sunyi Lewat menulis: Potret Indari Mastuti

                (Foto: Koran Jawa Pos)

Woks

"Ketika Corona ini sudah pergi kita tetap pakai masker, agar mulut tidak berkata yang tak bermanfaat". - Habib Umar Muthohar

Pesan Habib Umar tersebut menjadi menarik ketika tradisi rasan-rasan selalu diidentikan kepada perempuan. Padahal rasan-rasan pada laki-laki pun tak jauh berbeda. Pesan tersebut sebenarnya menjadi isyarat bahwa kita harus memprioritaskan hal-hal yang baik. Seperti halnya lebih baik diam dari pada sok tau. Semua usaha kebaikan itu tidak dibatasi oleh jenis kelamin, semua sama harus berusaha. Termasuk yang dilakukan oleh Indari Mastuti. Siapakah beliau?

Indari Mastuti adalah seorang ibu rumah tangga (IRT) yang juga founder komunitas "Ibu-ibu Doyan Nulis", Indscript, dan pendiri Penerbit Pustaka Malka dan BUKUIN AJA. Nama lengkapnya adalah Indari Mastuti Rezki Resmiyati Soleh Addy. Ia memang gemar menulis sejak kecil. Saking senangnya dengan menulis bahkan masa pandemi ini tak menghalanginya untuk tetap berkarya. Hal itu ia buktikan dengan menghasilkan 61 buku dan 100 e-book, semua itu ia hasilkan dari komunitas yang didirikannya sejak 2010. Saat ini anggota komunitasnya sudah mencapai 22 ribu orang.

Mengapa harus ibu-ibu dan mengapa pula dengan jalan menulis. Menurutnya selama ini ibu-ibu harus dirubah mindsetnya yang sebelumnya di stereotipkan sebagai penggosip kini menjadi penulis. Ia juga sebagai kepanjangan tangan mereka yang ingin jadi penulis. Indari mengaku bahwa ibu-ibu pun memiliki potensi yang sama untuk berkarya. Sehingga dari modal menulis yang lama ia geluti, Indari ingin lebih memberi perhatian kepada para ibu yang mau bakat menulisnya dikembangkan. Selain sekedar hobi, menulis juga bisa menjadi ajang kreasi, unjuk gigi, dan pastinya profit.

Tidak naif memang setiap orang butuh pemasukan. Maka dari itu keuntungan dari menulis bisa menjadi tambahan agar dapur tetap mengepul. Walaupun tidak yang utama setidaknya menulis menjadi ladang kita menanam kebaikan. Bagi Indari produktif adalah keharusan. Karena penulis adalah manusia yang terus belajar maka terus berlatih adalah kuncinya. Ia terus mengajak kepada ibu-ibu agar terus memberdayakan dirinya dengan menulis. Sehingga kata Indari istilahnya adalah "kaki mereka mengakar dengan kuat di rumah, tapi tangan-tangan mereka menggenggam dunia". Kata-kata itulah yang membuat Ibu 3 anak tersebut selalu optimis bisa memberdayakan kaum ibu untuk terus menggali potensi dirinya.

Sosok Indari Mastuti ini memang teladan dan menginspirasi. Sehingga tak aneh jika ia panen penghargaan di antaranya; Perempuan Inspiratif Nova (2010), Perempuan Terinspiratif Indonesia Majalah Kartini (2012), SuperWoman Indonesia (2014) serta banyak lagi lainya. Ia juga terus memotivasi kawan dan sesama perempuan untuk jangan mudah menyerah, jangan berhenti belajar dan hidup dengan sederhana. Terutama soal menulis ia adalah salah satu jalan sunyi yang harus ditempuh. Jika di rumah kita hanya masak mungkin tambahanya bisa membaca dan syukur-syukur mau menuliskan hasil bacaan tersebut. Kita yakin bahwa ekosistem ibu-ibu doyan menulis bisa tercapai. Mulai dari diri sendiri, mulailah sekarang juga, mencerahkan dunia dengan pena.


*Artikel ini diolah dari berbagai sumber termasuk Jawa Pos Edisi Jumat, 4/9/20

the woks institute l 15.9.20

Komentar

  1. Keren Mas Woko. Terima kasih telah mengenalkan kepada sosok perempuan yang inspiratif. Bu Indari Mastuti luar biasa.

    BalasHapus
  2. Terus menebar manfaat, juga sedekah jariyah melalui jalan menulis.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde