Langsung ke konten utama

Mengingat MTQ dan Harapannya

             (Sumber foto: Publisher.id)

Woks

Beberapa hari lalu Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil atau Kang Emil membuka acara Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) XXXVI tingkat provinsi di Kabupaten Subang Jabar. Dengan tema "Mewujudkan Generasi Qurani Menuju Jabar Juara Lahir Bathin dengan Inovasi dan Kolaborasi". MTQ Jawa Barat ke-36 di kota Nanas tersebut akan dilaksanakan mulai tanggal 3-11 September 2020. Menurut Kang Emil acara ini harapannya bisa menghantarkan perwakilan Jabar untuk ikut serta di MTQ tingkat Nasional yang akan dilaksanakan pada tanggal 12-21 November di Padang, Sumatera Barat dan menjadikan Jawa Barat Juara.

MTQ tahun 2020 dengan suasana pandemi ini mengikutsertakan sekitar 1.137 peserta, 27 kafilah dari berbagai kota/kabupaten di seluruh Jawa barat. Walaupun suasana pandemi diharapkan peserta tetap memperhatikan 3M yaitu memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Semoga saja harapan besar Gubernur melalui event ini bisa tercapai.

Mengingat Sejarah MTQ

Tentu kita ingat sekitar tahun 1940 MTQ lahir dari rahim Jamiyyah Qurro wal Huffadz (JQH) milik NU yaitu sebuah wadah untuk mengembangkan bibit para qori dan penghafal quran. Darisanalah sekitar tahun 1961 melalui saluran radio di Medan acara ini digelar, termasuk medio 1961-1968 acara ini digagas untuk pelajar di Jakarta. Lalu sampailah pada era Mentri Agama KH. Ahmad Dahlan dan KH Ibrahim Hosen (Ayah Gus Nadir) menyelenggarakan MTQ Nasional pertama di Makassar Sulawesi Selatan. 

Acara itulah yang hingga kini masih eksis bahkan kita selalu bangga ketika mendengar nama qori besar seperti Ahmad Syahid, Mohammadong, KH Muammar ZA, KH Chumaidi, KH Nanang Qosim ZA, era kekinian KH Mu'min AM, H. Darwin Hasibuan, H. Salman Amrillah hingga Syamsuri Firdaus. Termasuk kita mengenal jasa besar para dewan hakim seperti al maghfurllah KH Basori Alwi Singosari Malang, Prof Dr al Habib Said Agil Munawwar dan Prof Dr Quraisy Shihab.

Jika kita membaca Tirto.id maka akan tau bahwa dulu MTQ sebagai alat propaganda untuk menguatkan nasionalisme, kesaktian pancasila melalui keagungan al Qur'an. Maklum saja era saat itu pemerintah begitu sinis terhadap mereka yang berhaluan komunis. Maka dari itu MTQ salah satu cara agar orang-orang kembali lagi mempelajari agama. Selebihnya MTQ merupakan alat dan wadah yang baik dalam melestarikan seni dan ilmu dari al Qur'an. Mungkin itu termasuk cara agar para qoriah juga bisa tampil di depan publik dan hal itu berbanding terbalik dengan Timur Tengah yang tidak begitu ramah dengan perempuan apalagi sampai menunjukan suaranya.

Mengingat MTQ di Kampung sendiri

Saya juga mengingat saat MTQ digelar di kecamatan Gantar dan Haurgeulis. Pada saat itu saya lupa tahun dan waktu pelaksanaannya yang jelas saya mengingat seremonialnya begitu gegap gempita. Pada saat itu saya masih duduk di bangku MTs. Kami bersama teman-teman diajak pawai bersama kafilah dari berbagai kecamatan di Kabupaten Indramayu. Saat itu kami hanya membawa alat hadrah seadanya sambil melantunkan shalawat dan berjalan meramaikan kafilah dari kecamatan Gantar. Sedangkan kafilah yang lain meramaikan dengan penuh modal dan kesenian.

Saat acara berlangsung di manapun tempatnya kecamatan kami memang tidak pernah diperhitungkan jika urusan yang seperti ini. Paling-paling masih lumayan ada perwakilan dari daerah Bantarwaru yang memperoleh medali. Begitulah kisah MTQ selalu membawa pesan lucu bagi daerah kami. Daerah yang anak mudanya tidak mau belajar. Hal itu sering saya dapatkan dari Pak Suwarno Hadinata beliau guru qiro saya. Menurut beliau daerah kita itu bukan masyarakat yang religius, tidak mau maju, tidak mau belajar akan tetapi masyarakat yang masih berpedoman pada materi dan budaya konsumtif. Maka jangan berharap ada juara MTQ di sini. Kita hanya perlu kaderisasi sungguhan dan pemerintah setempat mau melirik bakat-bakat yang ada. Tapi nyatanya hingga saat ini semua impian itu hanya dongeng.

Saat ada MTQ masyarakat memang masih merasa asing. Mereka tidak mengenal apa itu MTQ. Padahal mereka yang cinta al Qur'an melalui suaranya yang merdu bisa tampil menyiarkan Islam, termasuk melalui cabang lomba lainya. Maka dari itu kita perlu memberi pengertian lebih bahwa melalui MTQ ini daerah kita bisa berdaya saing dan saling memberdayakan sumber manusia agar unggul dan dapat bersaing dengan yang lainnya. Semoga saja esok kita akan mendengar juara hafidz quran, qiroah, hifdzil quran, syahril quran, tafsir quran, khat, dekorasi, debat, CCQ dan lainya dari daerah sendiri. Mari kita dukung generasi penerus untuk lebih mencintai al Qur'an dan mengamalkannya termasuk bisa tampil di MTQ sebagai wadah memuliakan quran wahyu illahi.

the woks institute, 6/9/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde