Langsung ke konten utama

Obituari: Jacob Oetama Manusia Rendah Hati Berwawasan Luas

 (Foto: Jacob Oetama, Syukur Tiada Batas)

Woks

Indonesia kembali berduka, kali ini datang dari jurnalis senior sekaligus pendiri Kompas Gramedia yaitu Jacob Oetama. Pria kelahiran 27 September 1931 di Borobudur Magelang Jawa tengah itu menghembuskan nafas terakhir di usianya yang ke 88 tahun. Jacob Oetama atau orang biasa memanggilnya Pak J-O meninggal karena penyakit multiorgan yang telah lama ia derita.

Pak J-O pergi dengan segudang peninggalan berharga bagi negeri ini. Ia bahkan dijuluki Bapak Jurnalisme Modern karena dedikasinya yang besar bagi perkembangan pers di Indonesia. Kita tahu pers di zaman lalu sangat sulit berkembang. Pers selalu disumpal dan diawasi gerak-geriknya. Pers juga tidak sebebas hari ini. Maka atas perkembangan tersebut tentu Pak J-O telah melewati masa getir itu. Hingga saat ini ia telah menanam pondasi dasar bagi pers Indonesia yang kokoh.

Jika flashback sejarah tentu kita tahu pada 17 Agustus 1963 bersama sahabatnya PK Ojong, beliau mendirikan majalah Intisari. Lalu disusul pada 1965 beliau mendirikan Kompas yang kita pasti tahu saat ini perkembangan Kompas begitu menggurita dalam banyak segment mulai dari pertelevisian, percetakan, perbukuan, radio, hingga bisnis properti. Bagi pak J-O segenap kebesaran nama dan kiprahnya dalam bidang jurnalisme semua bukan semata karenanya, tapi karena kita semua. Pak J-O memang selalu begitu, ia adalah orang yang sederhana berfikiran luas dan pastinya rendah hati. Maka pantas banyak orang, sahabat atau karyawannya tidak hanya menganggap beliau boss, tapi seorang inspirator sejati. Ia berdedikasi tinggi dan pastinya teladan kita semua yang muda.

Bagi Pak J-O semua nama besar yang disebut kesuksesan itu tak lain karena sudah ditakdirkan Tuhan, bukan semata kerja kita saja. Berkaitan dengan hal itu beliau sering menggaungkan dalam bahasa latin "Providentia Dei" atau berarti penyelenggaraan illahi. Beliau dengan segenap keyakinan bahwa semua pasti campur tangan Tuhan. Maka kata beliau kita harus punya sikap bahwa syukur tiada batas. 

Jika kita melihat diusia senjanya Pak J-O masih gesit dan enerjik itu semua karena prinsip kerjanya yang kuat. Etos kerja beliau memang selalu berpatokan pada team work. Kata Pak J-O jika saya tau semua hal maka saya akan kerja sendiri. Karena saya tidak tau semua hal maka kerja bersama itu amat penting.

Pak J-O memang orang yang patut diteladani sebab prinsip hidupnya sangat menginspirasi banyak orang. Petuah sejuk beliau pasti akan selalu diingat anak buahnya, kata beliau dengan bekerja tidak maksimal kita justru hanya akan mendegradasi talenta dan kemampuan. Bekerja bukan sekedar cari nafkah tapi ekspresi diri, itulah resep beliau menikmati hidupnya. Pesan beliau yang akan diingat para jurnalis tentu bekerjalah dengan penuh makna. Jangan sampai apa yang dilakukan sia-sia dan hampa tanpa makna.

Warisan Pak J-O yang tak kalah pentingnya yaitu beliau menunjukkan betapa cintanya terhadap Indonesia. Bagi Pak J-O menjadi Indonesia adalah kesempatan luhur yang berharga dan patut disyukuri. Indonesia adalah alasan kita sebagai anak bangsa untuk terus berkarya. Darisanalah kita dapat bercermin bahwa Pak J-O seorang guru dan negarawan terhormat. Jasanya bagi bangsa ini amatlah besar. Kita tentu kehilangan sosok yang ramah nan bersahaja itu. Selamat jalan Pak J-O engkau akan segera bersua sahabatmu PK Ojong (w. 31 Mei 1980).

the woks institute, 9/9/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde