Langsung ke konten utama

Ngaji Ngopi: Mencari Celah di Tengah Wabah

     (Doc: Ngaji Ngopi, Distrik Kepatihan)

Woks

Kepatihan (10/9/20), malam itu udara terasa dingin tapi sepedaku melaju begitu cepat hingga sampailah disebuah acara rutin Ngaji Ngopi. Acara ini hadir lagi di edisi "Golek Celah nek Tengah Wabah". Menghadirkan narasumber Yowan Faradina (singer), Justo (MC) dan Sujarwo (Pekerja Terop). Mereka berbincang atas nama satu rasa yaitu mewakili seniman atau orang yang sama-sama merasakan dampak Covid-19 dan kebijakan pemerintah.

Awal diskusi di buka sebenarnya aku hanya berpikir saat ini Karl Marx, Engels, Lenin dan Comte sedang tertawa lepas. Mereka sedang melihat betapa payung satu rasa atas nama manusia tanpa kelas benar-benar hampir terjadi. Di mana-mana orang sedang merasakan hal yang sama. Bahkan sebuah anekdot berseloroh "pie kabare? penak zamanku toh". Nyatanya setiap zaman telah memiliki rasa perih tersendiri. Sekarang hanya tinggal siapa yang mampu bertahan.

Saat diskusi mulai berjalan aku pun melihat mata berkaca-kaca dari Mas Justo tampak bahwa kita sama-sama manusia tak berdaya. Kita sama-sama menyandang keadaan yang prihatin atas semua kenyataan ini. Tapi kita juga dalam perkumpulan tersebut berjuang saling mensupport dan menguatkan. Bahwa kita tidak sendiri, kita masih memiliki asa yang sama sebagai manusia meminjam istilah Mas Toni yang kritis, skeptis bahkan kadang negatif.

Melihat keadaan seperti ini tentu kita hanya bisa pasrah sambil terus berdiri tegak. Sambil menyaksikan kaum politik dan para pengamat tentang negara yang diambang resesi. Kita juga menyaksikan jatuh bangunnya tenaga medis di garda depan dalam menangani pasien. Dan saat ini kita hanya bisa mengikuti alur tentang sebuah regulasi yang kadang tak bersolusi. Lantas apalagi yang disesali kecuali saling menguatkan satu sama lain dalam suka duka.

Lantas keadaan ini mempertanyakan adakah yang lebih terdampak? sepertinya hampir semua terkena dampaknya. Tapi setidaknya kita masih lebih baik ketimbang saudara kita yang masih di lingkaran konflik. Palestina-Israel, Suriah, Irak, Mesir dan negara Timur Tengah lainya termasuk bencana kelaparan yang masih menghantui negara Somalia. Jika membandingkan dengan mereka tentu kita masih terlalu beruntung bahkan saat ini masih sempat berbagi rasa dalam curhat dan mensruput secangkir kopi. Di negara konflik semua itu sulit kita jumpai, bahkan untuk sekedar ibadahpun di sana harus siap siaga karena misil, peluru, bom bisa saja meledak kapan saja. Tidur tidak nyeyak, makan tidak enak bahkan bau anyir darah adalah pemandangan harian.

Laiknya Jacob Oetama (2020) kita memang perlu terus bersyukur dengan tanpa akhir. Kita masih diberikan kebersamaan untuk tetap kuat. Mungkin saja dunia sedang berduka. Tapi bisa jadi ini cara dunia memutar sirkulasi keseimbangannya. Kita semua hanya sedang belajar. Kita sedang diingatkan bahwa tembok ratapan yang suci di Yerusalem tidak berdaya saat semua orang diminta physical distancing. Termasuk bangunan suci mulia Kakbah. Bahkan setiap tempat ibadah pun merasakan hal yang sama. Setiap jamaah diminta jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, dan waspada, padahal untuk sesuatu yang sakral sekalipun. Kita juga tidak mendapati ritual yang biasa dijumpai saat keadaan normal. Inilah cara Tuhan memberikan gambaran bahwa semua hal yang tak terbersit oleh manusia bisa sangat mungkin terjadi.

Kita tahu bahwa dengan hanya berangan-angan tak akan bisa menyeka air mata, tak mampu menahan laju rasa lapar. Kita memang hanya butuh keadaan new normal tapi tidak menyengsarakan. Ada banyak tanggungan yang perlu diselesaikan. Cukuplah perizinan yang manusiawi menjadi hiburan untuk kita berdiri lagi. Untuk sekedar membangkitkan semangat dan terus berkarya. Saat ini yang bisa kita lakukan adalah bergandengan tangan dan saling sabar. Melihat peluang dengan seribu sudut pandang. Kita tahu egoisme di atas apapun hanya akan menyengsarakan. Saat ini bangunan keimanan sosial perlu dieratkan. Agar kita optimis hari esok akan lebih baik.

Reportase: the woks institute

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde