Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2020

Bocah Bersayap

Woks Bocah kecil bersayap itu telah berkelana jauh. Setelah batu hijau yang ia genggam tiba-tiba menghilang terbang entah kemana. Ia sendiri tak sempat menangkap batu hati itu kecuali menggenggam erat beberapa bulu yang membungkus tubuhnya. Konon batu itu pernah singgah ke bumi dan menjadi rebutan warga karena khasiat penyembuhanya. Sejak awal ia telah mengira bahwa batu itu akan menggemparkan semesta. Apalagi manusia yang sangat mudah tergoncang rasa ingin tahunya. Bertahun-tahun lamanya dari peristiwa itu ia singgah di bumi. Ia telah banyak diingatkan oleh banyak hal, percis seperti seorang kakek ditanya cucunya kadang ia ingat tapi lebih banyak lupanya. Lalu ia mengingat bahwa tempat yang sebenarnya tidak asing dalam pendengaranya ini ternyata benar-benar bumi. Ia pernah mendengar dentuman besar seperti di Sernobyl, bom atom Hiroshima atau letusan purba gunung Tambora tentu berasal dari planet ini. Itulah yang mengingatkan amnesia panjangnya. Bumi memang telah menelurkan

Matinya Sang Seniman Topeng

     (Sumber gambar : turidi@yahoo.com) Woks Badan dan gerak tubuhnya masih lihai, berlenggak-lenggok dalam alunan melodi musik kendang yang berbalut dengan kecrek,  serta seperangkat gamelan sederhana seperti saron, bonang dan gong. Irama ritmik tubuhnya mengandung nilai artistik yang seolah tak pernah padam. Padahal usianya sudah terlalu sepuh untuk terus menarikan tubuhnya di atas pentas. Ia Mbok Lasmi orang biasa memanggilnya. Mbok Las memang terkenal sebagai seniman tari topeng di daerahnya. Sejak kecil Mbok Las sudah aktif menari, katanya tarian itu adalah tari kehidupan. Itu sebabnya Mbok Las aktif menari sejak kecil karena tari merupakan peninggalan para leluhurnya. Hampir setiap hari di usia senjanya, Mbok Las mengajari anak-anak sekitar rumahnya untuk belajar menari. Di bantu cucunya Aini, Mbok Las selalu bersemangat dalam mengajari anak-anak tetangga itu menari. Jika tidak ada jadwal manggung selain mengajar tari, Mbok Las juga mencari tambahan kebutuhan hidup de

Mencari Diri yang Lain

Woks Dalam proses yang begitu melelahkan ini saya sangat sadar bahwa saya belum melakukan apapun. Hingga akhirnya saya bingung dan merasa kehilangan jatidiri. Pada masa itu saya seperti tengah tenggelam entah di mana. Hidup ini terasa tidak saya miliki. Hidup terasa asing dan sepi. Saya hanya menjadi budak bagi diri saya dan orang lain. Saya belum merasa apa yang saya lakukan ini berdasar apa yang saya cintai. Saya benar-benar belum berdikari secara alami. Di sinilah saya berpikir keras sebenarnya apa yang salah, di mana salahnya dan siapa yang menjadikan ini semua singgah dalam kehidupan saya. Walau saya paham orang hidup mustahil tanpa sebuah kesalahan. Lalu saya bertanya lagi apa ini soal orang lain, tempat singgah, atau memang saya sendiri. Saya harus sadar bahwa di sini bukan tempat yang nyaman buat perkembangan hidup. Di sini terlalu sumpek buat saya berproses. Rasanya saya ini harus segara pergi meninggalkan tempat ini. Bukan karena kumuh atau kecil atau apapun itu.

Lampion Masa Depan

Woks Di awal tahun 2020 buku ini lahir dari hasil sayembara penulisan cerpen bertemakan harapan. Buku ini merupakan karya antologi cerpen pertama ku dalam sejarah kepenulisan. Diterbitkan oleh penerbit Pustaka Tunggal yang beralamatkan di Kp Kedondong, Sunter Jaya Jakarta Utara. Aku sangat senang saat cerpen pertamaku ini bisa masuk dalam buku antologi tersebut. Sebab selama ini aku belum begitu menikmati dengan genre tulisan sastra. Tapi saat buku ini berada di tanganku saat itu pula aku langsung belajar untuk memahami lintas genre terutama cerpen. Sesuai dengan judul pada sampul depan buku ini bercerita tentang harapan. Di mana harapan-harapan itu diilustrasikan seperti sebuah lampion yang diterbangkan ke langit dengan segenap cahaya kemilaunya. Hal itu adalah tanda bahwa kita tidak boleh menyerah walaupun lampion berakhir tanpa bekas. Setidaknya lampion itu telah terbang membawa doa yang akan disampaikan kepada Tuhan yang maha indah. Semoga saja doa yang diterbangkan itu

Wong Edan Kui Bebas

Woks Spiritualitas Berkarya ala Wong Edan Terminologi gila kembali mencuat seiring dengan masifnya aplikasi yang hadir dalam ruang lingkup kita. Aplikasi itu menyuguhkan beragam kesenangan terutama soal mencipta eksistensi baik di dunia maya maupun dunia nyata. Kadang orang mudah lupa daratan bahwa ada ruang privat yang seharusnya mereka jaga. Ruang-ruang privat bagi orang-orang kekinian berdampak menjadi eksibisionis. Tapi karena pengaruh lingkungan dan teknologi semua mengharuskan mengikuti arus zaman. Ranah psikologi merupakan ranah yang merespon fenomena ini. Di mana orang sangat mudah menganggap gila terhadap sesama saudaranya. Alasanya biasanya dari hal yang sederhana mulai dari mengejek, mendefinisikan hingga perundungan. Cuma karena senyum atau tertawa sendiri orang dengan mudah menunjuk "kamu gila". Pembicaraan karena ketiadaan objek membuat kata gila mudah tertuju pada seseorang. Lalu bagaimana kriterita waras yang sesungguhnya? Fenomena orang gila baru

Fakultas Warung Kopi

Woks Awal mula buku ini hadir yaitu ketika beberapa orang kumpul untuk membahas deklarasi, pergantian ketua dan bedah buku. Bertempat di warkop Bagong kami membingcang topik itu dengan hangat. Singkat cerita satu di antara kami berseloroh alias memberi challenge untuk membuat buku sederhana dengan waktu yang cukup singkat yaitu dua minggu. Akhirnya kami memutuskan untuk mengambil tema kopi dan kroniknya. Tema fakultas warung kopi yang juga menjadi cover buku ini tak lain untuk menjelaskan kepada kontributor bahwa tema seputar kopi itu luas. Selain itu banyak di antara kita yang tiap hari ngopi tapi tidak pernah mendapat apa-apa dari kegiatan itu. Sehingga kita mencoba bahwa ngopi itu benar-benar ngolah pikir atau ngopeni ati. Darisanalah akhirnya ide untuk membuat buku fakultas warung kopi terbentuk sebagai sebuah produk berpikir. Buku antologi ini terbit pada akhir September 2019 dengan kontributor yaitu crew LPM Aksara FUAD IAN Tulungagung. Buku antologi tersebut merupaka

Gugusan Surga dalam Rumah Lawas

Woks Indonesia adalah potongan puzzle yang berasal dari surga. Salah satu potongan itu berasal dari suasana pedesaan yang masih asri. Suasana keindahan itu bisa dilihat dari rumah lawas. Rumah tempat di mana orang tua dulu pernah mendiaminya. Mereka membangun rumah itu dengan penuh kesederhanaan. Selain berfungsi sebagai tempat berteduh rumah juga sebagai tempat kembali, tempat di mana semua keluarga disatukan di sana. Momen saat-saat keluarga bersatu biasanya di hari raya baik hari raya besar seperti Idul Adha maupun Idul Fitri atau hari-hari lainya. Rumah lawas pasti memiliki sejarah panjangnya di mana dulu rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tapi berfungsi juga sebagai markas untuk melawan penjajah. Tentu fungsi rumah sangat banyak sekali termasuk juga tempat menyimpan benda dan barang-barang penunjang isi rumah. Selain itu rumah lawas juga bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita yang mendiaminya. Seiring berjalanya waktu mungkin generasi sekarang telah b

Insan Jomblo Community

Woks Pada pertengahan tahun 2019 buku ini lahir dari sebuah diskusi kecil di beranda Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading Tulungagung. Pada saat itu aku berinisiatif untuk membukukan hasil diskusi tentang cinta tersebut, sebab aku berpikir bahwa esok diskusi ini akan punah. Beberapa kawan yang terlibat dari perdiskusian tersebut yaitu Woko Utoro alias Bang Woks, M. Aniqul Umam alias Boss Kenting, M. Habibie Rosyid alias Bibenk, M. Lutfi Nawawi alias Cakiel, dan David Stya Pambudi alias Kevet serta beberapa santri lainya. Diskusi itu hadir sebagai kerinduan akan tradisi syawir di pondok. Walaupun tidak membahas kitab setidaknya mereka mau dulu diajak untuk diskusi, sehingga tema cinta dirasa paling universal di antara tema lainya. Maklum saja pada saat itu mayoritas anggota diskusi dalam keadaan jomblo. Akan tetapi kini 2020, semua telah #gantistatus.  Prediksi ku ternyata tidak salah, kini diskusi itu hanya dikenang sebagai sejarah masa lalu. Saat ini semua anggota d

Mendamba Bahagia di Tengah Corona

           (Sumber gambar Canva.com)   Woks Apakah ada orang yang tidak ingin bahagia? rasanya pertanyaan itu tabu di telinga. Di belahan bumi ini sepertinya semua orang sepakat bahkan tujuan hidup adalah untuk bahagia. Walaupun kebahagiaan itu sendiri bersifat subyektif dan relatif. Semua disesuaikan dengan definisi dari masing-masing individu. Beberapa orang meyakini bahwa bahagia ialah saat seseorang mampu melewati batas kesulitanya. Masa sulit adalah fase di mana minoritas orang tidak menginginkan kehadiranya. Akan tetapi suara mayoritas mengatakan bahwa ujian atau cobaan hidup tidak lebih Tuhan hadirkan sebagai sebuah jalan agar manusia belajar menggunakan teknologi canggih pemberian-Nya yaitu akal untuk berpikir. Saat itulah Tuhan menguji hambanya, seberapa mampunya ia mengintegrasikan antara hati dan pikiran. Saat-saat pandemi Corona semakin meluas dan menyerang korban tanpa pandang bulu. Saat itulah kekhawatiran dari masing-masing orang hadir sebagai respon alamiah

Jangan Razia Warkop Kami, Detak Jantung Kami, Kalo Bisa Beri Kami Kopi Gratis Donk

Woks Saat Corona membuat gaduh, seisi dunia rasanya membisu. Kesana-kemari terasa sepi. Interaksi dibatasi dan gerak-gerik selalu diawasi. Pokoknya dunia kini terasa susah. Belum lagi tanggungan hidup semakin saja menumpuk. Hutang menunggu untuk dilunasi hingga bagaimana cara agar modal terus berputar demi mengisi dompet yang kering kerontang. Corona benar-benar telah merubah stabilitas kehidupan. Saat pemberlakuan social distancing, stay home , serta beberapa diberlakukan karantina wilayah saat itulah dunia terasa amburadul. Dipikir memusingkan kepala jika masa bodo amat juga terus kepikiran. Seolah-olah hidup hanya berisi dilema dan keluhan. Jadi kehidupan seperti itulah yang membuat orang-orang mengalami kebingungan massal. Salah satu kelompok yang bingungnya setengah mati adalah kalangan ahlu qohwa (ngopi) dan ahlu hisap (rokok an) saat warkop tempat mereka nongkrong ditutup sementara. Sebenarnya tidak hanya warung kopi, beberapa cafe, angkringan, bahkan pasar tradisio

Kebudayaan Sampah yang Tak Pernah Usai

             ( Sumber gambar Canva.com) Woks Masalah sampah memang tak ada ujungnya. Ia akan selalu jadi topik hangat sepanjang pemberitaan, utamanya saat banjir. Sampah, sistem drainase, hingga daerah resapan yang semakin menyempit, salah satu dari sekian alasan untuk saling menyalahkan. Setelah itu mencari siapa yang bertanggungjawab. Sehingga masyarakat seolah angkat tangan perihal ini. Memang sejak dulu buang sampah telah menjadi mentalitas. Bahkan buang sampah di sembarang tempat menjadi karakter bangsa kita. Pantas saja Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah mencatat bahwa Indonesia berada di urutan ke 4 dengan jumlah sampah terbesar di dunia. Predikat sebagai negara dengan sampah yang overload tentu bukan sebuah prestasi, melainkan sebuah pekerjaan bersama untuk memulai bagaimana menanganinya. Jangan sampai sampah menjadi masalah yang tak kunjung usai. Pada 21 Februari 2005 tepatnya di TPA Leuwigajah Cimahi Jawabarat kita pernah diingatkan dengan sebuah peristiwa yang me

Kesadaran Tauhid di Tengah Covid-19

            (Sumber gambar Canva.com) Woks Melihat kondisi saat ini tentu masyarakat sedang dalam ujian yang cukup berat. Baik masyarakat kelas atas maupun kelas menengah ke bawah. Hal ini tentu disebabkan oleh dampak merebaknya Covid-19 yang masih hinggap di sekeliling kita. Secara psikologis masyarakat tentu diambang ketakutan, terutama masyarakat kelas bawah. Mereka pasti berpikir bagaimana bertahan hidup untuk beberapa hari ke depan. Orang-orang kaya mungkin bisa bertahan karena sumber dana masih mencukupi, lalu bagaimana mereka yang sampai hari ini kekurangan. Kedatangan Covid-19 ini tentu tidak disangka-sangka, semua seolah-olah seperti ujug-ujug simsalabim ada di depan kita. Jika pun membayangkan hewan tupai yang akan hibernasi, tentu kesiapan mereka dalam mengumpulkan makanan sudah dalam pertimbangan yang matang. Sedangkan kita di sini seperti terkena kejutan yang untuk sekedar pasang kuda-kuda pun belum siap terutama soal ketahanan pangan. Masyarakat pun diminta un

Covid-19, Timnas U-19, dan Ke-ambyaran Jiwa

             (Sumber gambar Canva.com) Woks Wabah Covid-19 benar-benar telah sukses mengobrak-abrik tatanan kehidupan, mulai dari sosial yang resah, ekonomi melemah, politik yang saling curiga sampai batuk dan bersin yang dianggap Corona. Bahkan dari beberapa video hiburan yang beredar hanya kentutlah yang tak bisa dicurigai siapapun. Bayangkan sekarang dunia terbalik tidak hanya dalam sinetron, tapi benar-benar terjadi nyata. Shalat yang dianjurkan untuk merapatkan barisan (shaf) sekarang malah harus berjarak, salaman yang menjadi anjuran sekarang malah agak jauhan, cadar yang dulu jadi larangan kini semua orang disarankan bermasker. Menutupi mulut dan hidung agar terhindar dari virus serta menularkanya. Dampak Covid-19 orang-orang yang terpaksa mudik atau pulang dari luar kota langsung dilabeli sebagai ODP (orang dalam pemantauan). Terus setelah itu beranjak ke PDP (pasien dalam pengawasan). Begitu mengerikan bukan. Sekarang antar sesamanya seolah seperti mutan atau zombi

Yang Salah bukan Orangnya, tapi Masa Lalunya

Woks Kita mungkin pernah dengar istilah anak nakal atau lebih spesifik lagi perempuan atau lelaki nakal. Anggapan orang tentang nakal yaitu saat seseorang melakukan tindakan diluar ketentuan etika dan moral yang berlaku, termasuk sikap yang tidak mematuhi aturan kesopanan. Perilaku dan sikap sebagai cerminan dari aspek kognitif dan psikomotorik memang sangatlah mudah dilihat sehingga seseorang seringkali langsung melabeli orang tersebut. Misalnya ada anak yang sering mencuri dan berkelahi. Ada pemuda yang sering gonta-ganti pasangan, mengkonsumsi miras, narkotika hingga hubungan di luar nikah. Contoh tersebut tentu sangat mudah kita jumpai di dalam masyarakat. Sehingga apa yang terjadi? ya anda pasti mudah menebaknya. Mereka pasti langsung dilabeli sebagai anak yang nakal. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh anak atau remaja tidak melulu tentang dirinya. Akan tetapi bisa sangat mungkin orang tua juga akan jadi korbanya. Terutama mulut tetangga pasti akan mengatakan bahwa ora

Dzikir Pena Santri

Woks Latar belakang mengapa buku ini bisa hadir adalah karena event lomba menulis esai nasional yang diselenggarakan oleh PCNU Kota Malang pada tahun 2018. Hasil dari sayembara lomba tersebut akhirnya mendapatkan 36 kontributor yang mewarnai tulisan dalam buku tersebut. Rerata penulisnya adalah santri dan mahasiswa. Buku ini diberi testimoni oleh KH Marzuki Mustamar (Ketua Tanfidziah PWNU Jatim), David Rahmat Hakiki (Ketua pelaksana HSN 2018), M. Ainurrofiq (Penulis & Youth Peace Ambassador 2017) dan Drs. H. Mujib Shovy, S.T (Ketua MWC NU Lowokmaru Kota Malang). Pengantar dalam buku ini oleh M. Alifuddin Ikhsan, ia adalah penulis dan lulusan terbaik Universitas Negeri Malang (UM). Menurutnya buku ini menarik untuk dihadirkan sebagai sebuah upaya santri dalam merespon berbagai hal salah satunya revolusi industri 4.0 dan ancaman radikalisme. Ideologi ekstrimis dan paham yang mudah menganggap yang lain salah sangat berkembang pesat di luar dunia pesantren terutama di kampu