Langsung ke konten utama

Insan Jomblo Community


Woks

Pada pertengahan tahun 2019 buku ini lahir dari sebuah diskusi kecil di beranda Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading Tulungagung. Pada saat itu aku berinisiatif untuk membukukan hasil diskusi tentang cinta tersebut, sebab aku berpikir bahwa esok diskusi ini akan punah. Beberapa kawan yang terlibat dari perdiskusian tersebut yaitu Woko Utoro alias Bang Woks, M. Aniqul Umam alias Boss Kenting, M. Habibie Rosyid alias Bibenk, M. Lutfi Nawawi alias Cakiel, dan David Stya Pambudi alias Kevet serta beberapa santri lainya. Diskusi itu hadir sebagai kerinduan akan tradisi syawir di pondok. Walaupun tidak membahas kitab setidaknya mereka mau dulu diajak untuk diskusi, sehingga tema cinta dirasa paling universal di antara tema lainya. Maklum saja pada saat itu mayoritas anggota diskusi dalam keadaan jomblo. Akan tetapi kini 2020, semua telah #gantistatus. 

Prediksi ku ternyata tidak salah, kini diskusi itu hanya dikenang sebagai sejarah masa lalu. Saat ini semua anggota dalam diskusi tersebut telah boyong (lulus) dari pondok sehingga buku inilah kenang-kenangan terakhir selama di sana, aku anggap semua ini adalah artefak peradaban.

Buku ini berisi kisah, opini, pandangan, serta gagasan mengenai dunia jomblo dan asmaranya. Buku tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa selama ini jomblo menjadi objek yang tak berkesudahan, sehingga menjadi jomblo itu seperti penderitaan tiada akhir. Maka dari itu rerata narasi dalam buku ini yaitu bercerita tentang jomblo itu harusnya begini (ke arah positif) bukan begitu (ke arah negatif).

Menjadi jomblo itu seharusnya mampu membangkitkan dirinya sendiri terutama dalam hal karya dan prestasi sehingga karya itulah salah satu cara agar orang lain bungkam. Saat dicemooh setidaknya seorang jomblo lebih nampak elegan dengan karyanya. Sebab kita tahu bahwa seribu angan-angan yang terlukis dalam pikiran lebih baik satu tindakan yang sudah direalisasikan terlepas itu berhasil atau gagal.

Buku ini benar-benar menyoroti jomblo dari aspek psikologis, karena ada yang lucu dalam kehidupan kita. Katanya dengan memiliki kekasih seseorang mampu merealisasikan mimpinya dua kali lipat, nyatanya semua itu sama saja. Pada akhirnya hanya tekad dan niat dalam hati sendirilah yang mampu mewujudkan semua itu. Buku ini juga menyuguhkan kiat agar menjadi jomblo yang tidak mudah baperan, cengeng, galau, lemah, payah atau emosi negatif lainya untuk tidak mendekat. Salah satu caranya dengan lebih banyak membaca, memperkaya pengetahuan dengan skill dan jejaring. Kehidupan sosial tidak membutuhkan orang yang mudah baperan tapi butuh orang-orang yang mampu berpikir jernih, kritis dan menimbang pilihan bukan tentang keinginan tapi kebutuhan.

Bagi buku ini jomblo adalah sebuah gelar master dalam kesendirian. Akan tetapi sendiri bukan berarti lemah, justru dalam kesendirianlah ia mampu tetap kuat untuk terus bertahan dalam gempuran lambe tetangga yang menusuk. Tapi pada akhirnya narasi dalam buku ini sepakat bahwa menikah adalah puncak dari kehidupan asmara dalam menjomblo.

Paling menohok dari beberapa tulisan yang ada dalam buku ini yaitu menyoroti tentang fenomena hijrah dan nikah muda. Fenomena tersebut disinyalir sebagai gerakan menjual poligami dalam meraup keuntungan semata. Walaupun agama mentolerir poligami akan tetapi kaidah poligami justru malah direduksi menjadi gerakan politik. Masih banyak lagi tema-tema yang asyik untuk dibaca dalam buku tersebut terutama persoalan ketasawufan. Inti dari semua hal dalam buku tersebut yaitu mengajak para jomblo untuk berkarya bukan malah menangisi takdir sebab masih sendiri. Sekarang kita hanya perlu berusaha dan tetap tenang bahwa jodoh tak akan kemana. Mari berkarya, katanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde