Langsung ke konten utama

Covid-19, Timnas U-19, dan Ke-ambyaran Jiwa

             (Sumber gambar Canva.com)

Woks

Wabah Covid-19 benar-benar telah sukses mengobrak-abrik tatanan kehidupan, mulai dari sosial yang resah, ekonomi melemah, politik yang saling curiga sampai batuk dan bersin yang dianggap Corona. Bahkan dari beberapa video hiburan yang beredar hanya kentutlah yang tak bisa dicurigai siapapun. Bayangkan sekarang dunia terbalik tidak hanya dalam sinetron, tapi benar-benar terjadi nyata. Shalat yang dianjurkan untuk merapatkan barisan (shaf) sekarang malah harus berjarak, salaman yang menjadi anjuran sekarang malah agak jauhan, cadar yang dulu jadi larangan kini semua orang disarankan bermasker. Menutupi mulut dan hidung agar terhindar dari virus serta menularkanya.

Dampak Covid-19 orang-orang yang terpaksa mudik atau pulang dari luar kota langsung dilabeli sebagai ODP (orang dalam pemantauan). Terus setelah itu beranjak ke PDP (pasien dalam pengawasan). Begitu mengerikan bukan. Sekarang antar sesamanya seolah seperti mutan atau zombie yang sedang berkeliaran. Di mana-mana ada pemeriksaan dan penyemprotan disinfektan. Belum lagi jika ada yang bergerombolan orang pasti langsung dibubarkan polisi, situasi ini percis seperti orde baru dulu. Tapi begitulah realitas di lapangan. Mengerikan bukan?

Masyarakat tidak hanya dibuat resah tapi sekaligus bingung. Mereka dipaksa untuk terkena tsunami informasi tentang covid-19 yang terus menghantam, bersliweran silih berganti setiap hari. Entah berita mana yang valid atau hoaks, yang jelas antara valid dan hoaks sudah sulit dibedakan. Belum lagi arus informasi yang selalu membandingkan penanganan Covid-19 antara Indonesia dan negara lain tak henti-hentinya diberitakan. Termasuk update jumlah korban positif Covid-19 selalu diberitakan tak jauh beda dengan poling sementara jumlah suara pemilu. Seolah-olah hidup di Indonesia hanya ada pesimistis terus yang digaungkan. Bukankah matahari masih bersinar tanda belum kiamat. Hal inilah yang mungkin bisa menggambarkan masyarakat kita yang latahan, percis seperti netizennya. Alih-alih mereka telah melegitimasi atas gelar "maha benar netizen atas segala cuitanya". Dalam kasus ini semua orang mendadak menjadi ahlinya ahli. Sehingga pengampu kebijakan menjadi bingung saran mana yang harus dipakai.

Sejak awal Indonesia memang selalu terkesan menyepelekan sesuatu. Jadi jika nasi sudah menjadi bubur kita baru sadar betapa menyesalnya hari kemarin. Saat pertama Covid-19 masuk ke Indonesia semua orang memang tenang tapi tanpa kesiapan, sehingga saat negara api menyerang semua kelabakan. Sudah berapa kali Indonesia kalah menang, mungkin berkali-kali banyak kalahnya. Terutama tentang pertandingan sepakbola. Sehingga apalagi yang akan diperbuat selain berkaca dari hari kemarin untuk hari esok.

Kita pernah diingatkan dengan momen sejarah pada sekitar Oktober tahun 2018 lalu. Di mana Indonesia harus mengakui keunggulan atas Qatar pada AFC U-19 dengan skor 5-6 untuk kemenangan Qatar. Akan tetapi walau Indonesia kalah setidaknya momen mengejar ketertinggalan itu tak bisa dianggap remeh. Bayangkan saat skor telah 1-6, coach Indra Sjafri begitu kebingungan bagaimana mencari cara agar keluar dari zona yang menyulitkan itu. Akhirnya keajaiban muncul melalui kaki lincah Rivaldo Todd Perre dan tendangan bebas Sadil Ramdhani, hingga mengubah skor menjadi 5-6. Walaupun Indonesia kalah pada sat itu, setidaknya kita telah berupaya dengan heroik untuk berjuang sekuat tenaga mengejar ketertinggalan. Pada akhirnya kita mengakui bahwa kekalahan tetaplah menyakitkan.

Dalam kasus Covid-19 ini mungkin Presiden Jokowi bisa melihat peluang bagaimana ia harus mengambil keputusan. Setidaknya ia tidak salah langkah untuk menentukan kebijakan di tengah situasi serba sulit ini. Seperti kebijakan lockdown yang seharusnya dipikir dengan matang. Sebab kebijakan permainan sepakbola dengan persoalan negara sangat berbeda. Bola bisa saja kalah tapi esok bisa kompetisi lagi, tapi negara sebagai sebuah eksistensi besar tidak boleh menyerah begitu saja. Selain sedang menghadapi ruang waktu yang tidak menentu kita juga akan dihadapkan dengan lonsoran ekonomi dan rakyat yang tak punya pilihan selain membangkang, begitu kata peraih nobel ekonomi tahun 2019 Abhijit Banerjee dan Esther Duflo. Kondisi itulah yang akan menguras tenaga dan pikiran bahwa ada yang lebih penting dari semuanya yaitu kemanusiaan. 

Dengan keadaan seperti ini layaknya Indonesia bercermin kepada blundernya keputusan India karena kebijakan lockdown nya, padahal situasi dan kesiapan mereka belum maksimal. Bagi negara yang memiliki tradisi mudik memang sangat elok untuk tidak terlalu gegabah dalam mengambil keputusan lockdown ini. Karena secara psikologis orang-orang meyakini bahwa mudik merupakan tradisi memanen rindu. Jangan sampai karena lockdown yang tidak tepat Indonesia akan memiliki masalah baru yaitu korban kematian karena menahan rindu berjatuhan. Jika itu terjadi Indonesia akan ambyar nasional.

Keambyaran jiwa masyarakat kita sudah tampak dari banyaknya keluhan di media sosial. Jangankan untuk menahan rindu ala Dilan untuk berjarak pun mereka tak sanggup apalagi tetap di rumah saja. Sampai kapan? sampai ujung usia. Jika tentang sebuah lagu mungkin, tapi semua butuh bertahan hidup bukan sekedar janji. Jadi mohon atas strateginya dari pak Presiden untuk mengambil keputusan yang jernih dan sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Tau kan pak Presiden tipikal masyarakat Indonesia? Ngeyel.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde