Langsung ke konten utama

Kebudayaan Sampah yang Tak Pernah Usai

             (Sumber gambar Canva.com)


Woks

Masalah sampah memang tak ada ujungnya. Ia akan selalu jadi topik hangat sepanjang pemberitaan, utamanya saat banjir. Sampah, sistem drainase, hingga daerah resapan yang semakin menyempit, salah satu dari sekian alasan untuk saling menyalahkan. Setelah itu mencari siapa yang bertanggungjawab. Sehingga masyarakat seolah angkat tangan perihal ini. Memang sejak dulu buang sampah telah menjadi mentalitas. Bahkan buang sampah di sembarang tempat menjadi karakter bangsa kita. Pantas saja Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah mencatat bahwa Indonesia berada di urutan ke 4 dengan jumlah sampah terbesar di dunia.

Predikat sebagai negara dengan sampah yang overload tentu bukan sebuah prestasi, melainkan sebuah pekerjaan bersama untuk memulai bagaimana menanganinya. Jangan sampai sampah menjadi masalah yang tak kunjung usai. Pada 21 Februari 2005 tepatnya di TPA Leuwigajah Cimahi Jawabarat kita pernah diingatkan dengan sebuah peristiwa yang membuat siapa saja berkaca. Sebuah tragedi kemanusiaan di mana sekitar 174 orang tewas karena tertimbun longsor dari gunung sampah. Lalu tragedi itu diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Dan nyatanya kita memang tak pernah cukup untuk segera sadar secara kolektif, bahkan secara individu pun kita sering banyak ingkarnya.
 
Macam-macam sampah seperti puntung rokok, plastik, stairoform, kaca, kayu dan lainya terus dianggap remeh. Dalam anggapan masyarakat memang sesuatu hal kecil tampak tak berdaya, padahal kalkusi tersebut selalu disalah pahami. Jika masyarakat sudah sering menganggap remeh hal yang kecil, maka tak aneh jika cara pandang semacam ini akan menjadi karakter. Jika sudah demikian mereka akan selalu acuh terhadap lingkungan, lebih lagi dampaknya. Padahal sejak kecil masyarakat paham bahwa mencegah lebih baik dari mengobati, nyatanya tindakan preventif itu jauh panggang. Ironi lagi, setiap tahun kita selalu menghasilkan sampah dalam jumlah banyak khususnya pasca perayaan tertentu seperti konser dan malam tahun baru. 

Masalah sampah sepertinya sudah bukan perkara kesadaran. Saya yakin semua orang sadar bahwa membuang sampah akan berimplikasi pada tatanan keindahan yang terganggu, penyebab penyumbatan sistem drainase, penyebab banjir dan sebagainya. Akan tetapi hal itu hanya menjadi alarm biasa tanpa pernah ada upaya riilnya. Seharusnya soal buang sampah orang-orang tidak perlu diajari seperti anak kecil. Buang sampah pada tempatnya seperti sebuah keharusan. Jika dilanggar tentu konsekuensinya seperti dijelaskan di muka, bahwa manusia cenderung menyalahkan pasca terjadinya bencana. Seharusnya soal sampah kita meniru permainan sepak bola tarkam (antar kampung). Mereka bermain kadang kala tanpa kehadiran wasit, namun permainan tetap berlangsung. Jika pelanggaran mereka hukum sendiri sesuai kesepakatan, dan jika bola out, atau handsball tentu mereka secara sadar langsung menghukumnya dengan tendangan bebas. Nyatanya penerapan hal itu sangat sulit sekali dalam dunia nyata.

Permasalahan sampah memang selalu tak berujung. Pesan dan amanat hanya ada di ujung mulut, sampai ke telinga lalu keluar lagi. Walau begitu setidaknya masih ada orang yang terus berupaya kreatif menciptakan ajakan untuk membuang sampah tidak disembarang tempat. Seperti kehadiran meme buang sampah, sindiran serta akibat buang sampah sembarangan mewarnai jagat maya kita. Sebenarnya tidak hanya sampah dalam pengertian umum kita pahami, mengotori dunia maya dengan postingan yang berisi ujaran kebencian, pemecah belah, berita hoax juga merupakan buang sampah sembarangan. Dan hal itu pasti tidak bertanggungjawab. Anda bisa cari sendiri, dunia maya kita penuh sesak, awan gelap dan tentunya berserakannya sampah.

Selain makna umum tersebut, Prof Suwardi Endraswara pernah mencatat bahwa dalam sastra Jawa, omong kosong atau janji busuk juga merupakan sampah. Dal hal itu harus dibuang. Sehingga paradigma tentang sampah menjadi ganda, ada sampah asli dan sampah masyarakat. Jika perspektif kedua ini kita pahami dalam sosio kultur tiap hari, maka kita akan banyak dapati macam-macam sampah saat musim politik dan kampanye berlangsung. Masyarakat akan memilah mana sampah yang bisa dikonversi menjadi uang ke pengepul rongsokan.

Hidup tanpa sampah rasanya mustahil. Setidaknya yang bisa diusahakan manusia adalah menguranginya. Sampah selalu dekat dengan manusia sebab kebutuhan hidup terus berkembang. Kebutuhan manusia yang kian hari semakin bertambah terutama pada sektor domestik (kebutuhan rumah tangga, barang dll) salah satu faktor penghasil sampah terbesar. Darisanalah sampah diproduksi secara massal, belum lagi limbah dari pabrik-pabrik besar selalu menjadi ancaman serius bagi lingkungan sekitar. Permasalahan tersebut tentu sangat dirasakan oleh warga sekitar, seperti adagium "orang makan nangkanya, sedangkan yang lain makan getahnya". Selama berabad-abad memang masyarakat hanya terkena dampak negatif, mungkin hanya beberapa persen saja dampak positif yang mereka rasakan.

Mungkin hanya ada di Indonesia dari sampah bisa menghidupi keluarga bahkan sampai menyekolahkan anak mereka hingga ke strata tertinggi. Sampah memang telah mengajarkan banyak hal, bahkan Susilo Toer (adik Pramoedya) memilih jalan kehidupan dengan menjadi pemulung. Katanya memungut sampah (rongsokan) adalah pekerjaan kemerdekaan. Sampah tidak selamanya sia-sia, seseorang hanya perlu memanfaatkanya saja. Jangan pernah menganggap remeh sesuatu hal yang kecil, sebab selama itu halal ia lebih berkah daripada hasil besar dari menipu atau korupsi uang rakyat.

Inilah kebudayaan sampah yang mengajari manusia tentang arti penting sebuah value terhadap apapun. Pastilah Tuhan menciptakan segala sesuatunya dengan penuh hikmah. Tak ada yang sia-sia di dunia ini termasuk sampah yang telah dicampakan oleh pemiliknya. Pada akhirnya kita akan berterimakasih kepada para pemulung atau petugas kebersihan yang rela melewati jalan itu. Jalan yang berdebu, bau, menjijikan, dan tidak banyak orang yang sudi berkecimpung di dunia ini. Jika tak ingin disebut sampah maka berbuatlah yang manfaat untuk diri dan orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde