Langsung ke konten utama

Busana Tradisional VS Busana Modern

             (Sumber gambar Canva.com)

Woks

Modernisasi memang telah merambah ke banyak sisi kehidupan, salah satunya terhadap busana atau pakaian. Makin berkembangnya segala macam corak, gaya, model dan warna-warna merupakan pengaruh modernitas yang mengalir deras. Belum lagi industri garmen dengan mesin canggih telah berdiri di mana-mana. Karena produksi busana sebagai hak pakai merupakan barang primer yang terus dibutuhkan setiap waktu. Selama masih ada manusia selama itulah pakaian akan tetap ada. Bahkan beberapa hewan peliharaan pun turut diramaikan dengan dikenakannya busana khusus hewan.

Sebagai kebutuhan pokok ternyata busana dan pakaian memiliki sedikit perbedaan arti, yaitu di mana busana mempunyai konotasi “pakaian yang bagus atau indah” dalam kata lain pakaian yang serasi, harmonis, selaras, enak di pandang, nyaman melihatnya, cocok dengan pemakai serta sesuai dengan kesempatan. Sedangkan pakaian adalah bagian dari busana itu sendiri. Lalu bagaimana kita mengklasifikasi adanya busana modern dan tradisional?

Klasifikasi busana modern dan tradisional sesungguhnya hanya membedakan latar belakang historis dan cara pembuatan. Jika busana modern tentu berkembang saat ini dengan pengerjaan relatif efesien karena sudah tersentuh teknologi, sedangkan yang tradisional masih terkungkung dengan cara lama dan cenderung mempertahankan nilai-nilai tradisi yang berkembang. Bagi yang tradisional paling maksimal adalah menginovasinya agar mampu bertahan dalam kepungan zaman modern.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah semua busana memiliki makna yang terkandung di dalamnya? tentu jawabanya relatif. Subjektifitas para desainer tentu bermain peran dalam pembuatanya. Khusus pada busana modern, tentu nilai dan makna akan diungkap pada saat momen-momen tertentu saja, seperti sayembara lomba atau pameran. Jika dibandingkan dengan busana tradisional tentu akan beda lagi. Busana tradisional sebut saja batik, merupakan busana yang telah dikenal lama sebagai warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Seni melukis di kain itu lahir dari tradisi adiluhung yang sarat akan makna. Berbagai corak dan motif dipercaya sudah ada sejak tahun 700an pada masa kerajaan Jenggala. Motif-motif tersebutlah sesungguhnya lahir dengan membawa sejuta makna. Karena ia tidak lahir dari ruang hampa. 

Batik sebagai perwakilan dari busana tradisional sesungguhnya merepresentasikan kehidupan. Mulai dari pembuatanya seperti saat pengkethelan, menyorek, menyanting hingga merebus semua dilakukan dengan penuh kesabaran. Ditambah lagi motif atau corak di dalamnya mengandung makna tersendiri. Memang kebudayaan manusia penuh diwarnai dengan simbol. Clifford Geertz melihat simbol-simbol pada keseharian hidup manusia seperti jaring laba-laba yang saling berkaitan dan ingin berusaha menguraikan maknanya. Seperti halnya batik Sido Luhur yaitu mencerminkan sebuah harapan bahwa pemakainya dapat mencapai kehidupan yang luhur, terhormat dan bermartabat. Batik Sido Mulyo yaitu cerminan sekaligus harapan untuk mencapai kemulyaan. Batik Tambal yaitu memiliki makna seseorang yang selalu ingin memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Batik Grompol yang berarti berkumpul atau menjadi satu, batik ini memiliki makna bahwa doa orang tua selalu mengharap agar rezeki, kesehatan, kebahagiaan selalu bersama anak-anaknya. Dan tentunya masih banyak lagi makna batik yang ada di Indonesia ini.

Makna-makna yang terkandung pada kain batik mencerminkan makna simbolik filosofis. Bahkan dulu tidak sembarang orang mengenakan batik, karena pada jenis batik tertentu hanya boleh digunakan oleh kerajaan dan keluarganya saja. Hal itu dimaksudkan bahwa batik menunjukan status sosial pemakainya. Termasuk batik yang dilarang dipakai pada saat itu diantaranya pada batik bermotif Kawung, Udan Riris, Parang rusak, Semen dan Alas-alasan. Inilah busana batik yang tidak hanya dinilai fungsi praktisnya, tapi pada makna filosofisnya. Sehingga batik ini dianggap busana yang mengandung tatanan dan tuntunan. Selain batik, kebaya juga merupakan busana tradisional. Termasuk pakaian adat yang ada pada tiap daerah. Seiring berjalananya waktu beberapa busana tradisional itu menyulap dirinya menjadi pesaing busana modern, tentu dengan corak yang kontemporer.

Lalu bagaimana dengan busana modern saat ini? Busana modern itu sifatnya praktis, banyak pilihan gaya tanpa pernah memperdulikan makna. Sebab busana modern mencoba melihat sisi ekonomis sesuai dengan permintaan pasar. Ia juga hanya bergantung pada brand merk tertentu dan kekuatan bahan. Di sisi lain busana modern dikerjakan hampir mayoritas bersentuhan dengan teknologi. Tanpa mendiskreditkan cara tersebut, tentu dengan adanya teknologi pembuatan busana modern relatif lebih singkat. Secara historispun busana modern akan terus dinamis sesuai dengan trend yang sedang berkembang.

Pada porsi yang lain kehadiran teknologi dalam industri busana modern hanya akan menghambat kerja seni manusia. Lebih lagi terhadap warisan leluhur yang telah berkembang lama. Akhirnya busana tersebut akan kehilangan sisi makna dan memang telah diakuisisi oleh kerja-kerja instan. Pergeseran makna juga terlihat saat busana bergerak dari yang etis ke estetis. Orang-orang hanya akan melihat dari sisi luarnya saja dan memang soal harga sangat terjangkau. Berbeda dengan batik dengan proses klasik tentu harganya sangat melangit.

Busana modern memang mampu memanjakan konsumennya dengan corak dan model yang lebih trendi. Sehingga konsumen menganggap bahwa dengan busana modern mereka dianggap diakui keberadaanya. Lebih jauh lagi orang-orang memang mudah latah, cuma karena istilah dalam bahasa asing seperti tuxedo, maxi dress, kemeja kasual slimfit, gamis dan lainya mereka anggap telah menjadi modern.  Padahal jika ditelaah lebih jauh apakah busana tersebut memiliki makna seperti busana tradisional. Tentu ada bisa menjawabnya sendiri.

Busana pada akhirnya tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh semata, melainkan berfungsi sebagai pembawa pesan. Terlepas dari pesan apapun itu, yang jelas busana adalah pakaian pada diri manusia yang dapat dinilai orang lain yang memandangnya. Lebih dalam lagi orang Jawa sering memberi pepeling bahwa, "ajine raga gumantung saka busana" (penampilan seseorang ditentukan dari cara berpakaiannya). Penampilan dapat menunjukan karakter kita di mata orang lain. Maka dari itu salah satu sifat busana terkadang bersifat manipulasi.

Secara artistik estetis baik busana tradisional maupun modern memiliki subyektivitasnya tersendiri. Akan tetapi yang membedakan keduanya adalah persoalan makna yang tersirat dalam busana tersebut. Jangan sampai anda salah dengan apa yang anda kenakan sendiri. Dari busana kita belajar bahwa manusia adalah mahluk yang perlu ditutupi sisi hewaniahnya dengan ditutupi oleh sifat sejatinya manusia. Berbusana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde