Langsung ke konten utama

Dzikir Pena Santri

Woks

Latar belakang mengapa buku ini bisa hadir adalah karena event lomba menulis esai nasional yang diselenggarakan oleh PCNU Kota Malang pada tahun 2018. Hasil dari sayembara lomba tersebut akhirnya mendapatkan 36 kontributor yang mewarnai tulisan dalam buku tersebut. Rerata penulisnya adalah santri dan mahasiswa. Buku ini diberi testimoni oleh KH Marzuki Mustamar (Ketua Tanfidziah PWNU Jatim), David Rahmat Hakiki (Ketua pelaksana HSN 2018), M. Ainurrofiq (Penulis & Youth Peace Ambassador 2017) dan Drs. H. Mujib Shovy, S.T (Ketua MWC NU Lowokmaru Kota Malang).

Pengantar dalam buku ini oleh M. Alifuddin Ikhsan, ia adalah penulis dan lulusan terbaik Universitas Negeri Malang (UM). Menurutnya buku ini menarik untuk dihadirkan sebagai sebuah upaya santri dalam merespon berbagai hal salah satunya revolusi industri 4.0 dan ancaman radikalisme. Ideologi ekstrimis dan paham yang mudah menganggap yang lain salah sangat berkembang pesat di luar dunia pesantren terutama di kampus-kampus umum. Menurutnya santri harus keluar memberikan pemahaman itu. Santri tidak boleh hanya tinggal di zona nyaman dan berdiam diri di menara gading. Mereka seharusnya mencontohkan Islam moderat (washatiyah) dan ikut mendakwahkan bahayanya radikalisme yang semakin mewabah. Poin terakhir menurutnya bahwa buku tersebut memiliki tantangan bagi santri untuk mewujudkan ajaran Islam yang komprehensif, Islam yang damai, dan tak lupa yaitu menyeimbangkan kehidupan santri yang akademis dan praksis. Di sana diharapkan kebermanfaatan ilmu santri bisa diterima masyarakat.

Isi buku ini sangat menarik, seperti yang disampaikan oleh pengantar tersebut. Dalam buku ini ada 36 kontributor dengan ragam tulisan yang berbeda. Ada yang membicarakan santri dan dunia pesantren, tantangan dunia terhadap revolusi industri 4.0, santri dan inovasi teknologi, menangkal radikalisme, santri dan lingkungan, ekonomi kreatif, pendidikan, upaya deradikalisasi, identitas santri, serta politik dan seni. Semua tulisan tersebut tak lain merupakan upaya santri dalam mewujudkan Islam washatiyah dan meng-ekspos dunia santri yang ternyata mampu menjawab tantangan zaman.

Beberapa hal menarik dari buku ini akan saya tuliskan diantaranya. Sebagai santri harus tau akan jati dirinya. Sekalipun telah terjun di masyarakat diusahakan jangan sampai melunturkan identitas sebagai santri. Ada ungkapan menarik dalam al Qur'an " inna kulla syay'in khalaqnaahu bi qadr" bahwa menemukan misi hidup adalah menemukan qadar kita sendiri (hlm 4). Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang santri harus lebih visioner dari siswa biasa.

Identitas santri lainya yang tak kalah pentingnya yaitu sarung. Di sana seorang santri harus percaya diri, bukan malah minder. Secara historis dulu sarung sering digunakan dalam masa penjajahan baik Belanda maupun Jepang (hlm 46). Sarung juga merupakan identitas yang membedakan dengan bangsa penjajah. Sekarang sarung malah telah banyak dimodifikasi sebagai sebuah style fashion. Termasuk saat perayaan hari santri, Presiden Jokowi pun mau memakai sarung. Darisanalah seharusnya kita bangga dengan sarung.

Selain itu ternyata santri juga mampu berinovasi dalam sektor teknologi dan ekonomi. Dalam hal teknologi santri mampu membuat platform berupa santriproject yaitu sebuah aplikasi yang tujuanya memberdayakan potensi santri dan pondok pesantren. Aplikasi tersebut memuat informasi, jual beli, enterpreneur, pengetahuan dan tentunya memberdayakan masyarakat (hlm 28). Termasuk juga dengan adanya inovasi PAKU NU yaitu aplikasi pasar kuliner warga NU dan tentunya halal. Kebutuhan makanan terjamin kehalalannya sangat penting sekali, apalagi warga Nahdliyyin jumlahnya besar sehingga potensi tersebut bisa saling menguntungkan satu sama lain. Kita tidak usah repot-repot kesana-kemari, cukup dalam smartphone saja (hlm 52).

Buku ini juga menyoroti tentang ideologi ekstrimis yang makin masif akhir-akhir ini terutama setelah pilpres 2014. Menurut mereka agama merupakan bentuk integralistik dengan negara, akan tetapi pemahaman jadi berbeda ketika negara yang bhinneka ini menjadi negara Islam yang mengedepankan jihad. Sehingga gerakan teroris berkembang pesat guna memuluskan aksi. Bagi santri mengetengahkan Islam moderat merupakan salah satu gerakan mengingatkan mereka bahwa ada hal penting dari kepentingan kelompok yaitu kemanusiaan. Aneh juga saat orang yang beda keyakinan tetapi diperangi atau di bom. Lalu di mana sisi manusia mereka. Dari berbagai peristiwa itulah kalangan pesantren melalui keputusan dulu saat muktamar di Situbondo menegaskan Pancasila sebagai dasar negara dan memegang teguh cara berislam washatiyah berlandaskan kepada ukhuwah Islamiah, ukhuwah wathaniyah, ukhuwah Basyariah dan ukhuwah insaniyah (hlm 68).

Buku ini semakin lengkap saat membahas tentang kearifan lokal, lingkungan hingga politik. Akan tetapi saya tidak bisa mencatat semua dalam tulisan ringkas ini. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dari berbagai literatur yang pernah dituliskan setidaknya santri begitu luwes dengan berbagai hal termasuk menyingung bagaimana kita harus melestarikan alam sekitar. Tidak kalah penting lagi menghidupkan kembali khazanah yang ada di pesantren seperti kajian ilmiah dan religi. Menghidupkan syawir dan sastra pesantren juga termasuk keunikan yang perlu di ekspos. Di sana kita harus bisa menempatkan diri sebagai santri bukan sekedar mengaji tapi juga dapat menguasai ilmu umum sebagai bekal di zaman modern ini. Tanpa mengurangi rasa hormat layaknya kita harus tetap memegang tuguh pesan dan dawuh kyai bahwa pendidikan atau ilmu itu penting, tapi penting lagi beradab. Maa zilta thaliban, sampai kapanpun kita adalah santri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde