Langsung ke konten utama

Mendamba Bahagia di Tengah Corona

           (Sumber gambar Canva.com)
 
Woks

Apakah ada orang yang tidak ingin bahagia? rasanya pertanyaan itu tabu di telinga. Di belahan bumi ini sepertinya semua orang sepakat bahkan tujuan hidup adalah untuk bahagia. Walaupun kebahagiaan itu sendiri bersifat subyektif dan relatif. Semua disesuaikan dengan definisi dari masing-masing individu.

Beberapa orang meyakini bahwa bahagia ialah saat seseorang mampu melewati batas kesulitanya. Masa sulit adalah fase di mana minoritas orang tidak menginginkan kehadiranya. Akan tetapi suara mayoritas mengatakan bahwa ujian atau cobaan hidup tidak lebih Tuhan hadirkan sebagai sebuah jalan agar manusia belajar menggunakan teknologi canggih pemberian-Nya yaitu akal untuk berpikir. Saat itulah Tuhan menguji hambanya, seberapa mampunya ia mengintegrasikan antara hati dan pikiran.

Saat-saat pandemi Corona semakin meluas dan menyerang korban tanpa pandang bulu. Saat itulah kekhawatiran dari masing-masing orang hadir sebagai respon alamiah dari tubuh. Sehingga tidak hanya emosi yang tak terkendali tapi pikiran pun turut mengamini keadaan itu dengan berpikir "kapan semua ini akan berakhir". Tabiat dasar manusia memang demikian. Tidak aneh jika mindset sembuh lebih cenderung ketimbang menerima dan melihat kebelakang apa yang telah kita perbuat selama ini. Seperti halnya banjir, orang-orang selalu berpikir "ayolah segera berakhir" mereka tidak berpikir preventif mencegah lebih baik daripada mengobati.

Hampir satu bulan lebih setengah dari penduduk bumi sedang berbenah, tak terkecuali di Indonesia. Mereka banyak melakukan re-clean, re-healty, dan re-think ke hampir semua sendi-sendi kehidupan. Memikirkan ulang bagaimana cara hidup bersih, cara menjaga kesehatan dan cara berpikir kita selama ini. Mungkin inilah cara Allah swt membuat hambanya kembali ke start awal bahwa manusia itu terlahir dalam keadaan fitrah. Maka dengan adanya wabah Covid-19 ini berarti seseorang diajak untuk berpikir positif bahwa di balik musibah pasti terkandung hikmah. Cara terbaik melihat sudut pandang cobaan memang hanya dengan berpikir jernih.

Menurut Mihaly Csikszentmihalyi kebahagiaan terdapat dalam pikiran positif. Sebagai salah satu penggagas psikologi positif Csikszentmihalyi paham betul bahwa dengan perangkat pikiranlah Tuhan mengamatkan kita agar menempatkan sudut pandangnya secara bijak. Ia mencontohkan saat di mana dulu pernah menjadi tahanan Perang Dunia II yang begitu sengsara, lalu ia berpikir bagaimana caranya mengakhiri semua ini. Mengakhiri perjalanan yang memilukan ini. Seolah-olah semua menemui jalanan buntu. Sehingga ia memiliki minat untuk mencari kebahagiaan dan rasa puas dengan belajar seni, filsafat dan agama. Darisanalah Tuhan pasti akan memberikan jalannya sesuai dengan prasangka hambanya.

Dalam Islam berprasangka baik (husnudzon) kepada Allah swt merupakan anjuran kepada setiap hambanya. Sekalipun dalam keadaan genting dan tertekan. Sebab kata Allah, Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Tapi siapa pula yang mampu berpikir jernih pada saat yang tidak menguntungkan itu? Mihaly Csikszentmihalyi menunjukan solusi bahwa pada setiap individu memiliki aliran energi positifnya masing-masing. Ia menamakan istilahnya dengan flow. Dalam bukunya Flow: The Psychology of Optimal Experience (1990), Csikszentmihalyi mengatakan bahwa flow adalah suatu keadaan di mana seseorang begitu terlibat dalam suatu kegiatan yang tampaknya tidak ada yang lain seperti yang ia alami dan hal itu menyenangkan dirinya, hingga ia rela melakukan hal itu walau harus dengan modal besar. Arti modal besar dalam pandangan Csikszentmihalyi bisa saya artikan dengan keadaan atau kondisi, termasuk seperti sekarang ini bagaimana seseorang masih tetap berpikir positif mengalirkan pikiranya dengan tetap sabar, ikhtiyar dan tawakal. Dalam kata lain nikmati saja dan ikuti alurNya.

Keadaan pandemi corona yang meresahkan ini sesungguhnya telah merampok perhatian kita untuk fokus ke sana. Padahal dalam kondisi tersebut seseorang bisa melakukan hal lain semampunya. Termasuk berpikir bahwa orang lain pun merasakan hal yang sama. Maka secara temporal seseorang mulai berangsur-angsur berpikir bukan tentang masalah, tapi tentang peluang. Bagaimana menciptakan ide, gagasan, kreativitas, serta jalan keluar dengan positive thinking. Mengikuti anjuran medis untuk menjaga kesehatan, menjaga kebersihan, rajin cuci tangan, wudhu, pakai sabun, pakai masker dan lain sebagainya. Termasuk anjuran ulama agar memperbanyak taubat, membaca dzikir, sholawat dan berpasrah memohon perlindungan kepada Allah swt.

Rasanya dalam kondisi seperti ini kita memang harus berpikir positif dan tidak membesarkan kepanikan sebab kata Ibnu Sina bahwa dalam "kepanikan adalah separuh penyakit, sedangkan ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan". Apa yang dikatakan Ibnu Sina tentu berkaitan erat dengan apa yang diucapkan Csikszentmihalyi, saya mengartikanya sebagai upaya yang saling berkorelasi antara sistem afeksi (perasaan), kognitif (pikiran) dan psikomotorik (kemampuan fisik). Tiga sistem yang menyelubungi tubuh tersebut harus dijaga dengan baik, apalagi saat-saat seperti ini psikosomatis sangat rentan terkena pada kita. Satu diantaranya saja yang bermasalah maka imbasnya kepada sistem lainya. Sebab tubuh terdiri dari sebuah sistem kesatuan. Ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa sistem kerjasama yang diaktifkan dengan baik. Salah satu yang terpenting adalah merawat pikiran tersebut. Karena beberapa ahli neuroimunologi menyatakan bahwa sumber penyakit yang akan menyerang imun (sistem kekebalan tubuh) berawal dari pikiran. Maka tak salah jika Dr Masaru Emoto dari Jepang yang mengatakan bahwa sumber penyakit itu awalnya dari pikiran.

Sekarang kita berpikir apakah memang kondisi ini tak lain merupakan seninya kehidupan. Di mana semua orang tanpa mengenal kelas sosialnya sedang sama-sama berjuang menciptakan kebahagiannya. Lebih-lebih dapat bermanfaat bagi orang banyak. Semoga saja dengan wabah Corona ini kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Esok semoga masih diberikan umur panjang untuk terus memperbaiki diri, menjadi jiwa-jiwa yang tenang. Ya ayyuhan nafsul muthmainnah, irji’i ila rabbiki radhiyatam mardhiyyah (wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya),” (surat Al-Fajr: 27-28).




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde