Langsung ke konten utama

Matinya Sang Seniman Topeng

     (Sumber gambar : turidi@yahoo.com)

Woks

Badan dan gerak tubuhnya masih lihai, berlenggak-lenggok dalam alunan melodi musik kendang yang berbalut dengan kecrek,  serta seperangkat gamelan sederhana seperti saron, bonang dan gong. Irama ritmik tubuhnya mengandung nilai artistik yang seolah tak pernah padam. Padahal usianya sudah terlalu sepuh untuk terus menarikan tubuhnya di atas pentas. Ia Mbok Lasmi orang biasa memanggilnya. Mbok Las memang terkenal sebagai seniman tari topeng di daerahnya. Sejak kecil Mbok Las sudah aktif menari, katanya tarian itu adalah tari kehidupan. Itu sebabnya Mbok Las aktif menari sejak kecil karena tari merupakan peninggalan para leluhurnya.

Hampir setiap hari di usia senjanya, Mbok Las mengajari anak-anak sekitar rumahnya untuk belajar menari. Di bantu cucunya Aini, Mbok Las selalu bersemangat dalam mengajari anak-anak tetangga itu menari. Jika tidak ada jadwal manggung selain mengajar tari, Mbok Las juga mencari tambahan kebutuhan hidup dengan menjual kayu bakar dan daun pisang ke pasar. Bagi Mbok Las keadaan seperti apapun kehidupan akan terus dijalani termasuk perjuangan melestarikan kesenian topeng ini. 

Usia Mbok Las kini sudah memasuki ke 80 tahun. Tentu usia yang tidak muda lagi untuk tidak menyebut sepuh sekali, sebab bagi Mbok Las menari justru membawanya ke usia topeng-topeng yang ia kenakan. Seperti saat mengenakan topeng panji ia seperti anak yang baru saja dilahirkan, topeng samba seperi anak-anak yang manja, topeng rumyang seperti remaja yang labil, topeng tumenggung seperti orang dewasa yang telah mengerti banyak hal dan topeng klana seperti orang yang terus memiliki ambisi hidup selamanya.

Aini sering diceritakan Mbok Las saat pulang dari sekolahnya. Kata Mbok Las dulu tari topeng yang dibawa buyutnya sempat dicekal pihak Belanda saat pementasan. Mengapa bisa begitu karena Belanda menganggap pementasan tersebut sebagai mata-mata yang akan mengakomodir warga sekitar untuk melawan pemerintahan. Yang paling menyedihkan ialah saat topeng warisan leluhurnya dijarah oleh Belanda dan Kakek buyut meninggal di ujung senjata. Untung saja Mbok Las dan beberapa topeng peninggalan buyutnya masih bisa ia amankan bersama para pejuang.

Saat pertama belajar menari sebenarnya Aini  tidak mau bahkan menolaknya. Karena menari itu tidak keren, apalagi menari tarian tradisional sepertinya terkesan kuno. Ia bahkan berpikir sama seperti anak seusianya yaitu happy-happy. Tapi saat Mbok Las keseringan bercerita tentang perjuangan mempertahankan tarian itu akhirnya Aini tergerak juga. Katanya kini tarian itu adalah panggilan jiwa. Jadi tidak ada alasan buatnya untuk menolak keinginan neneknya itu. Terlebih lagi ketika Mbok Las jatuh sakit, Robiyem ibu Aini menekankan agar ia semangat berlatih. Tentu pikiran keluarga semua sama bahwa Mbok Las kini sudah tua dan sering sakit-sakitan.
**
Waktu telah berjalan melewati batas pikiran manusia. Selama roda masih berputar waktu juga tak akan berhenti, begitu juga ceritanya Mbok Las kembali bugar seperti sedia kala. Bahkan Mbok Las masih beberapa kali ikut pentas dalam acara bersih desa, acara ulang tahun kabupaten bahkan sampai mancanegara. Entah energi apa yang dimiliki Mbok Las itu sehingga membuatnya selalu enerjik dalam menari. Padahal hasil dari menari tidak seberapa jumlahnya, akan tetapi bagi Mbok Las menari bukanlah soal berapa bayaranya tapi soal olah rasa yang manunggal bersama topeng yang ia kenakan. Mbok Las sadar bahwa ia belum bisa berbuat banyak dengan tarianya itu. Yang jelas cita-cita Mbok Las hanya satu yaitu agar tari topeng ini tetap lestari hingga anak cucu. Hal itu jua yang menjadi pesan kakek buyutnya dulu.

Suatu saat desa tetangga nanggap tari topeng yang dipimpin Mbok Las. Tidak lupa Mbok Las membawa Aini turut serta dalam pementasan, itung-itung melatih mental. Seperti pagelaran seni pada umumnya, untuk mengawali pementasan Mbok Las membacakan beberapa syair jawa seperti kidung dan mantra yang ia tujukan pada arwah leluhur. Kebul wangi kemenyan dan harum bunga tujuh rupa juga tak boleh ketinggalan. Semua ritual itu bertujuan untuk nyawijinya penari dan topeng yang akan dikenakan. Termasuk setiap malam jum'at kliwon padupaan dan sesajen sudah selalu disiapkan. Tujuanya yaitu mensucikan dan memberi penghormatan kepada topeng leluhur itu.

Sering sekali saat ritual itu dilakukan, Aini menaruh segudang tanya sekaligus hati sedikit menolak. Apa pula yang dilakukan neneknya itu dengan segenap persembahannya. Kadang malah membuat Aini ketakutan sebab aura magis dari tarian itu seperti muncul seketika. Belum lagi tambahan aroma bunga tujuh rupa makin menambah mistiknya suasana. Pernah suatu ketika saat pentas di suatu daerah Aini lupa tidak merapalkan doa-doa seperti Mbok Las lafalkan. Pada saat menari baru saja dimulai sontak badan Aini terasa kaku. Semua gerak tubuhnya seperti tak teraliri kehidupan, bahkan ia mengira ini mati suri. Akhirnya kekhawatiran itu terjadi, Aini hanya menangis meratapi topeng yang akan ia kenakan. Ia hanya terdiam tertunduk lesu di tengah panggung sambil berusaha menggerakan badanya. Alunan musik gamelan yang ditabuh para Nayaga seketika langsung berhenti. Penontonpun satu persatu kasak-kusuk seolah melempar tanya.
"Ada apa ini, kok tiba-tiba pertunjukanya berhenti?"
Beberapa menit dari tarian sunyi itu Aini justru semakin histeris. Ia seperti kesurupan mahluk lain yang tidak sama dengan biasanya ia pentas. Satu persatu penonton mulai berhamburan karena takut. Satu dari Nayaga lalu menenangkan keadaan. Ia ambil microphone dengan cepat.
"Para pemirsa yang budiman diharapkan tidak usah takut, ini hanya ada kesalahan teknis biasa, jadi dimohon tenang".
Robiyem pun bergegas menghampiri Aini. Ia memeluknya erat. Dibawakanya segelas air yang telah ia bacakan doa-doa dari Mbok Las yang masih diingatnya. Setelah meminum air itu seketika Aini pun siuman. Ia terbangun dalam keadaan lemah. Rasanya semua energi telah terkuras habis. Entah bagaimana bisa itu terjadi, yang jelas Aini merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Padahal ia hanya tinggal menuruti saja titah Mbok Las neneknya itu.

Mungkin Aini hanya trauma saja saat dulu berusia 12 tahun tepatnya saat duduk di kelas 6 sekolah dasar. Trauma itu seolah terbuka lagi dalam pikirannya. Ia mengingat saat dirinya tak boleh makan minum alias puasa. Tidak boleh makan yang lauknya bernyawa seperti hewan, tidak boleh makan yang diolah dengan mesin serta pantangan lainya. Ia juga masih sangat ingat saat dirinya harus mandi kembang tujuh rupa di tengah malam jam 12, direndam di air yang dingin setelah itu ia harus melewati pekuburan yang senyi senyap. Belum lagi ia merebahkan tubuhnya disekitar perempatan jalan, lalu Mbok Las menginjak-injak tubuh kecilnya. Rasanya sakit dan tentu seperti anak-anak pada umumnya ia menangis tersedu-sedu. Hampir saja ia benar-benar di titik nadir keputusasaan. Mbok Las benar-benar kejam. Tapi ia segera tersadar lagi dengan cerita Mbok Las saat masa penjajahan dulu, mungkin takut, sakit dan sedihnya tidak lebih ketimbang masa Mbok Las dulu.
***
Di suatu sore yang damai, angin berhembus dengan beraturan. Kicau burung pun ikut dalam nuansa kegembiraan. Akan tetapi kabar tak sedap menghampiri keluarga kami. Mbok Las jatuh sakit lagi. Terpaksa sore itu sanggar tari kami liburkan. Sebenarnya Aini bisa saja menggantikan Mbok Las untuk mengajari anak-anak latihan, sedangkan ibunya Robiyem yang menemani Mbok Las di rumah sakit. Tapi apalah daya cucu sebenarnya memiliki ikatan emosional yang besar dengan neneknya. Akhirnya Aini pun ikut dalam rombongan menemani Mbok Las ke rumah sakit.
"Kamu tidak usah kemari cah ayu, urus saja anak-anak biar pandai menari", kata Mbok Las.
"Tidak mau Mbok, pokoknya aku ingin menemani Mbok di sini", sergah Aini yang tetap bersih kukuh untuk menemani neneknya itu.
"Kamu tidak usah mengkhawatirkan Mbok, yang penting sekarang bagaimana supaya tari topeng itu tetap lestari. Jika pun Mbok mati sekarang tentu kematian hanya di tangan Tuhan".
Aini pun hanya terdiam. Ia hanya menangis meneteskan air matanya. Ia berharap hal itu tidak terjadi begitu cepat.

Sejak kecil Mbok Las memang memiliki kepribadian yang keras terutama menyangkut tari topeng. Mbok Las bahkan rela menahan lapar demi anak-anak hanya untuk terus menari. Ia juga pernah mengamen dari desa ke desa untuk mencari sesuap nasi. Hal itu juga ditujukan untuk mengenalkan tari topeng kepada warga. Kata Mbok Las topeng adalah jiwanya. Ia telah merasuk dalam kehidupannya. Topeng tak bisa dipisahkan bahkan sampai maut menjemput sekalipun. Sehari sebelum dinyatakan dokter bahwa Mbok Las dinyatakan sembuh. Mbok Las mendengar kabar bahwa ada seorang bapak berpakaian rapi membawa undangan yang tujuannya mengundang tari topeng miliknya untuk tampil di luar kota. Bahkan kata tetangganya penampilan tersebut sekaligus mewakili kabupaten. Tentu ini momen besar untuk memperkenalkan tari topeng itu kepada banyak orang. Mbok Las pun langsung menyanggupinya, padahal kondisi tubuhnya masih belum pulih sempurna. Sesekali Aini dan Robiyem melarangnya untuk tampil tapi seperti orang sepuh pada umumnya Mbok Las tidak mau diatur-atur. Bahkan jiwanya masih terlalu muda untuk segera berhenti. Kata Mbok Las lebih baik mati daripada berhenti menari.

Suara gamelan mengalun merdu. Suara sendunya seruling juga menusuk qalbu. Mbok Las menari dengan semangatnya yang membara, seolah-olah ia optimistis bahwa tarian ini tak akan pernah punah. Di atas pentas kulit keriputnya tiba-tiba teraliri darah segar, otot-otot nya menguat seperti akar hingga gerakan lincah dan elastis menutupi usianya yang senja. Mbok Las benar-benar seperti hidup untuk kedua kalinya. Sorak sorai dari para Nayaga juga menambah semangatnya dalam menari. Apalagi antusis dari penonton membuat mereka merasa berdecak kagum. Untuk seusia sesepuh Mbok Las masih tak ada bedanya dengan yang muda dalam menari. Tarian klana merupakan tarian yang ia bawakan sebagai pertanda bahwa ia akan terus berambisi meruntuhkan angkara murka, ia akan menebarkan ke mana saja bibit yang akan meneruskan perjuangan melestarikan tari topengnya.

Aini melihat kerlip bola mata Mbok Las begitu berbinar. Ia seperti menyiratkan makna harapan yang mendalam sekaligus senang dapat tampil begitu memukau. Pada akhirnya Mbok Las juga tak menakar kekuatan tubuhnya yang sudah renta. Selepas dari pagelaran itu Mbok Las mungkin bangga bisa menampilkan yang terbaik, namun sayang ia terkapar lagi untuk kesekian kalinya di rumah sakit. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak diinginkan Mbok Las. Sebenarnya ia masih ingin terus menari. Kasihan juga anak-anak di sekitar rumah yang memiliki motivasi besar untuk belajar menari. Tapi apalah daya badan yang renta membuat Mbok Las tak bisa berkata selain menggantungkan harapanya pada Aini cucunya. Mbok Las juga sering memberi pesan kepada Aini sejak pertama kali ia belajar menari bahwa topengmu adalah jiwamu. Ia memang benda mati tapi kaulah yang menghidupkanya. Topeng itu juga merupakan siklus yang mengambarkan kehidupan manusia sesuai dengan wandanya. Maka tak aneh jika Mbok Las selalu berpesan demikian kepada Aini. Hidup kita amatlah singkat sehingga berniatlah untuk menari sampai mati. Selama usiamu masih di kandung badan menarilah terus, berjuanglah terus tanpa pernah berhenti. Sejak tahap panji gerakan kita memang begitu terbatas. Kita hanya bisa menangis, tertawa atau sedikit mengepakan kaki dan jemari tangan. Topeng samba di mana kita telah menjadi anak-anak yang sedikit manja, rumyang remaja yang masih mencari jati dirinya hingga tumenggung atau dewasa. Sampai sanalah saat-saat kita menunggu kematian tiba. Sebelum ajal itu menjemput rasanya karya merupakan amal yang akan ditinggalkan untuk terakhir kalinya. Aini tak kuasa menahan air matanya jatuh.
"Mbok jangan pergi, aku masih ingin bersamamu".

Tangan-tangan keriput nan lincah itu telah melepaskan segala kenangan yang penuh kearifan. Aini seolah-olah membisu dihadapan Mbok Las, sosok yang ia kagumi. Sepertinya Mbok Las dilahirkan menjadi manusia yang berjuang tanpa henti. Darah dan tulangnya mungkin telah nyawiji bersama keinginan sederhananya. Semua alam mungkin telah menyambutnya tapi bagi Aini semua adalah tangis. Topeng, selendang, aksesoris seperti bunga dan penutup kepala telah menjadi saksi seorang seniman sejati. Kini Mbok Las yang ada dihadapannya itu seolah sedang memberi pesan terakhir pada Aini.
"Kamu harus tau bahwa seniman tak pernah mati. Seniman sejati akan terus abadi bersama karyanya. Kamu teruslah berjuang, menarilah sampai mati".

*Mengenang maestro topeng Pekandangan Indramayu, Mimi Rasinah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde