Langsung ke konten utama

Jangan Razia Warkop Kami, Detak Jantung Kami, Kalo Bisa Beri Kami Kopi Gratis Donk

Woks

Saat Corona membuat gaduh, seisi dunia rasanya membisu. Kesana-kemari terasa sepi. Interaksi dibatasi dan gerak-gerik selalu diawasi. Pokoknya dunia kini terasa susah. Belum lagi tanggungan hidup semakin saja menumpuk. Hutang menunggu untuk dilunasi hingga bagaimana cara agar modal terus berputar demi mengisi dompet yang kering kerontang.

Corona benar-benar telah merubah stabilitas kehidupan. Saat pemberlakuan social distancing, stay home, serta beberapa diberlakukan karantina wilayah saat itulah dunia terasa amburadul. Dipikir memusingkan kepala jika masa bodo amat juga terus kepikiran. Seolah-olah hidup hanya berisi dilema dan keluhan. Jadi kehidupan seperti itulah yang membuat orang-orang mengalami kebingungan massal. Salah satu kelompok yang bingungnya setengah mati adalah kalangan ahlu qohwa (ngopi) dan ahlu hisap (rokok an) saat warkop tempat mereka nongkrong ditutup sementara.

Sebenarnya tidak hanya warung kopi, beberapa cafe, angkringan, bahkan pasar tradisional juga ikut tutup. Imbas Corona tidak terjadi pada rumah sakit, lapas, Pom bensin dan supermarket. Bagi pecinta kopi warkop adalah kehidupan keduanya. Bagi mereka hidup tanpa ngopi serasa dunia akan kiamat. Padahal dalam beberapa pandangan sikap itu terkesan lebay. Emang gak bisa apa ngopi di rumah? Tentu jawaban mereka hampir sama bahwa ngopi di rumah itu tidak asyik. Di rumah itu tidak seasyik di warkop yang menyediakan banyak menu, free wifi sampai pemandangan pupu gratis.

Pecinta kopi selalu mengatakan bahwa kopi benar-benar telah membuat mereka candu. Kafeinnya seperti mengandung zat adiktif yang selalu merayu untuk segera mensruputnya. Bayangkan saat pengumuman bahwa warkop tidak beroperasi sementara banyak orang yang galau karena salah satu hiburan mereka tiada. Mereka merasa bosan berada di rumah terus sehingga ngopi di warkop adalah bentuk kemerdekaanya. Seberapapun harga dari kopi bagi pecintanya harga tak jadi masalah. Sebab standar kebahagiaan mereka sederhana yaitu bertemu teman, iso ngopi lan udud. Hanya itu saja, ya mungkin sesekali disambi nge-game.

Walaupun harus berurusan dengan pihak berwajib para penikmat kopi itu rela melakukan petak umpet hanya demi menikmati kopi. Mereka sembunyi-sembunyi dari warkop ke warkop hanya demi secangkir kopi. Padahal yang saya amati pecinta kopi itu hanya pesan secangkir kopi lalu mereka kalo tidak jagongan yo mabar dan tentu anda pasti tahu pesanya hanya secangkir habisnya bisa sampai berjam-jam di warung kopi. Suasana itulah yang sesungguhnya mereka cari. Seolah-olah waktu tak bisa diajak kompromi, tiba-tiba tak terasa kopi telah dingin sedangkan waktu beranjak pagi.

Sebenarnya tidak hanya candu alkohol yang berbahaya. Candu agama lebih berbahaya lagi. Anda sudah tau kan sekarang banyak orang beragama secara formalistik tapi kaku. Kerjaanya mengoreksi orang lain bahkan melabelinya dengan caci maki itu semua karena candu. Di mana-mana candu itu sangat berbahaya termasuk juga candu ngopi di warkop. Karena kecanduan biasanya seseorang akan tergerak melakukan apa saja demi memuluskan hasratnya. Karena candu itu bersifat keinginan bukan kebutuhan. Maka tak salah jika polisi menggrebek warung kopi dengan jumlah pengunjung yang overload, sedangkan saat ini pemberlakuan social distancing masih terus berjalan. Razia tersebut dimaksudkan agar tidak terjadinya kerumuman yang bisa menyebarkan virus Covid-19 kembali menyebar. Atau itu akal-akalan pak pulisi agar mereka punya kerjaan. Kan aneh juga orang ngopi dirazia. Ini sungguh telah melanggar hak asasi ngopi.

Tidak hanya merazia orang yang ngopi beberapa peraturan juga ikut terbit perihal ngopi ini. Seperti halnya di Kediri dan Tulungagung pemberlakuan jam malam bagi penikmat kopi sudah diberlakukan sejak dua hari yang lalu. Di mana para pengunjung warkop hanya diperkenankan ngopi hingga jam 9 malam. Jika sampai waktu yang ditentukan masih terlihat nongkrong maka jangan salahkan jika polisi itu akan bergerak menangkap mereka untuk diberi pemahaman di kantor.

Tulungagung tempat kami tinggal memang terkenal dengan kota Cethe. Kota dengan jumlah warkop yang banyak dan tradisi nyethe (melukis rokok dengan ampas kopi). Warkop memang tak bisa dipisahkan dengan warga di sini apalagi rakyat kecil warkop adalah jantung kehidupan. Karena dari warkoplah mereka bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Mereka juga bisa ngerasani pemerintah, nonton bola, transaksi dan tak ketinggalan yaitu ngopi.

Jika polisi khawatir semakin banyak orang berkerumun karena ngopi tentu hal itu tidak salah. Sebab jumlah orang yang ngopi didominasi oleh kaum muda dan memang jumlahnya tidak sedikit. Maka saran saya jika hal itu tidak ingin terjadi adakanlah beberapa hiburan seperti membagikan kopi gratis kepada mereka. Pembagian masker, hand sanitizer dan cairan disinfektan sudah banyak sekarang kopi juga bisa jadi alternatif agar mereka tidak nakal mencuri-curi waktu cuma buat ngopi. Pahami bersama bahwa keadaan seperti ini juga sesungguhnya sedang mengancam psikis kita. Sehingga jika bukan karena humor kita tak bisa tertawa. Jika bukan karena kopi kita tak akan tau bagaimana carannya bertahan saat pemerintah mengaruskan untuk tetep tinggal di rumah. Karena kopilah kita tau arti berteman sekalipun dunia memang pahit.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde