Langsung ke konten utama

Pengalaman Pertama Bertemu dengan Wanita Rok Mini

Woks

Terus terang aku termasuk orang yang dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi keagamaan yang ketat. Bagi keluarga kami memegang teguh ajaran agama merupakan hal yang utama. Sebab keluarga kami menemukan agama terutama Islam saat bapak kami pernah dalam kehidupan gulita. Bukan karena pernah punya track record kriminal atau pertentangan dengan agama lebih tepatnya pindah agama. Setelah itulah Islam adalah cahaya penerang dalam kehidupan bapak kami. Hingga saat ini Islam menjadi pegangan hidup yang teguh.

Bukanya sok suci sebisa mungkin kita menghindari larangan yang dititahkan agama dan sebisa mungkin mengerjakan perintahnya. Salah satu pengalaman keberagamaan yang menarik adalah saat keyakinan itu hidup dalam lingkup yang tidak mendukung kita terutama sejak masa kanak-kanak. Jika sejak kecil sudah dibiasakan dengan hal-hal yang berbau agama lalu tiba-tiba suatu saat kita berada di tengah-tengah kalangan yang tidak biasa maka bagaimana respon kita? Bagi orang yang tidak biasa tentu hal itu akan membuatnya gusar. Rasa hati seolah tidak menerima, bahkan ingin selalu berontak. Hati memang tidak bisa dibohongi bahkan dalam taraf ekstrim pikiran meneruskan respon itu untuk menilai. Penilaian inilah yang dikhawatirkan menjadi penghakiman sepihak, seolah-olah hanya diri ini saja yang baik sedang yang lain buruk.

Kadang seseorang akan mampu bertahan dalam dunianya sendiri. Sedangkan saat dibenturkan dengan keadaan banyak orang yang gagal. Jika orang menganggap dirinya baik dengan keteguhan iman bolehlah coba ujikan saja pada lingkungan yang berbeda. Seperti saat inilah dunia yang biasa membesarkanku dalam dunia agama yang ketat tiba-tiba dihadapkan dalam lingkungan yang liar. Aku tidak mengatakan bahwa berinteraksi dengan wanita rok mini merupakan kejahatan. Akan tetapi rasa tidak nyaman tak bisa dibohongi. Ah mungkin saja ini perkara hati yang belum terbiasa, jika sudah biasa bertemu mereka mungkin beda lagi perkaranya.

Bagi kalangan feminis busana rok mini mungkin sah-sah saja. Hal itu merupakan hak sebagai bentuk ekspresi. Akan tetapi bagi lelaki culun sepertiku hal itu seperti tidak sesuai dengan etika dan moral. Memang dihadapan etika dan moral sesuatu hal yang normatif akan terlihat. Akan tetapi baik buruk saat ini terkena standarisasi oleh lingkungan yang berlaku. Mungkin saja kalangan feminis akan menganggap ketidakadilan jika buruk dilabelkan pada busana rok mini. Lalu bagaimana dengan wanita muslimah yang hidup dalam lingkungan lelaki yang juga sering hanya pakai kolor? Bukankah hal itu sama saja. Memang masalah ini bukan soal teori tapi soal fakta yang pernah dialami.

Setidaknya cara berbaur dengan orang-orang yang berbeda memungkinkan pendakwah untuk merangkulnya, bukan malah menghakimi. Syarat dakwah yaitu terjun langsung. Seorang pendakwah tidak mungkin melakukan ceramah jika dirinya tidak berhadapan langsung dengan objek. Maka dari itu hanya orang tertentu saja yang dapat menghadapi realitas ini. Jika kalangan mereka tidak paham bagaimana menghadapi orang-orang tersebut maka jangan berani-berani untuk datang mendakwahi. Kita hanya perlu mendatangi mereka dengan baik, selebihnya persoalan hidayah itu urusan Tuhan.

Pengalaman bertemu dengan wanita rok mini tentu membuka mata kita tentang arti rasa syukur dan belajar bahwa mereka juga merupakan umat Nabi. Kita mungkin saja lebih beruntung menjadi orang yang dilahirkan dalam tradisi Islam yang dekat dengan jantung ajarannya sedangkan mereka mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhanya dan Nabi Muhammad SAW adalah nabinya juga termasuk hal yang baik. Persoalan penilaian memang bukan tugas dari mahluk, tapi mutlak tugasnya Tuhan. Kita hanya diberi tugas untuk menjadi teman baik sebagai sesama mahluk Tuhan dan memberi pesan kepada mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.

Hidup adalah sebuah perjalanan yang akan menunjukan kita ke depan. Semua adalah proses sehingga dalam dimensi proses tidak ada orang yang salah tapi yang ada adalah orang yang sedang belajar hidup. Inilah kehidupan yang beragam anda boleh saja berbeda pendapat tapi tak eloklah jika perbedaan itu tercemar oleh emosional. Jika pandangan kita terhadap mereka salah, kita perlu curiga jangan-jangan memang pikiran kitalah yang ngeres.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde