Langsung ke konten utama

Bocah Bersayap


Woks

Bocah kecil bersayap itu telah berkelana jauh. Setelah batu hijau yang ia genggam tiba-tiba menghilang terbang entah kemana. Ia sendiri tak sempat menangkap batu hati itu kecuali menggenggam erat beberapa bulu yang membungkus tubuhnya. Konon batu itu pernah singgah ke bumi dan menjadi rebutan warga karena khasiat penyembuhanya. Sejak awal ia telah mengira bahwa batu itu akan menggemparkan semesta. Apalagi manusia yang sangat mudah tergoncang rasa ingin tahunya.

Bertahun-tahun lamanya dari peristiwa itu ia singgah di bumi. Ia telah banyak diingatkan oleh banyak hal, percis seperti seorang kakek ditanya cucunya kadang ia ingat tapi lebih banyak lupanya. Lalu ia mengingat bahwa tempat yang sebenarnya tidak asing dalam pendengaranya ini ternyata benar-benar bumi. Ia pernah mendengar dentuman besar seperti di Sernobyl, bom atom Hiroshima atau letusan purba gunung Tambora tentu berasal dari planet ini. Itulah yang mengingatkan amnesia panjangnya.

Bumi memang telah menelurkan berbagai macam sejarah panjang. Berbeda dengan rumah yang ia diami hanya ada dentuman antara batuan asteroid. Keadaanya mungkin tak bisa dibayangkan begitu mencekam. Kadang api, kilatan petir serta gumpalan awan sering sekali menampakan diri. Konon Tuhan menciptakan petir itu tak lain untuk mengejar kemana setan berlarian menggoda manusia. Tapi ia tidak lebih tau semua itu kecuali suasana yang kesepian. 

Saat beberapa penerbang luar angkasa Amerika atau Rusia mendarat di sana, kebetulan sekali bocah kecil itu tidak sedang di sana. Ia telah lama berkeliaran di bumi. Bahkan saat ilmu astronomi berkembang pesat mereka para manusia mengira bahwa bangsanyalah penyebab gempar warga bumi. Saat manusia memberitakan ramai tentang crop circle, mereka beramai-ramai membrondong menyalahkan UFO sebagai biang keladinya. Mungkin memang seperti itu sifat asli manusia suka mengada-ada sekaligus menyalahkan.

Dalam perjalanan yang sudah beratus tahun lamanya ia belum pernah pulang ke negeri asalnya. Sudah berapa pulau ia lewati, seberapa panjangnya jalan ia susuri tapi seperti masih ada hal yang mengganjal dalam hatinya, kecuali memang benar ia tak akan menemukan batu hati itu selamanya. Bulu-bulu sayap kecilnya itu seolah ingin menunjukan sesuatu yang pernah terjadi di muka bumi ini. Dari tanah barat hingga timur ia susuri. Ia dengar suara jernih bahwa bumi merupakan tempat yang nyaman untuk kembali. Semua berita itu ia dapatkan dari kebocoran satelit alami bumi yaitu bulan bahwa beberapa juru cerita tentang kehidupan pernah menceritakan pada leluhurnya dulu.

Kata leluhurnya dulu sekitar 1000 tahun lalu bulan pernah terbelah menjadi dua. Ia pernah redup tanpa cahaya seperti orang-orang masuk dalam ruang senyap lalu dihakimi, dipukuli tanpa pernah diadili. Maka dari itu tak aneh jika bocah kecil itu terus mengepakan sayapnya mencari di mana tempat ajaib itu berasal. Saat perjalanannya dari masyrik ke maghrib ia menyaksikan rekaman alam berupa sebatang pohon kurma sedang menangis, unta yang menderum, batuan yang bersedih dan gilingan tepung yang kesepian. Bahkan sebagain air mata kerinduan mereka mengkristal. Entah siapa yang mereka rindukan, kecuali pasti ada sesosok manusia agung yang pernah hidup di jagat ini.

Tidak hanya itu selain artefak peradaban ia juga menyaksikan sisa-sisa bau mesiu masih menyengat di balik hidungnya. Anyir darah berbalut tulang belulang yang keropos juga bergelimpangan tak bertuan. Seperti bekas kejahatan genosida yang tak berperi. Belum lagi anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup tanpa ampun. Bocah itu berpikir apakah manusia sekejam itu. Ia bahkan tak pernah mendapati di tempatnya tinggal mahluk yang berbantah-bantahan kecuali batuan yang bergesekan tadi. Apakah kebodohan, ketimpangan dan penyimpangan menggugah takdir Tuhan untuk menurunkan kekasih pilihanya. Menebar juru damai ke penjuru negeri guna mengikis habis kejahiliyahan manusia.

Ia juga mengira dengan adanya angin, air, longsoran tanah dan pijaran lava dari gunung tidak selamanya membawa musibah. Ia tak lain merupakan dualitas berita yang berisi peringatan dan kasih sayang. Hembusan angin itu mengingatkanya bahwa dulu banjir besar pernah menjadi panglima pembela Nuh dan bahteranya. Api juga pernah tunduk dan tak pernah mau menyentuh kulit suci Ibrahim. Lautan rela memberi jalan demi Musa yang mulia. Jin-jin juga rela mengabdi pada titah Sulaiman hingga ia mendengar nama Muhammad, pengulu para kekasih.

Hampir saja lupa ada yang lebih penting dari sekedar mengingat kenangan. Romantisme leluhur memang sering terbawa dari masa lalu ke masa depan. Tapi bagi bocah itu masa depan adalah batu hijau yang ia temukan untuk membawanya pulang kembali keasalnya. Sebenarnya ia pernah mencoba mengumpulkan tenaga untuk berlari, mencoba mengumpulkan energi untuk menarikan sayapnya. Tapi semua sia-sia. Tak ada keberhasilan. Sudah berapa kali ia gagal, mungkin jawabnya banyak sekali gagalnya. Ia tak mau mengingat masa-masa putus asa itu. Ia membayangkan bahwa sayap kecil itu adalah harta terakhir yang ia miliki. Ia tak mau mengingat saat kesekian kali terbang menembus ozon tiba-tiba gravitasi menghujamkan lagi tubuh mungilnya itu. Lagi-lagi ia terpental jauh entah kemana. Kadang ia terjatuh di antara reranting, kadang pula menghujam ke padang pasir atau ke lepas samudera.

Keputusasaan memang melahirkan depresi yang membekas dan berkepanjangan. Bahkan lamanya sembuh seperti tak menemukan obatnya. Kadang dalam kesunyian ia berpikir mengapa manusia betah hidup di bumi saat hutan tak lagi hijau, saat gunung sering gemuruh, atau saat tanah dan air laut ngamuk. Apakah mereka punya cara khusus untuk menjadi dewasa atau karena ia memang terlalu bocah dalam memikirkan hal itu. Maka saat-saat jawab diperlukan untuk mengurai tanya, ia menenggelamkan dirinya ke dasar samudera. Di sana ia bertemu dengan ikan Nun yang dulu pernah memakan tubuh Yunus. Ia juga bertemu dengan Khidir sosok manusia misterius yang menjadi guru privat hakikat bagi Musa si anak Nil. Cerita tentang para kekasih Tuhan memang tidak hanya terkenal di bumi tapi juga menembus ke langit. 

Bocah kecil itu pernah ditanya oleh Khidir, "apa yang kau cari sehingga harus menyelam ke dasar samudera?" Katanya ia penasaran dengan manusia yang masih bertahan walau zaman telah berubah. Bocah itu menyembunyikan bahwa ia sebenarnya sedang mencari batu hati hijau yang telah lama hilang. Tapi mungkin Khidir telah lebih tau persoalan ini dalam hatinya. Khidir pun menceritakan pada bocah itu bahwa dulu Sulaiman dan jin Ifrit pernah singgah kemari. Ia hanya penasaran ada kubah putih seperti cangkang telur berkilau emas menembus langit. Setelah mereka periksa ternyata ada seorang pemuda di dalamnya. Lalu mereka bertanya, "bagaimana engkau bisa bertahan dengan kondisi ini, sedang dari mana juga kau peroleh makanan itu?"

"Karena bakti dan kecintaanku pada ibu lah yang membuat keridhoan Tuhan turun", jawab pemuda itu singkat.

Mendengar cerita Khidir itu sang bocah terpana, bengong ia dibuatnya. Mungkin saja manusia bertahan karena kecintaan pada yang dicintainya terlepas zaman meninggalkanya. Cinta salah satu energi yang tak pernah kadaluarsa. Tapi semua itu tak cukup meyakinkan sang bocah kecuali apa yang ia rasakan sendiri. Baginya Khidir masih teramat misterius dan sulit untuk dipahami. Tapi dalam hatinya ia sebenarnya sudah tak memperdulikan di mana batu itu berada. Sepertinya bumi memang nampak lebih asyik untuk diajak bicara bahkan asyik juga diajak bercanda.

Bocah itu mengira bahwa usia bumi memang telah tua. Ia pun telah kenyang berkelana. Menembus cakrawala dan khatulistiwa. Bahkan zaman pun telah beralih ke dimensi milenium. Waktu bisa diputar, jarak bisa dilipat dan suasana bisa direkayasa. Ia sendiri melihat olah pikir kecanggihan manusia semakin mutaakhir. Ia takut seperti yang lain ditangkap oleh pemburu yang tak bertanggungjawab. Sebab kecanggihan teknologi ada di mana-mana. Bahkan bayang semu penampakan selalu laris di depan kamera termasuk memproduksi virus mematikan demi keuntungan. Bocah kecil itu pun sampai di suatu tempat yang ia ingat pernah menghujamkan tubuh mungilnya. Bahkan sedikit demi sedikit bulu sayapnya lepas.

Sejak berpisah dengan Khidir ia membawa tanya itu pada siapa saja yang ia temui. Termasuk pada sebuah batu yang ternyata lebih indah dari batu hijau miliknya bahkan ukuranya lebih besar. Batu itu mengapung dan tak menyentuh tanah. Bocah itu memandang batu tersebut dengan takjub. Ternyata amat primitif jika dia menyandarkan kekuatan pada sebuah batu untuk membawanya kembali. Di bumi bahkan ada batu seperti ini, gumamnya dalam hati. Saat ia tanya mengapa ia bisa demikian batu itu menitihkan air mata. Bagaimana mungkin aku tak bersedih orang paling mulia di sisi Tuhan pernah singgah di punggungku. Kakinya yang halus membekas di antara bagian keras batu itu. Terompahnya pun ikut terbawa mulia. Beberapa orang bahkan rela berdoa berwasilah atas namanya. Aku tak sempat lagi berkata selain rindu padanya. Sekalipun ia telah tiada tapi ia tetap hidup dalam jiwa.

Sayap bocah kecil itu mungkin nampak lebih dewasa dari wajahnya. Satu persatu bulu-bulunya rontok terkulai ke tanah. Baru kali ini ia mendengar cerita yang tak kalah dari cerita Khidir. Ia seperti tak percaya bahwa bumi memang tempat yang istimewa. Bocah bersayap itu akhirnya mantap untuk lebih lama tinggal di bumi hingga tiba saat kematian datang. Mungkin inilah energi besar dari bumi bahwa rindu tak lain lahir dari kecintaaan.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde