Woks
Dalam proses yang begitu melelahkan ini saya sangat sadar bahwa saya belum melakukan apapun. Hingga akhirnya saya bingung dan merasa kehilangan jatidiri. Pada masa itu saya seperti tengah tenggelam entah di mana. Hidup ini terasa tidak saya miliki. Hidup terasa asing dan sepi. Saya hanya menjadi budak bagi diri saya dan orang lain. Saya belum merasa apa yang saya lakukan ini berdasar apa yang saya cintai. Saya benar-benar belum berdikari secara alami. Di sinilah saya berpikir keras sebenarnya apa yang salah, di mana salahnya dan siapa yang menjadikan ini semua singgah dalam kehidupan saya. Walau saya paham orang hidup mustahil tanpa sebuah kesalahan. Lalu saya bertanya lagi apa ini soal orang lain, tempat singgah, atau memang saya sendiri.
Saya harus sadar bahwa di sini bukan tempat yang nyaman buat perkembangan hidup. Di sini terlalu sumpek buat saya berproses. Rasanya saya ini harus segara pergi meninggalkan tempat ini. Bukan karena kumuh atau kecil atau apapun itu. Di sini hanya banyak orang yang sibuk untuk menekan, padahal orang yang ditekan masih memiliki perasaan untuk memilih dan bertindak. Ia bahkan masih memiliki cara sendiri bagaimana berekspresi. Mereka hanya menganggap bahwa kerja harus berupa fisik yang beradu ke sana-kemari. Sehingga dimensi kerja hanya yang terlihat oleh mata. Di sisi lain target kerja harus selalu berupa penghasilan yang besar. Kadang dalam hal ini saya sedikit kontradiktif sebab persoalan puas atau cukup bukan soal rasio tapi soal batin.
Tempat sebelumnya pun sama, tidak membuat saya berkembang. Di sana saya hanya sekedar menerima dogma-dogma tanpa pernah berpikir kritis. Tapi walau demikian saya bisa menghayati tempat itu sebagai laku hidup sederhana, bahkan laku itu masih saya bawa hingga saat ini. Saya juga sangat paham dan sadar tempat itu bukan sesuatu yang akan menjadikan saya berkedudukan atau berpenghasilan. Di sana saya hanya ingin ditempa keilmuan agama untuk bekal saya menghadapi kehidupan yang gersang akan spiritual. Tapi apalah daya semua telah membentuk mental saya yang hingga hari ini saya belum bisa melakukan apa-apa.
Selanjutnya di rumah tempat saya tinggal juga tidak membuat saya mandiri. Di sana saya hanya numpang hidup dari orang tua dan melakukan apapun karena orang tua. Pokok semua hal adalah tentang orang tua. Maka dari itu sampai saat ini saya memilih untuk jauh dari mereka tentu bukan karena benci melainkan agar hidup saya bisa mandiri.
Setelah dalam masa yang panjang akhirnya saya berpikir ternyata permasalahan ini bukan karena tempat melainkan karena kemampuan saya yang belum mampu mentas dari masalah. Di tambah lagi perbedaan merespon persepsi dengan orang lain yang membuat saya sering membuat masalah dalam pikiran menjadi ganda. Selain itu saya juga sering menyalahkan tekanan yang dilayangkan orang lain kepada diri saya. Terus terang saya tidak mampu mendapat perlakuan seperti itu. Walau saya sadar juga bahwa dunia ini keras. Semakin kamu keras terhadap dunia maka dunia akan melunak padamu dan sebaliknya jika kamu lemah terhadap dunia maka kamu akan dikalahkanya, begitu bunyi pepatah memberikan pesanya.
Salah satu hal yang selama ini saya pikirkan adalah terkait apakah saya ini mengalami mental illines, yaitu sebuah keadaan di mana saya selalu terpengaruh oleh perkataan orang lain. Dalam kondisi itu saya menjadi terombang-ambing, akhirnya dari kisah itu saya hanya bisa terdiam, menjadi payah dan lemah. Bahkan motivasi untuk membangkitkan diri saya sendiri tak mampu bangkit dari keterpurukan itu. Saya menjadi bingung bagaimana akan mengambil sikap. Lalu dalam kebingungan itu orang-orang menjadi iba pada saya, hingga saya berpikir lagi jika hidup ini karena belas kasih orang lain lalu apa bedanya saya dengan pengemis.
Beberapa orang memang telah mengingatkan saya bahwa kamu itu mahasiswa. Seharusnya kamu itu sudah mampu bagaimana caranya, bukan malah saya hanya. Walaupun hal itu hanya kata-kata tapi semua itu akan berpengaruh ke dalam pikiran. Mahasiswa seharus lebih memprioritaskan kemampuan pikiranya bukan malah dengan otot. Tapi apa mau dikata bahwa mahasiswa itu memiliki tipikal yang berbeda. Di sinilah kadang yang perlu diperbaiki. Sebab jika hanya puas dengan kondisi tersebut ini menjadi hal yang berbahaya. Saya juga sering konsultasi kepada orang yang berpengalaman soal permasalahan pikiran. Mereka mengatakan bahwa cara berpikir saya ini berbahaya, karena mencirikan benang kusut yang ruwet. Pikiran tersebut seolah hanya berkutat dalam lingkaran yang tak menemui ujung. Bagi perkembangan terhadap orang lain bahkan bisa membuat orang yang ditemui menjadi jengkel. Akhirnya salah satunya akan berbuat anarkis walau mungkin hanya sebatas kata-kata.
Paling akhir dari permasalahan kedirian ini yaitu saya masih bersyukur bahwa Tuhan berkenan memihak pada saya. Jika harus dibandingkan dengan orang lain ternyata saya diingatkan kembali bahwa masih banyak diluaran sana yang memiliki masalah yang besar dan berat melebihi saya. Bahkan pada akhirnya kita pun tak mampu membayangkan jika posisi mereka menimpa kita. Inilah yang disebut hukum Tuhan bahwa ujian akan disesuaikan dengan kemampuan hambanya. Dari semua ini saya masih akan terus berjuang mencari siapa saya sebenarnya, tanpa pernah merasa saya ini kurang, saya akan terus bersyukur merasa puas, merasa cukup, nriman. Hal itu sebagai modal mungkin saja sekedar menemukan bahwa ada diri lain yang belum saya temukan. Salah satu kunci terakhir yang harus saya miliki adalah kesabaran hanya melalui pintu sabarlah saya akan bisa menerima dan menghadapi masalah yang ada. Dengan kesabaran pula semoga Tuhan berkenan membukakan pintu kebenaranya. Sekarang bukan saatnya mengeluh. Saat ini saatnya berproses, fokus dan terus usaha tak kenal lelah bahwa ada hal yang lebih penting dari materi yaitu Allah swt sang Maha Cinta.
Komentar
Posting Komentar