Langsung ke konten utama

Dadi Kembar Mayang

Woks

Apa yang dipikirkan selalu saja terjadi. Sepanjang perjalanan pikiran selalu berkembang. Disanalah segala inspirasi dan angan-angan bersemayam. Apalagi mengingat masa kecil, aku ingin ini dan itu dan sebagainya. Hingga beberapa angan kecil itu aku alami di masa kini. Dulu aku sempat berangan-angan bisa mengenakan busana Jawa ala Raden Qosim alias Sunan Drajad. Atau sebagai salah satu punggawa dalam cerita kerajaan, lengkap dengan keris dan alis hitamnya. Nyatanya semua itu terjadi juga.

Oleh seorang teman aku didaulat menjadi salah satu kembar mayang. Sebenarnya sejak awal aku tidak paham apa itu kembar mayang, akhirnya setelah tanya kesana-kemari aku paham juga. Kembar mayang adalah tradisi membawa sepasang hiasan dekoratif simbolik yang tersusun atas janur kuning atau daun kelapa muda, pelepah pisang (gedebog) lengkap dengan hiasan bunga atau buah di atasnya. Jumlah kembar mayang tersebut harus dua, sebab orang dulu menamakan kembar mayang dengan sebutan Dewandaru dan Kalpataru. Dua nama itu merupakan simbol dari sepasang lelaki dan perempuan. Ada makna lain selain nama tersebut yaitu Prawan Sunthi dan Joko Kumolo.

Tata cara dan penggunaan kembar mayang ialah dengan di bawa oleh dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Mereka akan beriringan disesuaikan dengan pasanganya. Cara membawa kembar mayang bagi laki-laki adalah dengan diangkat di atas pundak, sedangkan perempuan di angkat tidak boleh sejajar dengan perut. Konon tata cara pengangkatan itu berkaitan dengan keperjakaan/keperawanan seorang pengantin. Selebihnya kembar mayang berarti simbol yang memberi pesan kepada kedua mempelai agar tetap menjaga keharmonisan rumah tangga sekalipun dalam keadaan diterpa masalah.

Orang Jawa memang sejak lama meyakini banyak simbol yang terkandung dalam tradisi apapun tak terkecuali kembar mayang. Seperti halnya janur yang asal katanya dari bahasa arab ja'a nuur, artinya datanglah cahaya. Warna kuning berasal dari bahasa arab qanaah artinya menerima. Tentu hal ini adalah harapan agar keluarga bisa mententramkan dan menerima segala kekurangan. Dua pasang pelepah pisang (gedebog) berarti berjalan beriringan walau dalam perbedaan. Keris yang asal katanya dari bahasa arab kharisun berarti saling menjaga. Janur yang dibentuk burung merpati berarti pengantin diusakan harus saling setia dalam keadaan apapun. Tentu masih banyak lagi makna yang terkandung dalam kembar mayang tersebut.  

Bagiku sendiri menjadi kembar mayang merupakan pengalaman yang menarik. Sehingga aku merasa bahwa orang Jawa harus melestarikan tradisi ini. Akan tetapi yang perlu diingat adalah tradisi tidak boleh menyalahi keyakinan dalam agama. Justru dari tradisilah yang mengantarkan untuk seseorang semakin mantap dengan keyakinannya. Orang yang menjadi kembar mayangpun pada akhirnya akan membawa harapan (terutama yang jomblo) untuk segera mengikuti jejak langkah dari pengantin yang diiringinya. Qobiltu.

Boyolangu, 16 Okt 2019



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde