Langsung ke konten utama

Kesadaran Tauhid di Tengah Covid-19

            (Sumber gambar Canva.com)

Woks

Melihat kondisi saat ini tentu masyarakat sedang dalam ujian yang cukup berat. Baik masyarakat kelas atas maupun kelas menengah ke bawah. Hal ini tentu disebabkan oleh dampak merebaknya Covid-19 yang masih hinggap di sekeliling kita. Secara psikologis masyarakat tentu diambang ketakutan, terutama masyarakat kelas bawah. Mereka pasti berpikir bagaimana bertahan hidup untuk beberapa hari ke depan. Orang-orang kaya mungkin bisa bertahan karena sumber dana masih mencukupi, lalu bagaimana mereka yang sampai hari ini kekurangan.

Kedatangan Covid-19 ini tentu tidak disangka-sangka, semua seolah-olah seperti ujug-ujug simsalabim ada di depan kita. Jika pun membayangkan hewan tupai yang akan hibernasi, tentu kesiapan mereka dalam mengumpulkan makanan sudah dalam pertimbangan yang matang. Sedangkan kita di sini seperti terkena kejutan yang untuk sekedar pasang kuda-kuda pun belum siap terutama soal ketahanan pangan. Masyarakat pun diminta untuk tetap di rumah. Darisanalah mudah ditebak bahwa akan banyak terjadi ketimpangan sosial di masyarakat yang sangat kentara. Usaha-usaha penunjang kebutuhan hidup berhenti beroperasi sejenak demi menanggulangi merebaknya virus ini. Padahal usaha tersebut merupakan roda ekonomi yang dapat membuat dapur mereka tetap ngebul.

Dalam masa yang tidak menentu ini tentu angan-angan kosong hinggap dibeberapa pemikiran masyarakat. Seperti halnya pedagang kecil yang bertahan di tengah himpitan persaingan dan teknologi. Hidup serasa harus menerapkan laku prihatin karena semua terasa sulit terutama karena pemberlakuan sosial distancing, stay home dan karantina wilayah. Mereka seolah-oleh diingatkan dengan peristiwa Krismon (krisis moneter) pada kurun waktu 97-98 walau berbeda kasusnya dengan sekarang. Akan tetapi kondisinya tak jauh berbeda, pada masa itu nilai tukar rupiah anjlok, kelangkaan terjadi, segala macam kebutuhan pokok mahal dan tak kalah pedihnya banyak pengaguran baru yang di PHK besar-besaran oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

Jika kondisi yang serba sulit ini terus berkepanjangan maka longsoran ekonomi merupakan fenomena yang sangat mungkin terjadi. Sehingga masyarakat dibeberapa wilayah bisa saja memberontak, menentukan sikapnya sendiri terutama soal mencari nafkah. Mungkinkah stratifikasi sosial yang terjadi membuat seseorang berpikir untuk membuat masyarakat tanpa kelas seperti yang diidamkan Karl Marx. Sosialisme yang mengikis praktek kapitalisme modern tentu masih terus digaungkan. Apalagi situasi seperti ini masih saja ada oknum yang ingin memperkaya dirinya sendiri. Marx hanya ingin mengangkat derajat kaum proletar dengan menghadirkan konsep egaliter di tengah gempuran kapitalisme yang mencekik rakyat. Pada saat ini mengingat Marx seperti angin segar yang akan mengubur cita-cita mengakarnya kapitalisme.

Persoalan finansial dan wabah yang melanda seharusnya memang perlu kesadaran untuk saling membantu antar satu sama lainya. Saling jaga, saling menguatkan dan menjalankan laku altruistik memungkinkan seseorang akan bertahan walau dalam permasalahan. Akan tetapi permasalahnya adalah karena belum meratanya tingkat kemampuan hidup dalam masyarakat kita yang mayoritas dihuni oleh rakyat kecil. Sebelum Marx tampil dengan konsep sosialisme yang ingin mengikis kelas-kelas sosial sekitar 1200 tahun yang lalu Islam telah mengajarkan konsep itu. Menurut Mohammad Ikhwanuddin, Abu Dzar lah yang mempelopori gerakan itu pada era Nabi Muhammad. Dalam ajaran Islam, derajat seseorang tidak diukur berdasarkan tingginya stratifikasi sosial di masyarakatnya. Akan tetapi, barometernya adalah keimanan seseorang dihadapan Tuhannya.

Dalam hal krisis ekonomi seperti sekarang ini yang mana dunia sedang tenggelam oleh mewabahnya virus Covid-19. Masyarakat tentu dihimbau agar tetap tenang dan berpikir positif, setiap musibah pasti mengandung hikmah. Tidak juga memperturutkan ego untuk kepentingan pribadi. Pada kondisi yang menekan sekalipun Islam sesungguhnya telah mengajarkan untuk tetap berkesadaran religius yang disandarkan kepada ajaran tauhid. Ajaran tauhid mengajak agar masyarakat tetap ikhtiyar tanpa mencopot atribut keyakinannya kepada sang maha pemberi hidup, sehingga persoalan menggadaikan akidah tidak terjadi, termasuk memperdebatkan bahwa kematian itu di tangan Tuhan atau karena Covid-19. Berbeda dengan kesadaran yang hanya disandarkan pada pemahaman ilmiah sosio ekonomis yang digagas Marx. Pemahaman ini bisa berbahaya, sebab akan menghalalkan segala cara walaupun niatnya untuk kebaikan. 

Dulu saat Sunan Kalijaga belum memeluk Islam melalui tangan halus Sunan Bonang, ia menjadi bramacorah (residivis) dengan nama samaran Brandal Lokajaya. Tugasnya adalah mencuri barang-barang milik orang-orang kaya termasuk milik ayahnya sendiri Tumenggung Wilwatikta untuk dibagikan kepada rakyat miskin. Praktek ala Robin Hood ini sesungguhnya telah menyalahi aturan sehingga masih ada yang lebih ideal dari itu. Maka niat mulia harus disertai usaha yang mulia juga. Lantas dalam cerita selanjutnya Sunan Bonang mengajari Sunan Kalijaga dengan (skill) berdagang, bercocok tanam dan berkesenian. Poin kesenian itulah menjadi sarana hiburan, tontonan dan tuntunan yang dipakai Sunan Kalijaga dalam dakwahnya.

Kesadaran tauhid mengajari manusia untuk tidak sekedar mampu mempersepsi tapi menghadirkan Allah swt dalam setiap kehidupan. Hal itu juga harus tercermin dalam sikap dan perbuatan. Salah satunya dengan melahirkan kepasrahan yang mendalam kepada Allah swt, bahwa hal sekecil apapun dalam kehidupan ini telah tergariskan oleh kehendakNya. Hingga beberapa hari ke depan kita hanya bisa melihat peluang di tengah tantangan ini. Termasuk juga berserah diri sebagai mahluk lemah kepada Tuhanya setelah serangkaian usaha dilakukan dengan baik. Kepasrahan itulah merupakan cara bahwa manusia tidak memiliki kekuatan apapun dihadapan Tuhannya. Semoga saja badai segera berlalu, banjir segera surut dan tumbuhlah pelangi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde