Langsung ke konten utama

Wong Edan Kui Bebas

Woks


Spiritualitas Berkarya ala Wong Edan


Terminologi gila kembali mencuat seiring dengan masifnya aplikasi yang hadir dalam ruang lingkup kita. Aplikasi itu menyuguhkan beragam kesenangan terutama soal mencipta eksistensi baik di dunia maya maupun dunia nyata. Kadang orang mudah lupa daratan bahwa ada ruang privat yang seharusnya mereka jaga. Ruang-ruang privat bagi orang-orang kekinian berdampak menjadi eksibisionis. Tapi karena pengaruh lingkungan dan teknologi semua mengharuskan mengikuti arus zaman.

Ranah psikologi merupakan ranah yang merespon fenomena ini. Di mana orang sangat mudah menganggap gila terhadap sesama saudaranya. Alasanya biasanya dari hal yang sederhana mulai dari mengejek, mendefinisikan hingga perundungan. Cuma karena senyum atau tertawa sendiri orang dengan mudah menunjuk "kamu gila". Pembicaraan karena ketiadaan objek membuat kata gila mudah tertuju pada seseorang. Lalu bagaimana kriterita waras yang sesungguhnya?

Fenomena orang gila baru memang telah lama berkembang. Salah satunya karena berpikir melampaui zamanya. Para ilmuan salah satu kelompok yang sering dianggap gila. Sebut saja Galileo Galilei yang mengatakan bahwa bumi itu bulat sedangkan agama dan politik yang berkuasa saat itu menganggap bahwa bumi itu datar. Dan akhirnya Galileo pun berakhir di tiang pancung. Ia mati tewas di tangan algojo gereja, tapi baginya mempertahankan idealisme dalam diri merupakan kebahagiaan walaupun harus bertaruh nyawa. Tokoh sufi seperti  Abu Yazid al Bustami dan Ibnu Arabi' sering sekali pikiranya disalah artikan. Al Jilli dan Abu Husein Mansur al Hallaj termasuk salah satu orang yang mati di bawah panji penghakiman. Mereka dianggap gila karena pandangnya mengenai hulul, ittihad, dan wahdatul wujud tidak bisa diterima masyarakat. Termasuk juga Syeikh Suhrawardi yang karena mempertahankan argumennya begitu kuat ia dijuluki al maqtul yang berarti (yang dibunuh).

Sebenarnya dalam buku ini merespon bagaimana seharusnya menganggap orang lain dengan perspektif yang lebih jernih. Terutama dalam term tasawuf ada orang-orang yang disebut jadhab-majdhub. Mereka orang-orang yang mudah sekali dianggap gila. Tapi secara rasionalitas orang-orang pada umumnya belum bisa menerima sekaligus belum mampu berpikir sampai sedalam itu. Frekuensi memang sangat menentukan, termasuk memahami ideologi yang kadangkala jumping. Rerata orang sufi memang sulit dipahami orang awwam, seperti halnya dewan wali yang mengeksekusi Syeikh Siti Jenar. Karena bagi para wali ajaran tersebut bisa berbahaya. Ilmu hakikat sesungguhnya harus berkorelasi dengan ilmu syariat tentu agar tidak disalah artikan.

Wong edan kui bebas merupakan kata dari bahasa Jawa yang berarti "orang gila itu bebas". Kebebasan di sini mengandung arti bahwa pikiran tidak bisa diintervensi oleh apapun. Ia harus orisinil berdasar pikiran manusia itu sendiri. Sehingga pikiran tak keruh karena ideologi yang telah mengobrak-abrik cara berpikir kaku. Kehidupan yang dibangun wong edan seharusnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ranah berpikir misalnya seseorang boleh memikirkan apa saja atau apa saja dipikirkan. Sehingga orientasi berpikir menjadi seperti triangulasi yang terdiri dari mencipta konsep, kebijakan dan praktis. Ia akan menjadi pikiran yang terus bermetabolisme kreatif. Sebab pikiranya tidak dibatasi dan bebas berfilsafat di manapun tanpa perlu khawatir dianggap gila.

Simbol-simbol kebebasan berpikir memang perlu dirayakan. Karena tidak ada alasan untuk menghakimi karya sebagai sebuah produk berpikir. Sehingga orang akan terbungkam secara alamiah bahwa kegilaan yang melahirkan karya merupakan barang mahal dibanding dengan hanya nyinyir. Hal ini juga sekaligus mengkritik praktek indoktrinasi pada sebuah kelompok yang tidak menghargai bahwa pendapat itu Egaliter. Sehingga praktek-praktek saling menyalahkan, menuduh sesat bahkan mengkafirkan begitu murah terlontar. Ruang-ruang terbuka seperti tak memiliki sekat untuk berpikir jernih seolah-olah sikap waras telah berakhir.

Rivalitas dan sebuah karya

Selama ini tradisi saling mengkritik tidak dimaknai secara ilmiah. Peran-peran emosional dan saling menjatuhkan lebih sering hadir dalam meja diskusi publik. Sehingga iklim ilmiah tidak pernah dipandang sebagai sebuah metodologi. Cara-cara berdebat yang elegan pun belum dimaknai secara jernih, sehingga alur berpikir tak menemui hasil akhir. 

Para ulama baik kalangan sufi atau ulama fikih selalu menampilkan uswah yang baik sekalipun mereka tidak bisa disebut sebagai rival contoh saja Imam Ghazali saat mengkritik Ibnu Rusyd. Imam Ghazali mengkritik lewat karya Tahafut al Falasifah (Keruntuhan Filsafat) dan Ibnu Rusyd lewat karya Tahafut at Tahafut (Keruntuhan kitab Tahafut), dua karya inilah di pandang sebagai produk kritik yang seimbang. Berbeda dengan saat ini cara memberlakukan perbedaan malah dengan emosi, persekusi, bahkan mengancam dengan kekuatan people power.

Selanjutnya term wong edan yaitu berkarya sebagai sebuah jalan kesunyian. Karya tersebut dipandang menjadi sebuah artefak peradaban sepeninggalan mereka. Entah itu karya yang bersifat ilmiah, psedosains atau yang terlahir dari tradisi intuitif. Rerata orang-orang yang telah bersih hatinya akan mudah dibuka (futuh) oleh Allah swt untuk mendapat ilham berupa pengetahuan. Kejadian dari dorongan spiritual itu tidak bisa dianggap remeh. Sama halnya jalan menuju Tuhan itu sebanyak buih di lautan, percis seperti kegilaan menuju Tuhanya (thariq majnur rabbani). Tidak aneh jika kegilaan pernah dicatat sekitar 1000 tahun yang lalu dalam kitab Uqala' al Majanin karangan Abu al Qasim an- Naisaburi. Sampai di sini mengapa kita tidak berani berpikir out of the box, mencipta karya dan perubahan tanpa pernah takut dihakimi.

Terakhir, dalam narasi panjang yang didominasi tulisan bercorak tasawuf ini, pembaca akan disayangkan sekali karena tidak akan menemui lagu Wong Edan Kui Bebas yang dipopulerkan oleh Nella Kharisma. Atau mari menyanyi saja,
Ora usah mikir uripku
Ojo susah mikir dalanku
Mergo dalan uripku iki
Dudu urusanmu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde