Langsung ke konten utama

Melawan Pikiran Sendiri


            (Sumber gambar Canva.com)

Woks

Kehidupan memanglah penuh misteri termasuk takdir Tuhan yang manusia sendiri tak bisa menebaknya. Separuh dari perjalanan manusia ke dunia tentu akan melewati banyak fase. Di sana mereka akan melalui serangkaian cobaan guna menjadikan mereka manusia sejati. Semua orang tanpa memandang status atau apapun itu, semua akan mendapat ujianya masing-masing. Ujian tersebut disesuaikan dengan kemampuanya masing-masing individu.

Salah satu hal yang membuat manusia merasa sumpek dalam hidupnya adalah karena ketidakmampuannya dalam menerjemahkan ujian. Rerata orang memang tidak suka ujian terutama ujian cobaan yang menyengsarakanya. Padahal manis pahit kehidupan tak lain sama-sama ujian. Semua tergantung sudut pandang apa yang digunakan.

Kemampuan yang tidak kuasa akan ujian kadangkala dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya karena pikiran. Pengaruh pikiran sebenarnya merupakan respon dari melihat lingkungan, merasa, dan mengalami. Darisanalah pikiran akan bekerja menerjemahkan apa yang ia dapatkan. Karena bercampuraduknya informasi yang diterima pikiran, maka secara tidak langsung sistem sensorik dalam pikiran akan memilah mana yang diri akan teruskan. Darisanalah benang kusut terjadi sehingga respon orang yang belum mampu mengendalikan pikiran akan bervariasi. Secara tubuh sangat mungkin bisa jadi pemarah, menangis, bingung, gagap, menyendiri, depresi dan lainya. Secara mentalitas seseorang akan cenderung lemah, semua berakhir atau bahkan bunuh diri. Padahal kehidupan itu adil yaitu masih menyediakan banyak kunci untuk melewati setiap pintu-pintu masalah.

Pepatah mengatakan bahwa sumber masalah adalah pikiranmu sendiri. Maka tak aneh jika kamu harus membunuh dirimu sendiri. Dalam kata lain adalah kamu dalam pikiran yang membenamkanmu seperti ketakutan, canggung, malu, malas, tempramental, gugat hingga mudah menyalahkan. Kondisi inilah yang seharusnya dikontrol oleh hati yang jernih. Agar semua emosi negatif tidak menjalar kepada tingkah laku yang menjadikan dirimu paranoid. Kamu akan kehilangan kepercayaan terhadap dirimu sendiri. Sehingga dari itu layakanya berkaca bahwa hidup ini mahal harganya. Jangan sia-siakan kehidupan pemberian Tuhan ini.

Salah satu hal yang dapat menghadapi kondisi itu adalah dengan berpikir positif. Semua hal yang belum atau akan dilewati selayaknya jangan terlalu dipikir secara dalam, cukup enjoy saja dan lakukan serangkaian rekayasa. Kita perlu merubah mindset menjadi lebih dinamis seperti optimis, maju, abaikan sesuatu yang melemahkan, mau mencoba dan belajar, hilangkan kecemasan dan hindari melamun.

Pikiran manusia memang memiliki dualitas yaitu menghidupkan atau membunuh. Yang paling mengerikan adalah membunuh. Ia seperti pisau belati yang beracun tak terasa telah membuat kita menyerah. Maka dari itu layaknya sejak dini kita perlu mengelola pikiran sebagai anugerah Tuhan sebagai modal menjawab tantangan dengan serangkaian peluang-peluang. Hidup ini singkat dan hidup ini milikmu, bukan milik orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde