Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Ratu Adil Antara Fakta dan Mitos

        (Sumber gambar: Bung F ei.com ) Woks Suasana hangat pemilu sudah terasa diberbagai daerah salah satunya pemilihan Bupati dan Walikota. Di tengah pandemi masyarakat akan disuguhi pesta demokrasi yang lagi-lagi berhadapan dengan realitas semu dan harapan. Harapan masyarakat di manapun pasti sama yaitu memiliki pemimpin yang amanah dan merakyat. Tapi semua harapan masyarakat selama ini hanya sebagai jurus kampanye yang manis di kata-kata namun realitasnnya nihil. Tapi apakah keyakinan masyarakat akan pemimpin yang mengayomi, jujur, adil itu masih ada? Mari kita saksikan bersama dari pejabat tingkat paling rendah hingga kelas atas masih kita dapati kasus-kasus yang menjerat mereka terutama permainan elit, menyalahgunaan wewenang, suap dan korupsi. Kasus-kasus yang menjerat para pejabat itu seolah-olah menjadi informasi harian yang diterima masyarakat. Sehingga kejujuran dan amanah seolah telah enyah di negeri ini. Para pemimpin dengan nama besar pun tak luput dari jer

Suro sebagai Miqat Kearifan Masyarakat Jawa

   ( Sumber foto: Roziq Sumbergempol-TA ) Woks Bulan Muharam dalam penanggalan Jawa dikenal dengan bulan Suro diambil dari kata "Asyura" atau hari ke sepuluh. Bulan yang setiap tahunnya menjadi istimewa di berbagai kalangan baik suku dan agama tak terkecuali bagi orang Jawa. Saat masuk di bulan Suro orang-orang mulai menganggap bulan ini penuh mistis dan bertuah. Sehingga tidak aneh jika bulan ini begitu ramai dari berbagai aktivitas seperti tradisi, budaya dan kearifan lokal. Bulan yang ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo sebagai awal dari penanggalan Jawa tersebut hingga kini masih diyakini masyarakat sebagai bulan yang sakral. Jika kita berkeliling pulau Jawa tentu akan kita temui berbagai tradisi yang berkembang di antaranya; tradisi kirab Kebo Kyai Slamet di Solo, Mubeng Benteng di Jogjakarta, Jamasan Tombak Kyai Upas di Tulungagung, Jamasan Pusaka Gong Kyai Pradah di Blitar, Ritual di Patilasan Sri Aji Joyoboyo Kediri, Sapi-sapian di Banyuwangi serta

Nyufi dan Etika Menulis

Woks Buku berjudul " Humor, Perempuan dan Sufi " karya Prof Mujiburahman ini adalah hadiah yang diberikan kawan saya, Mas Fauzi Ridwan as Salakembangy. Buku tersebut awalnya adalah pesanan, akhirnya saat saya silaturahmi ke rumah beliau lantas buku tersebut tidak diperkenankan dibayar dengan uang tapi dengan pertemuan. Kata beliau berjuampaan ini tidak lebih baik ketimbang meninggalkan doa keberkahan. Mungkin itulah etika orang Jawa jika kedatangan tamu maka akan bersyukur dan senang. Dan bagi saya secara pribadi buku adalah kado terindah. Karena kado maka saya akan membagikan isinya untuk pembaca semuanya. Bagi penulis, mencatat resensi buku merupakan keharusan walaupun ulasan tersebut tidak selalu mencerminkan isi seluruh kepala penulisnya. Akan tetapi setidaknya ini adalah tanggungjawab moril akademik guna menjelaskan semuanya. Dengan menulis setidaknya kita satu langkah lebih dekat dengan pemikiran penulisnya. Pertama, buku karya Prof Mujib ini menarik dari ju

Obituari: Nini Wasti yang Bersahaja

.. Woks Saya langsung terisak saat dikabari bapak via telpon bahwa Nini (nenek) Wasti meninggal. Nini atau dalam bahasa kami Mbok tua merupakan panggilan sehari-hari untuk nenek atau buyut. Ya, beliau adalah Nini Wasti salah satu nenek tetangga saya. Walaupun beliau bukan nenek ideologis akan tetapi beliau sudah saya anggap seperti nenek sendiri. Entah seperti apa rasanya saat kabar itu hinggap di telinga. Rasanya begitu pengap di dada, sesak dan lesu, sebab kata Bapak beliau pulang tanpa ada yang tau tepat di hari jum'at. Padahal sebelumnya beliau memang sudah sering sakit-sakitan. Tapi apa mau dikata ini bagian dari takdir beliau, tutur cucunya Pak Dul Wahid. Banyak kenangan yang telah saya lewati bersama beliau semasa hidup. Terutama saat di mana saya masih berjuang di tanah rantau. Tempat nun jauh itu membuat saya hanya bertemu beliau sesekali saja saat pulang di hari raya. Lebih lagi tahun ini masih ada pandemi sehingga saya belum bisa pulang dan bertemu beliau. Sa

Memaknai Hijrah dari Film Tilik

Woks Film Tilik diproduksi sejak 2018, tapi akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Salah satunya karena isi dari cerita yang erat di masyarakat yaitu tentang ghibah, gosip atau desas-desus. Bahkan Mbak Admin Ning Ienas dan Lurah Pondok Gus UAA pun tak luput memberi komentar atas film yang menarik ini. Film hasil garapan sutradara Wahyu Agung Prasetyo, Ravacana Film, kerjasama Dinas Kebudayaan DIY ini memang menyedot perhatian publik. Selain ceritanya renyah para pemerannya pun dianggap sukses dalam membawa karakternya masing-masing. Bagi yang sudah menonton tentu tidak asing dengan Bu Tedjo, seorang ibu yang katannya selalu berapi-api dalam membicarakan Dian (si kembang desa yang belum menikah). Bu Tedjo menjadi pusat perhatian karena perannya sesuai dengan keadaan di masyarakat kita. Ia menjadi ikon ibu-ibu dengan aktivitas rasan-rasan nya. Akan tetapi tanpa menutupi keadaan, laki-laki pun tak ada bedannya. Selain Bu Tedjo ada juga Yu Ning yang tak kal

Warkop Sido Marem: Menjajakan Kopi Menampilkan Seni

.. Woks Setelah sekian lama vakum diterpa Corona Angkringan Kopiah Ireng yang beralamat di Jl. Panglima Sudirman gg 7 no. 80 Kepatihan-Tulungagung, kini hidup kembali dan bertransformasi menjadi Warkop Sido Marem. Dengan kepemilikan yang berbeda dan anggota yang sama warkop ini membawa angin segar berupa konsep baru. Konsep tersebut yaitu didesain seperti kafe ala anak-anak muda lengkap dengan alat musiknya seperti gitar akustik, kajon dan organ. Sisi menarik di warkop ini yaitu hiasan dindingnya yang menampilkan serangkaian hasil jepret foto dari fotografer profesional. Foto-foto tersebut terpampang di dinding laiknya sebuah galeri pada acara pameran. Para pelanggan akan dibawa ke suasana yang nyaman sekaligus diajak ke masa silam dengan suasana desa nan sederhana. Bagi anda para Selebgram tentu berswa foto di malam hari tebih terlihat ekspresif. Selain itu di sana akan kita jumpai satu spot ruangan khusus Tapol alias tahanan politik. Ruang tersebut sengaja dihadirkan dala

Malam Tirakatan di Pesantren Al Azhaar Tulungagung

Woks Gema shalawat dan dzikir mengiringi kami sejak bada magrib. Alunan nada-nada penuh semangat juga tak kalah mengalun merdu. Seolah-olah darah juang masih terasa dari tiap desahan nafas. Ia mengalir menitis ke setiap jamaah yang hadir. Sambil menyerukan "merdeka" ke atas langit dengan lantang menghangatkan suasana malam itu. KH Imam Mawardi pengasuh Pesantren Al Azhaar Tulungagung membuka kegiatan malam tirakan dengan ucapan rasa syukur atas segala nikmat yang besar berupa kemerdekaan. Beliau bercerita panjang lebar tentang semangat heroik yang ditujukan beberapa orang melalui jalannya masing-masing seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Din, Jendral Soedirman, Bung Tomo, dan banyak lagi melalui medan perang. HOS Cokroaminoto, Abdul Muis, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Ki Hadjar Dewantara melalui mendidik. Ir Soekarno, Bung Hatta, KH Agus Salim, Sutan Sjahrir melalui meja diplomasi dan masih banyak lagi. Perjuangan mereka sampai

Obituari Kang Yance: Bupatine Sapa

Woks Berita meninggalnya mantan Bupati Indramayu periode 2000-2010 Dr H Irianto MS Syafiuddin, S.E., M.M bermunculan di beranda Facebook maupun story WA. Secara pribadi saat mendengar berita duka hati saya langsung rapuh. Fenomena terpisahnya ruh dari jasad tersebut selalu membuat saya menangis sekalipun ia seorang penguasa yang dulu pernah punya track record merah selama memimpin. Terlepas dengan apa yang pernah diperbuat oleh almarhum Kang Yance selama hidupnya, toh beliau pernah menjadi pemimpin kita selama dua periode. Bahkan beliau juga sempat menjadi calon Gubernur Jabar pada pesta demokrasi tahun 2013 bersama Tatang Farhanul Hakim. Kenangan saya bertemu beliau yaitu dua kali saat ada reses atau kunjungan kerja di daerah Balir Gantar. Di sana beliau memberi sambutan menggelegar khas Jawa wong dewek pada sebuah panggung hajatan. Kedua, saat saya bersama rombongan naik motor untuk mendapat santunan. Di sana kita mendapat santunan berupa uang dan sembako dan beliau langs

Salaman dengan Kyai Said

           (Sumber foto: JunaidMahbub) Woks Sejak kecil, saat bapaknya masih ada Ujang selalu didendangkan lagu tombo ati. Syair karya Sunan Kalijaga itu membuatnya terpesona. Apalagi sampai bait nomor tiga yaitu "wong kang sholeh kumpulana", berkumpulah dengan orang-orang sholeh. Sejak saat itulah hasratnya untuk mencintai orang sholeh begitu dalam. Sehingga ia tidak mau berkumpul dengan orang-orang salah. Ibunya paham betul bahwa keinginan anaknya untuk bersekolah sangatlah kuat. Selain demi cita-cita, ia juga selalu berkeinginan untuk berdeda dengan teman-teman lainya. Ujang hanya bisa pasrah saat ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Sebab biaya tak mampu menjawab keinginanya, akhirnya ia mondok di dekat rumahnya. Pengajian dari ilmu fiqih, gramatikal arab, hingga adab selalu menjadi rutinitasnya. Sungguh beruntung walau ia tidak seperti anak beruntung lainya. Tapi ia begitu menikmati pengajaran yang ada di pondok, hidup sederhana, laku sabar, banyak tirakat dan

Jum'at Berkah Kegiatan Pengikis Sifat Kikir Pada Anak

                     (Foto doc: penulis) Woko Utoro* Dulu di zaman Nabi Muhammad saw nama-nama hari diberikan sekarep dewe oleh orang Arab Jahiliyah. Sehingga saat Islam datang nama hari tersebut diubah salah satunya arubah artinya sebuah momen untuk menampilkan kekayaan, kepongahan, kebanggan bersolek dan lainnya lalu diganti menjadi jum'at (jumuah) yang berarti berkumpul. Saat Islam datang hari jum'at tersebut bergelar sayyidul ayyam atau rajanya hari. Imam Syafi'i dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Saad bin Ubadah sebuah hadits bersabda:                       ...سيدالايام عندالله يوم  الجمعه "Rajannya hari di sisi Allah adalah hari jum'at..." Berdasarkan hadits tersebutlah SDI Al Azhaar Tulungagung mencoba untuk mengisi hari jum'at dengan sebaik-baiknya. Tanpa menampikan hari lainnya, sekolah bernafas Islam ini mengambil inspirasi bahwa hari jum'at bisa menjadi satu hari di mana kita bisa menanamkan budi baik pada anak-anak salah satunny

Pramuka dan Tantangannya

            (sumber gambar canva.com) Woks Jika orang-orang tau bahwa Pramuka adalah peluit, bendera, tali, belati, bermain, bernyanyi atau tepuk-tepuk berarti pengetahuanya masih perlu dikembangkan. Termasuk jika menyamakan Pramuka dengan si Bolang berarti ia perlu merevisi pengetahuannya. Lantas apakah semua jawaban itu salah? tidak juga, melainkan perlu pemahaman yang universal. Persepsi itu hampir semua benar karena jika kita tinjau akar historis Pramuka, kepanduan (scout) memang terlahir dari inspirasi Sir Robert Baden Powell of Gilwell saat ia menjelajah hutan Afrika dan bertemu suku Zulu. Kini Pramuka telah berbeda mungkin orang hanya tau seperti itu-itu saja padahal lebih dari itu. Kita tentu tahu kepanduan ini telah berkembang sejak lama 1923 era penjajahan Belanda dan lahir secara formil pada 14 Agustus 1961 sebagai pengawal, garda terdepan, mengisi kemerdekaan yang susah payah diraih. Para pendirinya seperti Soenarjo Atmodipuro, KH Agus Salim, Sri Sultan Hamengku

Tentang Sebuah Mimpi

Woks Setiap orang pasti pernah mengalami mimpi saat tertidur. Terlepas dari benar atau tidaknya mimpi tersebut yang jelas kejadian itu nyatanya hanya di alami saat kita terlelap. Mimpi telah diketahui merupakan peristiwa alam bawah sadar yang melibatkan seluruh panca indera dan perasaan. Dalam dunia psikologi mimpi atau dream adalah rekayasa bawaan sejak beraktivitas di saat terjaga. Sigmund Freud dalam bukunya The Interpretation of Dreams, menulis bahwa mimpi adalah “... pemenuhan keinginan yang terpendam". Dalam kata lain mimpi adalah manifestasi menuju alam bawah sadar, ia adalah emosi, keinginan, dorongan yang bersifat bebas. Tentu jika dalam tradisi agama pengertian mimpi berbeda lagi bahkan orang menyebutkan sebagian dari ilham. Islam memandang mimpi tidak hanya sekedar fenomena adhghaatsu ahlaam atau bunga tidur melainkan bisa sebagai pengetahuan atau petunjuk. Maka dari itu kita kenal dua kutub tentang mimpi ru'yah shadiqah (mimpi yang benar) dan ru'yah

Sajak-sajak Kecil

Woks Tak ada yang lebih resah daripada pedagang yang menunggu pelanggannya Tak ada yang lebih gundah dari orang tua yang mencari anaknya Tak ada yang lebih tabah dari tukang becak yang menunggu penumpangnya Tak ada yang lebih pasrah dari petani yang melihat hama menyerang padinya Tak ada yang lebih lelah dari para pencari ilmu, berjuang melawan kemalasanya Tak ada yang lebih susah dari istri yang ditinggal mati suaminya Tak ada yang lebih payah dari pemuda malas yang rebahan sepanjang hari Tak ada yang lebih marah dari anak kecil yang selalu ditipu orang tuannya Tak ada yang lebih gelisah dari pemuda dengan masa depannya Semua memang tak ada yang sempurna Semua tak lain karena rasa /./ Jika kau terjatuh biarlah aku jadi tandu memeluk tubuhmu tak akan kubiarkan tanah menyentuh kulitmu Jika aku sakit izinkanlah kau jadi ambulan supaya sirinemu membunyikan hatiku // Semilir angin malam berbisik ada hati yang tertinggal ada rindu yang menyeruak /./ Tetaplah berdiri walau tanah

Warung Jagattri Tulungagung

Woks Mayoritas orang-orang di Kota Marmer mungkin belum tahu tentang warung Jagattri. Warung yang diinisiasi oleh Heru Sukoco alias Koko dan Pak Endra ini sebenarnya banyak mengandung keunikan. Warung tersebut beralamatkan di Jln I Gusti Ngurah Rai No 68 atau utara Orari atau depan kantor UPTD Pendidikan Pemuda dan Olahraga kecamatan Tulungagung. Warung sederhana yang tidak memiliki papan nama tersebut diberi nama "Jagattri". Menurut Mas Koko nama Jagattri diberikan oleh temannya yang seorang terapis rokok asal Semarang. Jagattri berasal dari dua kata "jagat" berarti dunia dan "tri" berarti tiga. Arti lengkapnya yaitu sebuah konsep yang memadukan, menyelaraskan dan menyeimbangkan antara Tuhan, manusia, dan alam. Maka tak heran jika warung tersebut menyediakan wedang rempah sebagai sajian utamanya, kopi sebagai sajian  pada umumnya dan rokok (tembakau) sebagai pelengkapnya. Menurutnya wedang rempah adalah konsep kembali ke alam, sedangkan tembak

Mental Mie Instan dan Simalakama Keribetan

Woks Manusia sebagai mahluk yang kompleks secara psikologis tidak menyukai hal-hal yang ribet. Tapi permasalahan kini hanya terjadi pada manusia modern. Karena dipengaruhi oleh kecanggihan zaman maka pandangan mereka terhadap dunia harus instan. Berbeda dengan orang-orang dulu yang mana keribetan dalam hidup telah menjadi konsumsi sehari-hari. Salah satunya karena zaman dulu dunia memang belum secepat saat ini, dunia belum mengenal teknologi canggih penunjang kehidupan. Dulu orang ingin mengaji harus menempuh perjalanan panjang nan melelahkan. Lampu belum masuk desa sedangkan jalanan malam gelap pekat harus mereka susuri dengan obor, akan tetapi semangat untuk mengaji begitu besar. Saat ini penerangan masuk desa bahkan hampir setiap sudut tak ada yang gelap dan kendaraan ke mana saja mudah diakses tapi kita malah kehilangan semangat belajarnya. Dulu orang ingin mendengar kabar saudaranya dari luar kota harus rela berkirim surat bahkan tak jarang surat belum juga terbalaskan

Utopia Pencerahan dari Plosokandang

           (Sumber gambar : doc penulis) Woks Dalam angan kecil saya tulisan sederhana ini tidak memiliki maksud apapun selain menjadi sebuah rumah untuk merawat imajinasi, merawat kata mengurai kalimat, tentu juga tidak sedang dalam keadaan sakit. Saya hanya membayangkan bahwa beberapa tahun kedepan almamater yang akan saya tinggalkan ini akan banyak melahirkan orang-orang besar, pemikir cerdas atau segenap cita-cita luhur lainya yang ingin diwujudkan. Yang pastinya berkontribusi dalam dakwah dan peradaban. Ya, IAIN Tulungagung adalah salah satu yang menjadi tempat berdialektika, memunculkan inspirasi, mengasah diri atau mungkin sekedar menjadi tempat persinggahan dalam menemukan calon istri (S-3). Dan hal yang terakhir ini tidak bisa dibendung lagi. Bahkan, dapat membius pikiran para kaum muda. Karena cinta, (maaf) tai kucing pun bisa rasa coklat. Jangan bicara cinta di sini. Mungkin lain waktu kita akan berjumpa dalam pembahasan yang membutuhkan imajinasi puitis itu. Kin

Tradisi Liwetan dan Ngaji Kliwonan

Tradisi liwetan yang diambil dari kata liwet sudah dikenal sejak lama. Liwetan atau kata orang Sunda ngaliweut berasal dari olahan nasi yang dimasak dengan cara mencampurkan beras, air serta bumbu (minyak, garam, beberapa rempah/bumbu dapur) pada sebuah wadah biasanya panci, kastrol atau dandang. Setelah nasi tersebut masak biasanya airnya sudah beresap lalu nasi tersebut dinamakan nasi liwet. Konon tradisi liwetan sudah berkembang sekitar 200 tahun yang lalu, bahkan menurut ahli sejarah liwetan termaktub dalam Serat Centhini di mana dulu tradisi makan bersama tersebut menjadi jamuan utama tamu untuk para raja dan punggawannya. Liwetan memang selalu identik dengan makan bersama dalam satu wadah/nampan, kita bisa menyebutnya talaman, kembul, atau botram, papahare (Sunda). Kali ini tradisi tersebut masih berkembang dibeberapa daerah tentu penyebutanyapun berbeda. Bahkan liwetan menjadi trend saat memasuki bulan ramadhan atau peringatan hari-hari besar serta acara syukuran. Di

PAC : Merawat Anak Merawat Masa Depan

            (sumber gambar : Canva.com) Pasar Senggol yang terkenal itu tak mungkin saya ketahui jika dulu tak mampir ke sanggar kepenulisan Pena Ananda Club (PAC) yang beralamatkan di Desa Bangoan Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung. Sanggar tersebut adalah pelabuhan saya dalam mengarungi dunia literasi hingga akhirnya jatuh hati dengan kuliner yang ada di pasar Senggol. Hampir setiap minggu pagi saya membeli cenil, gethuk, punten, sompil serta jajanan tradisional lainya hingga akhirnya tertarik dengan keseruan program literasi yang ada di PAC. Sekarang dunia telah berubah cepat dan saya pun jarang sekali ke sana alasanya sederhana kini telah ditelan kesibukan. PAC saya kenal dari seorang teman yang kebetulan satu genre pecinta literasi. Sekitar tahun 2017 tepatnya bulan Oktober saya berproses di PAC terutama saat turut menyukseskan acara FBM II. Acara dua tahunan tersebut telah membawa saya mengerti banyak hal terutama dunia literasi. Bunda Tjut Zakiya Anshari (Fou