Langsung ke konten utama

Memaknai Hijrah dari Film Tilik


Woks

Film Tilik diproduksi sejak 2018, tapi akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Salah satunya karena isi dari cerita yang erat di masyarakat yaitu tentang ghibah, gosip atau desas-desus. Bahkan Mbak Admin Ning Ienas dan Lurah Pondok Gus UAA pun tak luput memberi komentar atas film yang menarik ini.

Film hasil garapan sutradara Wahyu Agung Prasetyo, Ravacana Film, kerjasama Dinas Kebudayaan DIY ini memang menyedot perhatian publik. Selain ceritanya renyah para pemerannya pun dianggap sukses dalam membawa karakternya masing-masing. Bagi yang sudah menonton tentu tidak asing dengan Bu Tedjo, seorang ibu yang katannya selalu berapi-api dalam membicarakan Dian (si kembang desa yang belum menikah). Bu Tedjo menjadi pusat perhatian karena perannya sesuai dengan keadaan di masyarakat kita. Ia menjadi ikon ibu-ibu dengan aktivitas rasan-rasan nya. Akan tetapi tanpa menutupi keadaan, laki-laki pun tak ada bedannya.

Selain Bu Tedjo ada juga Yu Ning yang tak kalah membela bahwa sesuatu hal yang belum ada buktinya tidak bisa didiagnosa sebagai kebenaran. Tapi inilah dunia seburuk apapun Bu Tedjo pasti ada saja pengikutnya seperti tokoh Yu Sam, Bu Tri dan lainnya. Film ini memang sederhana selain karena diambil dari cerita ibu-ibu yang akan menjenguk (tilik) Bu Lurah ke rumah sakit yang ada di kota dengan scane di dalam bak truk. Akan tetapi film ini banyak menyuguhkan kejutan yang tak terduga seperti saat Bu Tedjo memberi amplop berisi uang kepada Gotrek (supir truk) lalu setelahnnya musibah datang seperti mogok dan kena tilang. Seolah-olah dari semua itu menyiratkan kembali akan stigma uang panas yang membawa petaka.

Sesungguhnya film ini mengajak penontonnya untuk bersikap kritis terhadap media yang ada di internet. Bahwa internet dicipta oleh orang pintar sekalipun kita harus tetap waspada. Sebab tidak semua berita, informasi dan pengetahuan yang ada di internet bersifat kredibel, kita perlu memverifikasinya. Terutama soal kehidupan orang lain yang kita sendiri tidak tau banyak hal tentang mereka. Maka laiknya kita memperhatikan diri sendiri, muhasabah dan introspeksi. Seperti penggalan puisi Gus Mus (Selamat Tahun Baru Kawan), "... belum juga tibakah saatnya kita menunduk dan memandang diri sendiri?".

Film yang mendapat apresiasi luas sebagai film pendek terbaik Piala Maya 2018 ini juga menjadi Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2018 dan Oficial Selection World Cinema Amsterdam 2019. Film ini sangat cocok ditonton bersama keluarga. Terutama saat ini momen yang pas karena tahun Hijriyah telah berganti baru. Ini momentum yang baik untuk kita terus membuka lembaran baru membuang kulit kejahiliyahan, istilah Jawa-nya nglungsungi. Kita harus berhijrah minimal dari hal-hal kecil seperti bermedia dengan bijak, kurangi rasan-rasan, hindari stigma buruk kepada orang lain, hilangkan egoisme dalam diri dan perbaiki hubungan kekerabatan.

Jangan dikira hijrah harus sesuatu yang besar. Kita perlu merevisi jika niatan hijrah harus total. Anggapan itu hanya akan mengkhawatirkan jika gejala populis makin merebak. Maka hijrah itu dimaknai sesuai porsinya saja, sesuai kemampuan. Jika hari ini belum bisa memakai jilbab minimal tidak mempertontonkan bentuk tubuh dengan pakaian yang ketat. Jika hari ini bergosip ke sana-kemari minimal yang akan datang kita berniat menguranginnya. Jika belum mampu shalat sunnah minimal shalat wajib tidak bolong-bolong dan itu lebih baik. Banyak lagi hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam kehidupan bahwa hijrah itu bukan perkara pakaian tapi soal akhlak, sikap, adab, pekerti atau apapun itu istilahnya.

Bagi orang awam trend berhijrah harus dimaknai dengan hal-hal baik sesuai dengan kemampuan bukan dipaksa. Sehingga hijrah dimaknai dengan kemantapan hati, kerelaan jiwa dan mampu. Islam sendiri tidak memaksa atau dalam pemaknaan lain agama ini mudah bagi setiap pemeluknya. Melalui film ini pula kita diajak membuka mata untuk melihat makna hijrah paling sederhana yaitu menjauhi, menyingkirkan, mengurangi hal-hal buruk pada diri. Karena kita bukan manusia suci maka kita seraya selalu senantiasa bertaubat memohon ampunan-Nya.

Selamat tahun baru Hijriyah 1 Muharram 1442

the woks institute, 21/8/20

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde