Langsung ke konten utama

Nyufi dan Etika Menulis


Woks

Buku berjudul "Humor, Perempuan dan Sufi" karya Prof Mujiburahman ini adalah hadiah yang diberikan kawan saya, Mas Fauzi Ridwan as Salakembangy. Buku tersebut awalnya adalah pesanan, akhirnya saat saya silaturahmi ke rumah beliau lantas buku tersebut tidak diperkenankan dibayar dengan uang tapi dengan pertemuan. Kata beliau berjuampaan ini tidak lebih baik ketimbang meninggalkan doa keberkahan. Mungkin itulah etika orang Jawa jika kedatangan tamu maka akan bersyukur dan senang. Dan bagi saya secara pribadi buku adalah kado terindah. Karena kado maka saya akan membagikan isinya untuk pembaca semuanya.

Bagi penulis, mencatat resensi buku merupakan keharusan walaupun ulasan tersebut tidak selalu mencerminkan isi seluruh kepala penulisnya. Akan tetapi setidaknya ini adalah tanggungjawab moril akademik guna menjelaskan semuanya. Dengan menulis setidaknya kita satu langkah lebih dekat dengan pemikiran penulisnya.

Pertama, buku karya Prof Mujib ini menarik dari judulnya sehingga orang yang membaca blubrnya akan langsung penasaran dengan isi lengkapnya. Buku tersebut terbagi atas 4 bagian yang terdiri dari tema 1 fakta & misteri agama, tema 2 membaca tanda menggali makna, tema 3 pendidikan dalam pengalaman, dan tema 4 suka duka hidup manusia. Dari masing-masing tema tersebut sebanyak 30 judul menjelaskan segala macam problematika dan peristiwa termasuk pengetahuan serta pengalaman penulisnya mulai di Banua Banjar hingga ke Belanda dan Amerika.

Salah satu hal menarik yang dapat kita jumpai dalam tulisan Prof Mujib tersebut ialah saat beliau mempertanyaan keimanan kita. Agama tanpa keimanan hanyalah metafor belaka, maka beliau bertanya lantas apakah kita termasuk golongan orang yang taat beragama (practicing muslim) atau beragama hanya dalam formalitas (nominal muslim). hlm 4. Pertanyaan tersebut lebih lanjut kitalah yang merenunginya.

Fenomena kekinian orang beragama memang semakin ramai bahkan kuantitasnya mampu menggusur tesis Class of Civilization nya Hutington bahwa agama tidak akan laku di masa depan. Tesis tersebut nampaknya lupa bahwa teknologi mempercepat mendapatkan pengetahuan termasuk tentang agama. Buku tersebut juga membenarkan bahwa orang beragama di ruang publik semakin masif di mana-mana. Mereka dengan mudah mencari dan mendapatkan pengetahuan agama dari pemuka agama yang lantaran media komunikasi elektronik mempercepat semuanya. Mungkin inilah dunia kita kini hidup di tengah arus pengetahuan yang membanjiri. Walaupun media hanya alat toh pada akhirnya ia telah berhasil membuat pembaca, penonton dan pendengar antara jamaah dan pemuka agama menjadi sangat dekat dan mudah. hlm 16. 

Selanjutnya buku ini juga mengulas tentang dunia sufi. Dunia yang orang Barat menyebutnya asketisme. Sedangkan orang awwam seperti kita menyebutnya dengan praktek sufi tarekat. Salah satunya ketika kita diajak menyelami sufisme dan fenomena Islam radikal yang semakin mengkhawatirkan. Di sana kita akan tahu bahwa kaum sufi lebih mengutamakan kebersihan hati, kedekatan dengan Allah dan cinta kepada sesama manusia. Berbanding terbalik dengan kalangan Islam radikal yang mengutamakan kekuasaan politik untuk mengubah dunia dengan senjata dan tindak kekerasan serta menganggap lainnya adalah musuh. hlm 94.

Kedua, sungguhnya ajaran sufisme tengah mengantarkan kepada kita arti kesederhanaan, kebersihan hati, beradab, sikap jujur ikhlas serta hati-hati terhadap tipuan dunia. Dalam narasi yang panjang tersebut buku ini banyak memberi pesan bahwa semakin hari agama semakin tidak karuan bukan karena ajarannya melainkan individunya. Bahkan esok agama laiknya seperti barang dagangan yang dijajakan kepada pembeli yang tidak bisa dipaksa membeli (Peter L Berger) dan itulah ciri dunia semakin materialistis. hlm 310.

Dalam catatan singkat ini tentu saya tidak mungkin menuliskan keseluruhan isi buku karena memang terlalu banyak. Saya hanya akan mengajak kepada anda bertanya sejenak lantas di mana isi buku mengenai "humor dan perempuan" seperti yang tertera pada judul, di sinilah kegamangan saya muncul. Ternyata setelah saya telanjangi keseluruhan isi buku tidak ada satupun hal yang lucu dan artikel perempuan yang minim. Kita hanya akan menemui satu artikel percis dengan judul cover depan di halaman 123, itupun bagi saya masih terasa hambar.

Tanpa mengurangi rasa hormat faktanya memang demikian. Atau apakah karena saya memang telah kehilangan selera humor. Yang jelas walau selera humor seseorang berbeda nampaknya saya merasa kecewa sebab judul besar pada cover buku tidak mencerminkan isinya yang utuh. Akan tetapi saya memakluminnya. Mungkin judul tersebut pemberian dari penerbit dengan tujuan branding marketing. Atau dari penulis dengan sekadar ingin tafaul kepada penulis besar seperti Rumi.

Akhirnya saya memang menemukan semua itu di awal pengantar penulis pada buku ini. Beliau Prof Mujib secara jujur mengatakan bahwa buku ini adalah kumpulan kolom-kolom nya yang diterbitkan oleh Banjarmasin post (Bpost) sedang beliau sendiri bingung judul apa yang pas untuk buku kumpulan kolom tersebut. Akhirnya beliau secara jujur terinspirasi dari judul buku karya Rumi "Fihi Ma Fihi". Bahkan beliau sendiri yang mengatakan bahwa buku tersebut sangat jauh dari apa yang pernah Rumi tuliskan. Akan tetapi beliau berpatokan bahwa "... apabila Tuhan berkehendak, Dia akan membuat kata tak berharga ini jadi penuh manfaat". hlm XII.

Secara jujur walau saya (pembaca) tidak terlalu begitu kecewa dengan buku ini. Saya malah justru semakin belajar bahwa Prof Mujib sebagai penulis telah mengajarkan kepada kita akan kerendahan hati. Beliau mengatakan dengan jujur bahwa manusia memang tidak pernah luput dari kekurangan. Mungkin itulah etika penulis mengakui kekurangannya walaupun dirinya seorang yang telah bergelar. Ibarat pepatah "padi semakin berisi semakin merunduk" mungkin inilah satu sikap kerendahan hati penulisnya. Kita memang perlu memperbanyak penulis yang rendah hati dan selalu berkata bahwa sampai kapanpun kita adalah para pembelajar.

the woks institute, 23/8/20

Komentar

  1. Sebuah resensi buku yang sangat apik baik dari sisi struktur kata yang digunakan untuk mengulasnya dan enak juga dari gaya penuturannya. Dari situ saya merasakan adanya kedalaman si perensi terhadap buku yang dikupasnya. Pokonya mantap.

    BalasHapus
  2. Membacanya saya malah teringat dengan tesisnya August Comte, bapak positivisme. Di mana beliau menerawang jauh ke dapan bahwa agama di masa mendatang akan jauh tereduksi oleh kuantitas material. Dan pada kenyataannya, kini hal itu mulai nampak di muka. Banyak yang berkoar-koar tentang hijrah ala politisasi agama dengan mematikan rasionalitasnya. Alhasil, agama nampak sebagai nominal dan seremonial semata. Jidat hitam, gamis, celana cingkrang, jenggot dan kurma dianggap dapat mewakili siapa-siapa yang lebih relevan dianggap benar dalam beragama. Atau bahkan, beragama hanya sebatas cukup tercantum di kolom agama ktp belaka.

    Mengenai Tradisi Asketis, saya teringat dengan Margaretha Smith yang dalam bukunya, 'Mystisism on Religions' (kalau tidak salah), beliau menyebutkan tradisi Asketis terdapat dalam setiap agama meskipun dalam prakteknya dengan bentuk ekspresi dan pendekatan yang berbeda-beda.

    Di kampung saya, tatakala membicarakan tentang segala perbuatan mesti selalu dikaitkan dengan hierarki, syariat-tarekat-hakikat. Dan rata-rata mereka tidak mafhum dengan hal-ihwal sufisme. Terlebih-lebih tentang suluk, salik, maqomat, ihwal dan lain sebagainya.

    Di satu pihak, seolah-olah memandang orang yang melakukan suluk itu aneh. Tapi dalam memandang semua kehidupan sehari-hari berusaha mencampur adukkan cara pandang sufistik dan maqasid syariah..

    Oke, sekian curhatnya..
    Maaf spam agak pendek.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde