Langsung ke konten utama

Mental Mie Instan dan Simalakama Keribetan


Woks

Manusia sebagai mahluk yang kompleks secara psikologis tidak menyukai hal-hal yang ribet. Tapi permasalahan kini hanya terjadi pada manusia modern. Karena dipengaruhi oleh kecanggihan zaman maka pandangan mereka terhadap dunia harus instan. Berbeda dengan orang-orang dulu yang mana keribetan dalam hidup telah menjadi konsumsi sehari-hari. Salah satunya karena zaman dulu dunia memang belum secepat saat ini, dunia belum mengenal teknologi canggih penunjang kehidupan.

Dulu orang ingin mengaji harus menempuh perjalanan panjang nan melelahkan. Lampu belum masuk desa sedangkan jalanan malam gelap pekat harus mereka susuri dengan obor, akan tetapi semangat untuk mengaji begitu besar. Saat ini penerangan masuk desa bahkan hampir setiap sudut tak ada yang gelap dan kendaraan ke mana saja mudah diakses tapi kita malah kehilangan semangat belajarnya. Dulu orang ingin mendengar kabar saudaranya dari luar kota harus rela berkirim surat bahkan tak jarang surat belum juga terbalaskan. Saat komunikasi telpon baru ada betapa kita juga menunggu di suatu tempat, antri lalu bergantian memasukan koin demi mendengar kabar saudara yang jauh. Kini zaman telah berubah segala macam hal telah terfasilitasi, smartphone sudah digenggaman dan dunia sangat mudah diakses. Lalu apa yang kurang jika bukan semangat yang kendor dan rasa dalam batin yang hilang. Bahkan kita tak bisa menemukanya sekalipun dunia sudah secanggih ini. Zaman memang telah mengikis kearifan.

Semakin canggihnya zaman kini kita punya paradigma baru yaitu "sikap mie instan". Sikap tersebut mensyaratkan seseorang untuk berpikir anti ribet, orang-orang menjadi malas, tidak sabaran dan pastinya semua serba uang. Mentalitas yang terlahir dari sikap mie instan hanya mendorong seseorang untuk bermental borjuis, semua semau gue dan semua karena fulus mulus. Jika sikap itu berkelanjutan tentu akan mengkhawatirkan terhadap perkembangan sosial. Di mana harga diri setiap orang bisa dibeli dengan mudah oleh pemilik modal besar. Mental penyuruh akan mendominasi sehingga orang akan menghamba pada uang. Mereka tak segan menjalankan sesuatu berdasarkan uang. Uang adalah kendali keadaan apapun, tentu kita mengenalnya dengan risywah alias suap. Jika anda tidak percaya coba saja datang ke salah satu instansi yang mengurusi segala macam kebutuhan anda seperti membuat KTP, KK, dan STNK serta lain sebagainya. Di sana anda akan temui praktek-praktek yang demikian itu walaupun tidak semua terlihat di sana. Inilah ciri masyarakat anti ribet, ada uang semua beres.

Sebenarnya dunia tidak ribet, yang ribet itu pikiran manusia yang terlanjur terpola bahwa segala sesuatu harus instan. Sikap anti ribet itu sesungguhnya telah mengikis keteladanan. Karena semakin dinamisnya zaman orang-orang dengan bangganya melanggar aturan padahal aturan tercipta untuk dipatuhi. Misal saja soal mengantri, masyarakat kita tergolong rendah soal ini. Mereka lebih memilih mencari jalan pintas demi memuaskan hasratnya. Termasuk dalam hal harta, bagi sebagian masih ada saja mengambil jalan pintas berkongsi dengan dukun, judi, atau penipuan lainya. Padahal agama Islam dibangun atas dasar proses bukan ujug-ujug simsalabim jadilah mudah.

Sebenarnya saya sendiri tidak menyuruh orang untuk ribet. Istilahnya jika ada yang instan mengapa harus pilih ribet. Sebenarnya pernyataan itu terkesan satire, saya cuma memberi saran bahwa dalam kondisi apapun kita harus lebih mengedepankan etika moral yang berlaku. Sehingga jika saat menemukan kondisi itu kita telah terbiasa. Jangan sampai uang selalu yang bergerak. Cobalah sejenak jiwa kita tarik untuk berusaha sedikit tanpa pernah mengeluh. Pastikan bahwa keribetan hanya sebuah kondisi sesaat di mana ia hanya sekedar ingin berkawan dan memberi pelajaran.

Keribetan dan sikap mie instan jangan sampai terwarisi kepada anak, sebab akibatnya bisa fatal. Perlu diperhatikan saat penerapan pola asuh di mana orang tua selalu memanjakan anak untuk tidak berusaha mandiri saat itulah mental itu terbentuk. Saat anak terjatuh misalnya orang tua segera membangunkan anak lantas diiringi kata menyalahkan. Padahal jika diamati bahwa membiarkan anak sejenak berpikir tentang arti bangkit dan mandiri itu lebih baik. Agar mereka termindset bahwa dunia ini perlu perjuangan di sanalah terselip pendidikannya. Contoh lain kemerdekaan bukan hadiah dan didapat dari angan-angan kosong, melainkan diusahakan dengan berbayar darah nyawa. 

Semua dalam hidup tidak ada yang instan sehingga apa yang kita inginkan yang paling baik adalah setelah adanya usaha. Seperti hasil terbaik adalah dari usaha sendiri bukan pemberian orang lain. Di sinilah kita dapati benang merah bahwa anti ribet sama halnya mental pengemis yang inginya dikasihi tanpa berusaha lebih. Lebih baik mendapat sesuatu yang kecil tapi hasil kerja sendiri dari pada besar tanpi instan hasil dari mencuri. Jika hal itu masih ada dalam diri berarti kita telah selangkah menggadaikan harga diri dengan sesuatu yang receh.

the woks institute, 9/8/20

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde