Woks
Jika orang-orang tau bahwa Pramuka adalah peluit, bendera, tali, belati, bermain, bernyanyi atau tepuk-tepuk berarti pengetahuanya masih perlu dikembangkan. Termasuk jika menyamakan Pramuka dengan si Bolang berarti ia perlu merevisi pengetahuannya. Lantas apakah semua jawaban itu salah? tidak juga, melainkan perlu pemahaman yang universal. Persepsi itu hampir semua benar karena jika kita tinjau akar historis Pramuka, kepanduan (scout) memang terlahir dari inspirasi Sir Robert Baden Powell of Gilwell saat ia menjelajah hutan Afrika dan bertemu suku Zulu.
Kini Pramuka telah berbeda mungkin orang hanya tau seperti itu-itu saja padahal lebih dari itu. Kita tentu tahu kepanduan ini telah berkembang sejak lama 1923 era penjajahan Belanda dan lahir secara formil pada 14 Agustus 1961 sebagai pengawal, garda terdepan, mengisi kemerdekaan yang susah payah diraih. Para pendirinya seperti Soenarjo Atmodipuro, KH Agus Salim, Sri Sultan Hamengku Buwono IX serta badan penyusun AD/ART seperti Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, Muljadi Djojo Martono dan Achmadi.
Pramuka sejak dulu adalah wadah bagi banyaknya kepanduan yang ada di Indonesia. Ia juga wadah bagi kaum muda dalam berkarya, maka secara filosofis Pramuka adalah gerakan yang pantang berhenti. Ia akan terus dinamis seiring nyiur hijau buah kelapa. Daunya melambaikan semangat, akarnya menguatkan dan "always be prepared", batangnya menyiratkan cita-cita dan buahnya memberi manfaat kepada sesama. Pepatah Pramuka mengatakan bahwa "alam mendidikku, pengalaman menuntunku", itulah salah satu ajaran yang diwariskan saat kita ikut Pramuka.
Tapi saat ini Pramuka tengah berhadapan dengan krisis dimensional yang kentara. Di mana dekadensi moral terus menyebul kepermukaan, belum lagi isu radikalisme dan pertarungan politik menjadi santer seperti saat yang lalu kita tau organisasi ini hampir saja terbawa arus mangsa politik. Akhirnya lambat laun organisasi ini terus bertahan di tengah gempuran itu. Akan tetapi semua belum usai saat ini kita masih berjuang melawan Covid-19 dan tugas bela negara sesuai dengan tema tahun 2020 "Tangani Covid-19 dan Bela Negara".
Tantangan Pramuka ke depan tentu akan semakin berat. Kita tidak hanya sekedar melek sejarah melainkan terus berupaya agar organisasi ini tetap bertahan dengan segala macam inovasinnya dengan tidak melupakan kearifan yang terbangun sejak lama. Tentu sebelum kepada pengamalan Dasadarma kita menuju pada poin "menolong sesama hidup dan membangun masyarakat" pada Trisatya yang selama ini relevansinya sangat ditunggu. Menolong mereka yang membutuhkan, memberi pemahaman dan termasuk ikut serta dalam penanganan Covid-19.
Tantangan Pramuka ke depan bukan soal apakah anak-anak Siaga dan Penggalang masih hafal Dwisatya, Trisatya dan Dasadarma akan tetapi lebih dari itu. Mereka mayoritas kaum muda dan yang terus dianggap muda akan berhadapan dengan isu besar seperti radikalisme, gerakan alergi perbedaan, degradasi moral, bahaya narkoba, darurat membaca dan mudahnya terindoktrinasi. Belum lagi budaya luar terus diproduksi lewat media dan teknologi. Alih-alih bersinergi dengan perkembangan zaman kita justru sangat mudah melupakan kearifan. Jika dulu panganan tradisional adalah kegemaran saat ini produk luar negeri nampak lebih keren ketika dikonsumsi. Dolanan anak yang penuh filosofis nampak tak berdaya dihadapan game yang menyuguhkan jurus-jurus imajinasi. Bahkan Kebudayaan adiluhung hasil karya cipta nenek moyang nampak begitu kuno di depan budaya pop yang jingkrak itu.
Lalu apakah strategi Pramuka ke depan dalam membina tunas mudanya? tentu ini pekerjaan rumah kita semua. Mempersiapkan generasi masa depan lewat kepanduan dengan terus mengikuti zaman namun tetap tidak meninggalkan local wisdom yang begitu kaya ini. Kita memang perlu sedikit berpikir kedepan dengan terus "suci dalam pikiran dan perbuatan".
the woks institute, 14/8/20
Salam Pramuka
BalasHapussalam hehe
BalasHapus