Langsung ke konten utama

Ratu Adil Antara Fakta dan Mitos

        (Sumber gambar: Bung Fei.com)

Woks

Suasana hangat pemilu sudah terasa diberbagai daerah salah satunya pemilihan Bupati dan Walikota. Di tengah pandemi masyarakat akan disuguhi pesta demokrasi yang lagi-lagi berhadapan dengan realitas semu dan harapan. Harapan masyarakat di manapun pasti sama yaitu memiliki pemimpin yang amanah dan merakyat. Tapi semua harapan masyarakat selama ini hanya sebagai jurus kampanye yang manis di kata-kata namun realitasnnya nihil. Tapi apakah keyakinan masyarakat akan pemimpin yang mengayomi, jujur, adil itu masih ada?

Mari kita saksikan bersama dari pejabat tingkat paling rendah hingga kelas atas masih kita dapati kasus-kasus yang menjerat mereka terutama permainan elit, menyalahgunaan wewenang, suap dan korupsi. Kasus-kasus yang menjerat para pejabat itu seolah-olah menjadi informasi harian yang diterima masyarakat. Sehingga kejujuran dan amanah seolah telah enyah di negeri ini. Para pemimpin dengan nama besar pun tak luput dari jeratan kasus tersebut. Sehingga masyarakat tidak menaruh perhatian terhadap demokrasi salah satunnya kegagalan demokrasi kita saat memilih kotak kosong.

Fenomena saat ini pemimpin dengan label agama dan gelar yang mentereng seolah menjadi daya tarik. Diperparah lagi labelisasi nasab dari keturunan darah ikut juga dicatut demi mendongkrak suara. Pemimpin dari berbagai latar belakang mulai dari politisi ulung, militer, ulama, pengusaha, akademisi, hingga orang biasa pernah singgah di kursi jabatan negeri ini. Seolah-olah demokrasi kita ibarat minuman gelas yang digosok tertulis "maaf, coba lagi". Lalu kapan kita menemui momentum dipimpin oleh orang yang tepat sesuai kriteria rakyat. Hal inilah yang selalu digadang-gadang sebagai penantian akan datangnya ratu adil.

Terutama di Jawa, keyakinan akan datangnya ratu adil sebagai pemimpin yang membawa kemakmuran masih terus hidup hingga saat ini. Orang Jawa memang tidak pernah terpisahkan dari rekam sejarah nenek moyangnya, mungkin yang kita kenal saat ini tentang ramalan Jongko Joyoboyo dan Ronggowarsito. Ramalan tersebut sangat masyur dan hidup di tengah rakyat kita. Mereka menganggap bahwa ratu adil masih ada. Terlebih melihat siklus 700 tahunan seperti era Singosari, Majapahit hingga saat ini. Orang-orang menganggap sejak abad ke-7, abad ke-14 dan prediksi zaman keemasan pada abad ke-21 atau dalam tahun masehi sekitar 2045.

Harapan besar masyarakat akan kedatangan ratu adil selama ini masih berpatokan pada salah satu bunyi ramalan pada bait serat Sabdajati Karya R. Ng Ronggowarsito.
Waluyane benjang lamun ana wiku memuji ngesthi sawiji ...
Kelak akan datang seorang suci yang ahli ibadah menuju kemanunggalan... (serat Sabdajati bait 14).

Iku lagi sirap zaman kalabendu
kalasuba kang gumanti, wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti, sudyane kabeh kelakon

Itulah pertanda surutnya zaman kutukan berganti jaman kesenangan, rakyat kecil bisa tertawa
Kurang kebutuhan harian, semua usaha berhasil. (serat Sabdajati bait 15).

Menurut Agus Wahyudi (2014) pola ramalan Ronggowarsito tersebut juga sama dengan keyakinan umat Islam tentang Imam Mahdi, yang meresap ke dalam keyakinan orang Jawa menjadi ratu adil atau Herucokro dari dulu sampai sekarang. hlm 135. Pola ini sama dengan pola ramalan Ronggowarsito, hanya saja orientasi keberhasilan di Arab adalah memeluk agama Islam sedangkan di tanah Jawa adalah kemakmuran. Lantas apakah kita saat ini telah merasa negeri ini makmur? atau memakmurkan sekelompok orang. Entahlah jawaban tersebut akan terjawab seiring dinamisasi demokrasi kita. Makin mendewasa atau semakin kekanak-kanakan.

Jika menyebut nama, dulu ada Pangeran Diponegoro. Ia adalah pemimpin besar trah raja alias darah biru. Ia juga seorang pemimpin rakyat yang didorong akan kekuatan spiritual. Akan tetapi pada akhirnya sang Pangeran pun harus puas kalah dan terasing oleh kelicikan Belanda. Jauh dari sana Ir Soekarno pun pernah digadang-gadang sebagai sosok ratu adil karena dalam sejarahnya beliau lah bersama Bung Hatta mampu membawa Indonesia merdeka. Akan tetapi saat terjadi resesi era Soekarno lah justru banyak menimbulkan berbagai konflik hingga bertaruh nyawa. Hingga sampai pula di pemerintahan Soeharto yang ternyata mengalami keberhasilan semu dalam berbagai hal terutama pada sektor pangan dan pembangunan. Pada rezim ini rakyat justru menyaksikan praktek KKN dengan sangat kentara bahkan saking geramnya, rakyat melalui gerakan mahasiswa harus rela turun ke jalan demi lahirnya reformasi.

Terlepas dari kegagalannya mereka memimpin toh nyatanya kekurangan itu pasti ada. Kita memang kesulitan jika mencari pemimpin ideal dengan segala kesempurnaannya. Yang saat ini bisa dilakukan rakyat adalah menunggu sekaligus mengkader generasi selanjutnya untuk dijadikan pemimpin masa depan. Ratu adil dinanti bukan aktornya siapa tapi lebih kepada mentalitas dan sikapnya. Jika ratu adil selalu berkonotasi individu/orang tentu ramalan terakhir akan menunjuk bahwa Nabi Muhammad saw lebih layak sebagai ratu adil tersebut. Percis seperti yang ditulis Masdar F Mas'udi di Tempo (20/2/93) bahwa pemimpin yang diidam-idamkan sebagai ratu adil itu sudah tidak ada. Ratu adil pernah kita dapati terakhir sekitar 1400 tahun lalu, yaitu Nabi Muhammad saw, setelah itu tidak ada lagi.

Apakah benar ratu adil telah tiada? jika memang benar mungkin kita bisa menelaah lebih jauh ketika pemimpin kita sekarang dipilih bukan karena kemampuannya akan tetapi karena pamor, harta atau elektabilitasnya. Lebih-lebih saat kampanye menghalalkan segala macam cara percis dalam catatan Ronggowarsito bahwa kisah-kisah masa lalu memang juga demikian polanya bahwa orang yang lurus-lurus saja kan kalah bersaing melawan mereka yang mau mengalahkan segala cara.(2014: 6). Jika para pemimpin masih licik dalam merebutkan kursi kekuasaan lantas bagaimana jika nanti telah terpilih. Mungkinkah masyarakat harus terus di-php oleh serangkaian janji-janji. Menurut Masdar F Mas'udi yang mengutip Kiai Misbah bahwa seharusnya impian datangnya ratu adil bukan pada orang tapi pada sistem yang adil. Tanpa sistem yang berkeadilan semua kepemimpinan hanya omong kosong.

Kita masih terus optimis bahwa pemimpin di Indonesia masih banyak yang peduli terhadap negerinya. Terlepas ia titisan ratu adil atau bukan yang jelas sikap mental leadership masih bisa dibentuk melalui pendidikan, pengalaman, dan tujuan luhur ideologi bangsa sendiri. Kata Ronggowarsito "kesekten wus nora katon" maksud kesaktian di sini bukan kesaktian fisik seperti kebal senjata, atau tidak bisa dibakar api, bisa menghilang, bisa terbang, punya hanyak harta dan lainnya tetapi lebih kepada kekuatan jiwa, kekuatan akal dan kekuatan hati. Seseorang pemimpin dia bekerja keras, ikhlas, pengabdian, tahan dikritik dan saling meminta maaf ketika berbuat salah, tidak gila sanjungan dan tidak pula pencitraan. (2014: 127).

Apa yang dikatakan Ronggowarsito mungkin adalah optimisme bahwa esok ratu adil itu datang. Tinggal kita tunggu saja yang dimaksud mentalitas, sikap kepemimpinan atau justru sesosok orang yang benar-benar akan membawa Indonesia terbang tinggi. Akan tetapi sedikit masygul apa benar ratu adil itu masih ada atau hanya sekedar mitos agar kita terus belajar dari setiap rekam jejak sejarah kekuasaan. Atau kita menunggu jatuhnnya sabda pandhita ratu dari langit yang membisikan kepada kita bahwa ratu adil itu adalah tanda tanya. Masihkah kita berharap di 2024 nanti ratu adil itu datang? Entahlah.

the woks institute, penghujung Agustus 2020

Komentar

  1. Entahlah ratu adil itu siapa nantinya... sekarang nikmati saja apa yang sudah terjadi... semoga Indonesia kedepan semakin maju lagi..


    Tulisan yang menarik. Mantab...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde