Tradisi liwetan yang diambil dari kata liwet sudah dikenal sejak lama. Liwetan atau kata orang Sunda ngaliweut berasal dari olahan nasi yang dimasak dengan cara mencampurkan beras, air serta bumbu (minyak, garam, beberapa rempah/bumbu dapur) pada sebuah wadah biasanya panci, kastrol atau dandang. Setelah nasi tersebut masak biasanya airnya sudah beresap lalu nasi tersebut dinamakan nasi liwet.
Konon tradisi liwetan sudah berkembang sekitar 200 tahun yang lalu, bahkan menurut ahli sejarah liwetan termaktub dalam Serat Centhini di mana dulu tradisi makan bersama tersebut menjadi jamuan utama tamu untuk para raja dan punggawannya. Liwetan memang selalu identik dengan makan bersama dalam satu wadah/nampan, kita bisa menyebutnya talaman, kembul, atau botram, papahare (Sunda). Kali ini tradisi tersebut masih berkembang dibeberapa daerah tentu penyebutanyapun berbeda. Bahkan liwetan menjadi trend saat memasuki bulan ramadhan atau peringatan hari-hari besar serta acara syukuran.
Di Tulungagung ada tradisi liwetan yang dikolaborasikan dengan acara ngaji kliwonan. Acara ngaji tersebut dilaksanakan setiap ahad kliwon yang bertempat dari pondok ke pondok atau rumah yang meminta diselenggarakannya pengajian tersebut. Menurut Gus Anang Muhsin acara liwetan plus ngaji tersebut merupakan peninggalan para kyai sepuh dulu sebut saja al maghfurllah KH Ali Shadiq Uman (PPHM Ngunut), al maghfurllah KH Khobir Siraj (PP Menoro Mangunsari) serta banyak lagi kyai lainya. Kitab yang dikaji adalah kitab al Hikam karangan Syeikh Ibnu Atthaillah Syakandari. Kitab yang berisi petuah hidup dari Syeikh Abul Hasan Syadzili itu memang menjadi primadona dikalangan ahli tasawuf dan para pengkaji sufisme, terutama kalangan Nahdliyyin yang mayoritas pengamal tarekat.
Setelah mengaji biasanya para jamaah bersama menyantap nasi liwet tersebut. Tradisi itulah yang menjadi estafet cara dakwah ulama sepuh dulu, dari rumah ke rumah, mushola, masjid, pondok dengan penuh kearifan. Maka tak aneh jika saat ini generasi muda ingin terus melestarikanya. Harapan besarnya tentu tradisi liwetan ala santri di pondok pesantren itu tidak punah. Sebab tradisi yang banyak mengandung nilai sosial itu diharapkan dapat menarik generasi muda untuk tidak menyebut memudar dengan segera. Tradisi liwetan apalagi dipadukan dengan ngaji justru merupakan paket lengkap di mana hati dan pikiran diisi dengan pengajian dan perut diisi dengan liwetan.
PP Al Azhaar Kedungwaru
the woks institute, 2/8/20
Komentar
Posting Komentar