Langsung ke konten utama

Jum'at Berkah Kegiatan Pengikis Sifat Kikir Pada Anak

                     (Foto doc: penulis)

Woko Utoro*

Dulu di zaman Nabi Muhammad saw nama-nama hari diberikan sekarep dewe oleh orang Arab Jahiliyah. Sehingga saat Islam datang nama hari tersebut diubah salah satunya arubah artinya sebuah momen untuk menampilkan kekayaan, kepongahan, kebanggan bersolek dan lainnya lalu diganti menjadi jum'at (jumuah) yang berarti berkumpul. Saat Islam datang hari jum'at tersebut bergelar sayyidul ayyam atau rajanya hari. Imam Syafi'i dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Saad bin Ubadah sebuah hadits bersabda:
                      ...سيدالايام عندالله يوم  الجمعه
"Rajannya hari di sisi Allah adalah hari jum'at..."

Berdasarkan hadits tersebutlah SDI Al Azhaar Tulungagung mencoba untuk mengisi hari jum'at dengan sebaik-baiknya. Tanpa menampikan hari lainnya, sekolah bernafas Islam ini mengambil inspirasi bahwa hari jum'at bisa menjadi satu hari di mana kita bisa menanamkan budi baik pada anak-anak salah satunnya dengan gerakan jum'at berkah. Selain ada jum'at bersih (jum'sih) gerakan jum'at berkah pun menjadi salah satu kegiatan yang menarik untuk kita laksanakan.

Kegiatan jum'at berkah mungkin di sekolah lain pun ada, namun di SDI Al Azhaar ini kegiatan tersebut dilaksanakan setiap satu bulan sekali. Biasanya bertepatan dengan akhir bulan. Kegiatannya bergilir sesuai dengan urutan si anak tersebut. Acaranya yaitu si anak akan memberikan jamuan biasannya makanan dan minuman kepada teman-teman dan beberapa guru. Makanan dan minumannya tidak harus mewah semua disesuaikan dengan kondisi kemampuan orang tua sang anak. 

Menurut beberapa Assatidz kegiatan tersebut telah berlangsung lama. Bahkan pernah suatu ketika mengalami vakum dan atas inisiatif beberapa orang tua menginginkan agar kegiatan tersebut berjalan lagi. Setelah dipahami ternyata kegiatan jum'at berkah ini memang benar-benar berkah (ziyadatul khoir) sebab para siswa kita diajari untuk saling berbagi kepada sesamannya. Khusus berbagi di luar lingkungan sekolah orang tua hanya cukup men-share foto anak sedang memberikan rezekinnya kepada guru. Hal itu adalah salah satu pembelajaran aplikatif yang selama ini hanya sekedar teori dalam buku.

Gerakan jum'at berkah sesungguhnya memberikan pengertian sekaligus keteladanan kepada anak bahwa pada seluruh harta kita ada 2,5%  milik orang lain. Maka gerakan tersebut mengajari anak sejak dini untuk lebih dekat dengan amaliyah zakat, infaq, sedekah. Selain itu memberikan rezeki berupa makanan kepada orang lain merupakan bentuk cinta, sebab menurut para ahli bahwa cinta bisa tersalur lewat makanan. Contoh paling sederhana yaitu di tengah masyarakat kita tradisi dan budaya seperti kenduren, tahlilan, yasinan, upacara dari pernikahan hingga kematian pasti ada makanannya. Maka makanan tersebut tidak bisa dipisahkan dalam tradisi masyarakat kita yang egaliter.

Selanjutnya anak-anak cenderung merasa memiliki apa yang ia punyai. Misalkan mereka punya coklat atau es krim maka mereka cenderung tidak ingin berbagi dengan yang lainnya. Apalagi jika urusan anak yang boros dengan uang jajan yang banyak. Menurut saya gerakan jum'at berkah ini adalah sarana penempaan sejak dini agar mental anak terbentuk. Anak mudul role model bukan sekedar berteori apalagi hanya diperintah tanpa ada contoh riilnya. Setidaknya sikap kikir dan memiliki berlebihan bisa terkikis sejak kanak-kanak. Jika saat dewasa nanti ibarat besi yang mengeras akan sulit untuk dibengkokan. Intinya hal-hal baik sangat mungkin untuk ditanamkan semasa anak-anak. Sebab anak-anak adalah peniru ulung maka laiknya kita contohkan akan hal-hal baik dengan keteladanan.

Sebenarnya tidak hanya gerakan jum'at berkah saja yang dapat diaplikasikan kepada anak, melainkan banyak hal di sekitar kita guna menarik anak agar terus pelajar. Jangan pernah berhenti peduli dengan perkembangan anak sekecil apapun. Sebab mereka adalah manusia yang perlu dituntun dan diarahkan dengan segudang kebaikan. Agar nantinya bisa melahirkan jiwa filantropi yang peduli kepada sesamannya.


*Guru Inklusi SDI Al Azhaar Tulungagung-Jatim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde