Langsung ke konten utama

Obituari: Nini Wasti yang Bersahaja

..
Woks

Saya langsung terisak saat dikabari bapak via telpon bahwa Nini (nenek) Wasti meninggal. Nini atau dalam bahasa kami Mbok tua merupakan panggilan sehari-hari untuk nenek atau buyut. Ya, beliau adalah Nini Wasti salah satu nenek tetangga saya. Walaupun beliau bukan nenek ideologis akan tetapi beliau sudah saya anggap seperti nenek sendiri.

Entah seperti apa rasanya saat kabar itu hinggap di telinga. Rasanya begitu pengap di dada, sesak dan lesu, sebab kata Bapak beliau pulang tanpa ada yang tau tepat di hari jum'at. Padahal sebelumnya beliau memang sudah sering sakit-sakitan. Tapi apa mau dikata ini bagian dari takdir beliau, tutur cucunya Pak Dul Wahid.

Banyak kenangan yang telah saya lewati bersama beliau semasa hidup. Terutama saat di mana saya masih berjuang di tanah rantau. Tempat nun jauh itu membuat saya hanya bertemu beliau sesekali saja saat pulang di hari raya. Lebih lagi tahun ini masih ada pandemi sehingga saya belum bisa pulang dan bertemu beliau.

Saya adalah saksi bahwa beliau orang baik. Tentu saya amat kehilangan salah satu jamaah shalat yang usianya renta tapi masih semangat yaitu beliau. Setiap pagi shubuh beliau pasti sudah ada di mushola al Hikmah sambil menenteng mukena kusutnya ditemani Wa Emi salah seorang sahabatnya. Sesekali saya menyapa beliau dan mengingatkan untuk berhati-hati di jalan. Karena memang beliau jalannya sudah semakin sempoyongan. Tapi walau begitu beliau tetap semangat bahkan sesekali masih saya dapati beliau Ngasag (mencari sisa-sisa padi di sawah yang sudah dipanen).

Nini Wasti adalah sosok yang bersahaja, beliau murah senyum dan baik hati. Sampai-sampai anak cucunya banyak pula yang sukses. Selain itu beliau juga orang yang grapyak (mudah mengenal dan menyapa). Saat tau bahwa beliau sudah pergi sekitar satu minggu yang lalu tentu saya begitu kehilangan mengapa saya tidak sempat bersua beliau yang terakhir kalinya. Tapi apalah daya hanya kiriman al fatihah buat beliau yang bersahaja.

Orang penyabar yang selalu telaten ngurusi Kang Anto itu kini telah pergi meninggalkan kami. Tentu saya telah kehilangan satu dari penyejuk jiwa. Yang petuah-petuahnya selalu saya ingat hingga saat ini. Beliau seperti halnya nenek-nenek yang lain menginginkan anak cucunya jadi ustadz alias orang yang paham agama. Bagi beliau harta sebanyak apapun tak akan dibawa mati tapi hanya amal secuilah yang kelak jadi bekal menuju kepada Allah swt.

"Sakien mah nini wis laka. Trus baka kula balik sapa kang mai petuah maning. Ni, pangampura kula ya. Sing tenang ng kana. Selamet jalan ni, mugi husnul khatimah bisa ketemu maning. Selamet ketemu karo seduluran terutama putune, Bayu Segara".

al fatihah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde