Langsung ke konten utama

Utopia Pencerahan dari Plosokandang

           (Sumber gambar : doc penulis)

Woks

Dalam angan kecil saya tulisan sederhana ini tidak memiliki maksud apapun selain menjadi sebuah rumah untuk merawat imajinasi, merawat kata mengurai kalimat, tentu juga tidak sedang dalam keadaan sakit. Saya hanya membayangkan bahwa beberapa tahun kedepan almamater yang akan saya tinggalkan ini akan banyak melahirkan orang-orang besar, pemikir cerdas atau segenap cita-cita luhur lainya yang ingin diwujudkan. Yang pastinya berkontribusi dalam dakwah dan peradaban. Ya, IAIN Tulungagung adalah salah satu yang menjadi tempat berdialektika, memunculkan inspirasi, mengasah diri atau mungkin sekedar menjadi tempat persinggahan dalam menemukan calon istri (S-3). Dan hal yang terakhir ini tidak bisa dibendung lagi. Bahkan, dapat membius pikiran para kaum muda. Karena cinta, (maaf) tai kucing pun bisa rasa coklat.

Jangan bicara cinta di sini. Mungkin lain waktu kita akan berjumpa dalam pembahasan yang membutuhkan imajinasi puitis itu. Kini saatnya kita lanjutkan terkait cita-cita besar itu. Inspirasi saya muncul bukan karena pribadi saya sendiri, melainkan sering terinspirasi dari orang lain, yang memang kadang buah pikiranya saya pakai untuk memunculkan bibit baru yang siap tanam. Istilah lain menurut Sutardji Colzoum Bachri ialah, “pemuda harus menetaskan telur”. Sehingga Ir Soekarno, Moh Hatta, Agus Salim, Kartini, Dewi sartika, Pramoedya, Gusdur, Kyai Ahmad Yazid Pare dan lainya bisa di tetaskan kembali di zaman ini. Kita jangan puas hanya dengan telur di masa lalu. Bagaimana caranya? tentulah anda lebih tau dari saya yang amatir ini.

Plosokandang merupakan desa yang secara revolusioner berkembang sangat cepat. Seiring dengan adanya kampus terbesar di Tulungagung tersebut. Tentulah jika dibandingkan dengan beberapa tahun silam, Plosokandang belum begitu terkenal. Dengan adanya kampus tentulah segala macam tatanan di desa ini pun ikut terkena dampak perubahanya. Terutama faktor ekonomi, desa ini menjadi salah satu tempat perputaran uang yang begitu deras mengalir. Usaha-usaha kecil semakin berjamuran dimana-mana. Warung kopi sampai jasa foto copy semua seperti tak pernah sepi. Jalan-jalan selalu ramai, dan tentunya kebudayaan bisa masuk dari mana saja seiring dengan jumlah mahasiswa dari luar daerah yang kian hari kian bertambah.

Jika kita mampu berfikir hari ini, tentulah kita pun dapat berfikir kedepanya bahwa nanti kita akan mendapati desa ini dipadati penduduk. Tidak hanya penduduk, bahkan pola-pola pikir dan serangkai asas kebudayaan baru juga ikut hadir menghiasi negeri kecil ini. Namun sayang penduduk yang dimaksud adalah penduduk dari luar. Yang tentunya mereka adalah bagian dari bonus demografi yang tak bisa dibendung lagi. Dimana pribumi asli tinggal menyisakan beberapa kepala keluarga saja. Belum lagi lahan berupa tanah sudah semakin sempit dimana kita juga sekarang sudah mendapati kos-kosan dengan megahnya berdiri, asrama-asrama berlabel religi juga membayangi belum lagi perumahan elit dengan pongahnya mencaplok lahan kritis petani. Lalu kita orang yang awam ini bisa apa? terhadap para pemilik modal.

Kembali lagi tentang yang menginspirasi saya dengan tulisan ini, beliau adalah al Makin. Ya, al Makin merupakan alumni IAIN Sunan Kalijaga Jogja (sekarang UIN) dan juga alumni dari McGill university. Al Makin telah menjadi inspirator saya dalam menulis judul di atas. Dalam buku “Berguru pada Kiai Bule” beliau menuliskan tentang kebanggaan dan optimismenya mengenai almamaternya yang berada di Sapen Jogjakarta tepatnya di jalan Timoho (al Makin: hlm 39). Al Makin berfikir jauh bahwa dari almamaternya itu bisa mengangkat nama desa yang seolah ndeso itu. Bahkan ia berani menyandingkan Sapen dengan Ciputat yang ada di kota metropolitan Jakarta.

Menurut Al Makin, Ciputat punya Harun Nasution dan Nurcholis Madjid, serta beberapa cendekiawan muslim lainya. Dan menurutnya Sapen juga punya Ahmad Wahib dan Mukti Ali. Mungkin perbedaanya hanya soal gaya dan cara pandang saja. Jika Ciputat merupakan sebuah desa ala metropolitan yang bergaya elu-gue khas Betawi dan Sapen lebih kepada njowo ala Jogjakarta (al Makin: 40). Keduanya sama-sama menjadi sebuah tempat yang telah melahirkan para pemikir besar dan berkelas. Di mana tonggak pemikiranya masih terus terasa hingga saat ini, bahkan tak jarang masih banyak orang-orang yang mau merawat buah pemikiranya dalam sebuah kelas-kelas pemikiran. Sebenarnya antara ciputat dan sapen masih banyak lagi para pemikir yang sampai hari ini masih terus dilahirkanya.

Jika kita ambil benang merah dari apa yang di utarakan Al Makin tersebut bolehkah kita juga turut berbangga atau memupuk optimisme terhadap kampus IAIN Tulungagung yang juga berada di desa Plosokandang, terutama di jalan Mayor Sujadi Timur No 46. Sebuah desa yang tentunya begitu menggelitik telinga ketika pertama kali mendengarnya. Biasanya dalam sebuah sambutan pertemuan Pak Rektor memberikan ucapan selamat datang kepada saudara semuanya, “selamat datang di kampus plosokandang, wes plosok kandang pisan”. Dan kalimat tersebutlah yang selalu membuat ger-geran pendengar. Terutama dalam perhelatan akbar acara wisuda yang gegap gempita.

Lanjut. Plosokandang yang juga katanya ndeso itu, melalui IAIN Tulungagung nya kini punya Prof Mujamil, Prof Ahmad Patoni, Prof Imam Fuadi, Prof Akhyak, Prof Hasyim Nawawi, ketambahan lagi Prof Muwahid Sulhan, Prof Maftukhin dan Prof Sokip. Nama-nama tersebut bisa menjadi harapan dan inspirasi bagi mahasiswa selanjutnya untuk mengikuti kiprah mereka. Tapi, lagi-lagi angan-angan pencerahan itu hanya soal karya, karena sejatinya gelar hanya bagian kecil dari kebanggan yang sesaat. Hanya karya lah yang mungkin bisa bertahan lama.

Jika para cendekiawan tersebut telah mengangkat derajat keilmuan bagi dirinya sendiri atau bahkan mungkin untuk orang lain, lalu bagaimana dengan keadaan mahasiswanya?. Sejauh ini angan-angan mahasiswa masih jauh dari esensi membangun peradaban. Saya sendiri tidak begitu paham, apa prasyarat agar sebuah desa menjadi sebuah wilayah yang bisa di juluki zona pelajar. Seperti halnya Jogja sebagai kota pelajar. Apakah dengan banyaknya: tempat-tempat kursus, bahasa, keilmuan, bimbingan belajar, club diskusi dimana-mana, halaqoh-halaqoh hidup, pusat-pusat kajian berdiri bebas, komunitas pecinta keilmuan, sosial dan budaya yang selalu menghiasi atau bahkan setiap sudut selalu dihiasi oleh perpustakaan-perpustakaan?.

Jika memang demikian adanya, maka inilah yang akan menjadi PR bersama. Pekerjaan yang tentunya membutuhkan waktu yang lama, waktu yang menguras energi, waktu yang menjemukan pastinya. Tapi selama percikan hikmah dan optimisme masih ada semua tidak mustahil, walaupun dengan waktu yang lama. Dan kita juga harus terus bersabar menunggu kehadiran guru besar perempuan pertama dari kampus yang berpijak di bumi Mbah Agung Taruna ini. Semoga..

Optimisme Al Makin bahkan sampai berangan-angan bisa menyandingkan Sapen dengan madzhab Frankfurt di mana Adorno, Hochkeimer, dan Habernas bercokol. Atau kadang beliau juga menyamakan antara Ciputat dengan Basrah dan Kuffah pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah yang tentunya telah melahirkan banyak ilmuan muslim (al Makin: 41). Berkaitan dengan itu, mungkin angan-angan pencerahan dari Plosokandang pun bisa diarahkan ke sana, minimal kontribusi madzhab Plosokandang, Srigading, Manggisan, dan Kudusan mampu bersaing dengan Sapen dan Ciputat. Hingga kita dapat menirukan seperti pidatonya Presiden John F. Kennedy saat dia berada di Berlin Jerman, “ich bin ein Berliner” (al Makin: 43). Maka bolehlah kita juga menirukan ungkapan itu dengan lantang “Ich bin ein Plosokandanger” aku warga Plosokandang. Sederhananya kita dapat berbangga hati karena telah menginjakan kaki sebagai penimba ilmu di kampus dakwah dan peradaban, Plosokandang.[]

*Tulisan ini pernah dimuat di website LPM Aksara FUAD (28/2/19) dan telah mengalami revisi melalui blog pribadi.

the woks institute, 4/8/20

Komentar

  1. Wah, terbius saya. Keren sekali Mas owner Woks Institute. Salam kenal, saya Zahra.

    BalasHapus
  2. Wahhh terimakasih support nya. Salam kembali. hehe

    BalasHapus
  3. Jadi rindu kampus IAIN Tulungagung, baru saja setahun pindah dari Tulungagung, saya Amiin kan semoga segera ada guru besar perempuan di kampus kita
    Keren kak ...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde