Langsung ke konten utama

Warung Jagattri Tulungagung


Woks

Mayoritas orang-orang di Kota Marmer mungkin belum tahu tentang warung Jagattri. Warung yang diinisiasi oleh Heru Sukoco alias Koko dan Pak Endra ini sebenarnya banyak mengandung keunikan. Warung tersebut beralamatkan di Jln I Gusti Ngurah Rai No 68 atau utara Orari atau depan kantor UPTD Pendidikan Pemuda dan Olahraga kecamatan Tulungagung.

Warung sederhana yang tidak memiliki papan nama tersebut diberi nama "Jagattri". Menurut Mas Koko nama Jagattri diberikan oleh temannya yang seorang terapis rokok asal Semarang. Jagattri berasal dari dua kata "jagat" berarti dunia dan "tri" berarti tiga. Arti lengkapnya yaitu sebuah konsep yang memadukan, menyelaraskan dan menyeimbangkan antara Tuhan, manusia, dan alam. Maka tak heran jika warung tersebut menyediakan wedang rempah sebagai sajian utamanya, kopi sebagai sajian  pada umumnya dan rokok (tembakau) sebagai pelengkapnya. Menurutnya wedang rempah adalah konsep kembali ke alam, sedangkan tembakau murni adalah bentuk perlawanan terhadap kapitalisme.

Warung Jagattri mulai buka sejak awal kemunculan virus Covid-19 hingga saat ini. Awalnya Mas Koko mengira bahwa Covid-19 akan segera berakhir ternyata dugaan tersebut salah. Justru selama masih ada Covid-19 hal itulah yang menjadi momentum untuk membuka warung wedang rempah. Alasanya rempah alami tersebut dapat menambah imunitas terutama untuk tubuh dalam membentengi diri dari virus Corona.

Menu-menu yang ditawarkan di antaranya ialah wedang secang, secang rempah, teh rempah, wedang jahe, kopi robusta dampit, es tamarin, wedang lombok, serta beberapa menu andalan lainya. Khusus bagi pelanggan yang memiliki keluhan seperti vertigo, kolesterol, kewanitaan, dan lainya di sini disediakan wedang khusus keluhan tersebut. Tentu harganya sangat terjangkau. Warung tersebut mulai operasi dari pukul 17:00-24:00.

Salah satu keunikan dari warung ini ialah bagi pecinta tengwe (nglinting dewe) alias pecinta tembakau murni di sana disediakan berbagai macam tembakau seperti Gayo Aceh, Paiton, Tambeng, Escort, Suela, PandanWangi Lombok, Garut, Salatiga, Temanggung, Boyolali, Gagangsidi Tulungagung serta banyak lagi lainya. Bagi anda penikmat tembakau tentu di sinilah tempatnya.

Warung ini terletak di trotar jalanan sehingga tidak menyediakan Wifi gratis. Alasanya sederhana agar orang yang datang berkunjung bisa saling bercengkrama alias jagongan (ngobrol/diskusi). Menurut pemilik warung cara itulah yang dapat menghidupkan kembali kearifan dalam pertemanan. Sebab selama ini kita menjadi terasing di tengah masyarakat sendiri. Maka dari itu spirit warung ini ialah hidup harus bahagia dan saling srawung (berkenalan).


the woks institute, 7/8/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde